Dua

82 1 0
                                    

Ceritaku, Choirul...

Orang-orang di rumahku sedang repot menyiapkan acara tasyakuran sederhana di selepas maghrib. Baba (sebutan ayahku), dan Emak (aku memanggil ibuku), sedang sumringah dideru bahagia tak terhingga, karena aku mendapatkan promosi di tempatku bekerja, di hotel bintang lima, di pusat Jakarta.

Orang tuaku sumringah bukan tanpa alasan. Kalau aku menerka-nerka, rasa bangga mereka masih dihantui ketakpercayaan. Bagaimana mungkin aku yang berakhir di pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan; jurusan tataboga, namun justru itu lah yang menghantarkanku menuju tangga tertinggi, dari staf dapur biasa, menjadi seorang Sous Chef.

Itu adalah puncak karirku kala menjajaki usia emas, 28 tahun. Setelah sepuluh tahun—dari umur 18—aku memulai pengabdian di dapur, menjajaki karir sebagai anak bawang, disuruh sana-sini oleh para koki senior. Perintah apa pun aku menurut, selama masih dapat ditela’ah oleh nalar. Loyalitasku jangan ditanya. Seluruh napasku akrab dengan sayur-mayur, daging mentah, dan macam-macam jenis bahan makanan.

Latar belakang keluargaku, juga tergolong biasa. Baba hanya tukang sampah keliling di lingkungan RW. Sahabat dekatnya adalah gerobak dan sengatan aroma busuk dari kumpulan sampah. Sesekali juga, Baba diajak temannya bekerja menjadi tukang ngebor air.

 Sesekali juga, Baba diajak temannya bekerja menjadi tukang ngebor air

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Gerobak Sampah Punya Baba)

Jangan beranjak dulu. Aku ingin berbagi cerita tentang Emak, singkat. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa yang sabar menanti kepulangan Baba kala hari menunjukkan senja. Urusannya terhadap dunia luar hanya dengan pemborong buah rambutan dan nangka. Saat musim panen, Emak menjual beberapa karung rambutan dan nangka dari kebun seluas 100 meter persegi, warisan mendiang ayahnya.

***

Kembali ke acara tasyakuran di selepas maghrib. Beberapa bapak-bapak mulai berduyun-duyun mendatangi rumahku, masih mengenakan baju koko, sarung, dan kopyah, karena sehabis salat berjama'ah di masjid. Beberapa orang lagi berbalut kaos, celana panjang, dan rambut yang terbungkus oleh kopyah.

Rumahku tidak terlalu panjang, tapi melebar. Jadi kusimpulkan cukup luas, lantaran hanya diisi oleh empat orang; Baba, Emak, Edo yang adalah adikku, dan aku. Teras depan rumahku muat untuk 10-20 orang yang duduk lesehan. Bagian luarnya sudah dilapisi dengan keramik. Setidaknya layak sebagai penghormatan untuk orang yang bertamu. Dan teras itu yang digunakan sebagai tempat untuk acara tasyakuran.

Lalu, bagian dalam rumahku tak mengenal istilah 'ruang tamu'. Dari pintu depan, pandangan langsung menembus ke ruang keluarga yang berisi televisi dan sebuah bufet jadul. Lantainya sama sekali tak menggunakan keramik. Dari dulu hanya dilapisi semen yang dihaluskan, berwarna abu-abu cenderung gelap seperti lapangan futsal yang belum dicat.

Masih di bagian dalam rumahku, juga tak terpajang atap. Jadi, bila kepala mendengak, pandangan langsung menembus ke genting berwarna oranye dan beberapa lingkar sarang laba-laba. Kata Baba, sih, yang penting luarnya cakep.

Seniman DapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang