Delapan

40 0 0
                                    

Pagi hari, sesaat mataku tersilaukan oleh lampu kamar, aku dikejutkan saat melongok ponsel. Berderet notifikasi panggilan telepon dari Pak Diaz. Bukan hanya sekali, melainkan puluhan kali ia mencoba menghubungiku semalam.

Tubuhku beranjak lebih serius meratapi layar ponsel. Aku beralih duduk dari posisi rebah di atas kasur, lalu bersandar di dinding, dan menarik nafas panjang. Udara subuh terasa gerah, menggerayangi tubuhku hingga gemetar. Pagiku benar-benar bergidik. Perasaan cemas mengalir deras di sekujur tubuh.

Aku kuatir, akan ada susulan masalah yang lebih dahsyat. Setidaknya, itu yang menggerayangi jantungku yang mulai tak nyaman untuk berdetak.

Aku mengumpulkan keberanian untuk membuka pesan WhatsApp dari Pak Diaz. Ia meninggalkan pesan di kolom obrolan. “Bro, kalo lo orang udah liat HP, telpon gue. Gue perlu bicara.” Pesannya tertulis dengan gaya selengean, terkesan bukan seperti percakapan antara atasan dengan bawahan.

Pagi itu, aku menjelma menjadi sosok yang gelagapan. Aku berusaha menyingkirkan itu semua dengan tak menggubris pesan WhatsApp pak Diaz.

Aku bangkit dari kamarku menuju kamar mandi. Aku mengguyur tubuh untuk mengusir prasangka buruk, membilas pikiran untuk merontokkan gelisah, dan menyiram seluruh aura negatif. Semua demi kesegaran di hari baru.

Hari ini, aku akan berkenalan dengan pekerjaan baru, dengan mata pencaharian Baba, menjadi tukang pungut sampah. Tepat pukul 06;00 pagi, aku sudah menyapa udara pagi di teras depan. Perkenalan itu dimulai dengan kaki yang dilapisi oleh sepatu AP Boots.

Emak—seperti kebiasaannya sehari-hari—datang dari kejauhan, menenteng bungkusan nasi uduk, dan seplastik sayur-mayur. Kuperhatikan secara seksama, langkahnya begitu menyegarkan, tapaknya seolah menabur udara kebahagiaan yang menambah semangat. Spontan aku tersenyum melihat Emak yang hendak mendatangiku.

“Rul, mau nyarap dulu?” Emak sampai di hadapanku.

“Biasanya Baba nyarap dulu kaga, Mak?”

Tatapannya berupaya mengingat memori masa silam. “Kalo Baba, biasanya mah entar-entaran nyarapnya, jam 9an.” Ia melepas sandalnya, lalu duduk lesehan di teras sambil mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. “Biasanya orang juga pada ngasih, Rul. Nasi uduk, gorengan, macem-macem dah. Ada bae tentengannya kalo Baba pulang.”

“Ya udah. Saya nyarap dulu, Mak. Biar beda,” kataku mencairkan udara pagi. Lalu Emak beranjak masuk ke dalam untuk mengambil seteko air, persis seperti hari-hari, dan bulan-bulan sebelumnya.

Kantung celanaku berontak mendadak, itu adalah getaran ponsel. Buru-buru kulihat layar ponsel, terpampang foto profil Pak Diaz, ia kembali menghubungiku.

Ketakutan itu, mendadak hadir kembali, menyapa batin yang tak siap. Nafasku seketika tersedak. Keraguan membumbui sikapku dalam menimbang-nimbang; apakah aku harus menanggapinya, atau membiarkan begitu saja.

Lalu, dalam pertimbangan kilat, aku mengumpulkan nyali untuk mengangkat teleponnya.

“Halo, Pak,” kataku dalam telepon.

“Rul, aduh! Dari kemaren gue telepon gak diangkat. Sibuk banget kayanya, nih,” sahut Pak Diaz.

“Ada apa ya, Pak?” Suaraku masih terkatup-katup oleh ketakutan.

“Lo orang kenapa resign mendadak? Ah, bikin gue pusing. Nyari pengganti yang sepadan seperti lo orang, susah, Rul,” keluhnya.

“Oh, itu. Haha.” Aku berpura-pura tenang. “Ada urusan keluarga, Pak. Mendadak,” jelasku. “Saya juga mohon maaf, gak pamitan lagi ke Pak Diaz,” kataku, bak diplomat ulung dengan segudang jam terbang.

Seniman DapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang