Tujuh

37 0 0
                                    

Sinar matahari telah menyapa jendela kamarku. Semalaman suntuk aku larut merenungi langkahku ke depan, agar mulus saat melintasi tanggul beban. Beberapa hari kemarin terasa berat. Kehilangan, egoisme, dan insiden haru sesosok Ibu.

Pagi-pagi sekali, pukul 07;00, aku berangkat menuju hotel. Bukan untuk mengenakan apron dan bertamasya di dapur, melainkan untuk mengajukan pengunduran diri. Langkah ini mungkin terkesan mengangkangi etika kerja; melangkahi atasan. Sebab, aku tak sowan terlebih dahulu dengan Pak Diaz. Tapi, mau bagaimana lagi, aku terus dijepit waktu yang semakin menghimpit, juga digencet oleh situasi yang tak bersahabat.

Sesampainya di sana, langkahku bergegas menuju ke ruangan HRD. Disapanya aku oleh salah satu staf HRD, seorang wanita muda elegan dengan rambut yang tergerai halus. “Silahkan duduk, Pak,” ucapnya penuh keramahan.

Aku menghela nafas panjang sebelum memulai semuanya. “Mba, saya ingin mengajukan resign. Tapi saya mohon untuk diurus hari ini juga. Saya harus keluar sekarang juga, Mba.” Aku meletakkan berkas di meja.

“Gak bisa, Pak. Prosedurnya sebulan setelah pengajuan resign, baru bisa lepas dari sini,” sanggahnya.

“Saya ada urusan darurat, Mba. Gak bisa ditolong?” Aku memelas.

“Aduh, gimana ya, Pak. Aturannya sudah begitu,” jawabnya.

Aku terus menunggu kepastian yang menggantung. Aku terus menanti belas kasihan, agar sepotong rencanaku berjalan. Keputusan itu harus inkrah hari ini, walalupun aku harus menjadi orang yang paling egois. Karena waktu, menodongku untuk bertindak taktis.

Aku hanya punya waktu mengajukan pengunduran diri pada hari ini, tidak ada besok, tidak ada minggu depan. Sebab, kerjaan baruku sudah menanti pada esok hari; menjemput sampah warga di lingkungan RW. Aku tak mau waktuku menguap sia-sia. Kisahku bersama apron—sahabat sepenanggungan—sudah harus menemui jalan pisah.

Di ruangan itu, setelah percakapan tadi, kami berdua saling membisu. Staf HRD itu malah sibuk dengan pekerjaannya yang lain, tanpa peduli dengan aku yang sedang mengemis perhatiannya.

“Meri! Suruh dia ke ruangan saya.” Suara itu menggemparkan ruangan. Staf HRD itu terdiam sejenak. “Bapak bicara sama atasan saya aja, ya.” Suaranya setengah berbisik.

“Baik, Mba.” Aku beranjak dari kursi.

“Mari, saya antar.” Dia berjalan lebih dulu keluar ruangan. Aku membuntutinya dari belakang.

Staf HRD kembali ke ruangannya setelah mengantarkanku. Kali ini, aku harus berhadapan dengan pentolan HRD di tempatku bekerja; Claudia Arifin Panigoro. Ya, dia wanita yang menghibur keluh kesahku setelah insiden di Puncak, wanita yang memberi hadiah ucapan selamat saat aku naik jabatan, juga wanita yang mencium keningku di halaman parkir saat aku berhasil menaklukkan Presiden lewat sepiring hidangan.

“Duduk.” Claudia mempersilahkan. Lalu ia ikut duduk. Dan tatapannya begitu berbahaya.

Why?” Claudia langsung mengokang pertanyaan sesaat aku duduk berhadapan dengannya.

“Tolong, Bu. Saya ada urusan darurat. Saya harus keluar, harus lepas dari sini, hari ini juga.” Aku kembali memelas.

“Gak usah panggil, Bu. Gak perlu memelas, Rul.” Aura wibawa mengalir pada tatapannya yang membekuk pemberontakan. Aku melihat binar mata Claudia, tersemat rasa tak percaya.

“Aku cuma pengen kamu cerita.” Claudia beranjak dari kursi, lalu berjalan anggun memandang jendela. “Ini mendadak banget. Setelah kita makan malam kemarin, kamu ngilang gak ada kabar. Dan tiba-tiba sekarang pengen resign.”

Seniman DapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang