Claudia bergerak cepat untuk meletakkan kesedihannya di balik topeng ceria. Senyumnya terbentang di hadapan Ayah dan Mamahnya, seolah tak ada kejadian apa-apa sebelumnya. Aku mengamatinya secara seksama. Bahkan mendetail. Ia sangat lihai menyembunyikan perasaan.
Aku dan keluarga Claudia tiba di acara grand openning. Kami disambut penuh hormat oleh si empunya restoran. Acaranya berlangsung ramai. Orang-orang yang datang tampak bermartabat. Tapi bagiku, keramaian itu adalah hampa, sunyi karena aku merasa asing. Tak seorang pun kukenal, kecuali Claudia dan keluarganya. Hanya itu.
Kami diantarkan ke meja VIP. Bahkan kursi yang kami duduki adalah sofa. Tidak seperti tamu yang lain. Mereka diatur untuk duduk di meja dan kursi kayu, dan selembar busa sebagai alas tambahan. Dari situ aku sadar, kalau kami adalah tamu istimewa.
Claudia beranjak dari duduknya. "Aku ke kamar mandi dulu, ya." Suaranya terhalang oleh dentuman musik acara, tapi aku mengerti dari gestur tubuhnya yang gelisah karena menahan pipis. Aku mengangguk mengiyakan.
Tak lama setelah Claudia meninggalkan kami, Ayah Claudia memindahkan posisi duduknya menjadi lebih dekat kepadaku. Lalu mulutnya menghampiri telingaku. "Rul!" Ia mengeluarkan kotak kecil berwarnah merah dari saku kemejanya. "Kamu berani menyatakan cinta kepada Claudia?" Ia memaerkan kotak kecil itu kepadaku.
Dibukanya kotak itu, mataku seketika melotot tak karuan saat melihat isinya; cincin permata yang menyala.
"Kalo kamu suka dengan Claudia, kamu nyatakan itu sekarang. Lamar dia di acara ini." Ayah Claudia memaksa tanganku untuk memegang kotak merah itu.
"Tapi, Ayah..." Aku hendak menolak, tapi kotak itu sudah terlanjur di tanganku.
"Kamu gak suka dengan Claudia?" todong Ayah Claudia.
Aku tak berkutik dibekuk perasaan tidak enak untuk melawan. Aku tak bisa menjawab secepat itu. Ini soal serius, yang kadar keseriusannya melebihi pertimbangan apa pun. Ayah Claudia seolah mendorongku ke jurang kebimbangan.
Ayah Claudia kembali ke posisi duduknya seperti semula. Wajahnya sumringah, seperti ingin menguji keputusanku. Bahkan, aku sudah tidak peduli dengan acara yang berlangsung. Mataku terus bolak-balik, tertaut dengan kotak merah pada tanganku. Pikiranku sedang diganggu oleh pertimbangan yang rumit.
Claudia kembali dari kamar mandi. Spontan aku menyembunyikan kotak merah itu di saku kemejaku.
"Kenapa?" Claudia terheran.
"Enggak."
"Aneh."
"Aneh kenapa?" Aku mulai takut. Sorot matanya mulai menduga-duga.
"Di ruangan dingin begini, ber-AC, kamu malah keringetan."
Buru-buru kuambil tisu di meja, dan mengusap keringat gugup yang mengucur di sekitaran wajahku. Lalu aku pura-pura tersenyum, untuk menegaskan bahwa tidak ada kejadian apa-apa.
Usahaku tampaknya berhasil. Claudia kembali duduk manja di sampingku. Ia tidak merasakan keanehan yang lebih, kecuali saat keringatku yang mengucur tadi.
Sekarang, aku kembali diperlihatkan kejadian aneh. Ayah Claudia berjalan menghampiri si empunya restoran. Kuamati, mereka berbincang sangat serius. Aku terus mengintai mereka dari kejauhan. Aku sangat yakin, mereka tidak berbincang soal bisnis atau keluarga. Menurutku, mereka seperti sedang menyusun rencana. Entah rencana tentang apa.
Tak lama, Ayah Claudia kembali duduk di sofa. Tanpa sengaja aku dan ayah Claudia saling bertatap sekelebat, dan ia mengumbar senyum, sambil mengacungkan jempolnya. Aku lekas memalingkan muka. Dan segudang tanya menggerayangi tubuhku akan maksud dari gestur tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seniman Dapur
Short StoryIbarat pelukis, dapur adalah kanvas kosong yang perlu diberi ragam warna, diukir lukisan indah penuh makna.