01. Pukul Enam Sore

872 93 25
                                    

Halo kawan-kawan. Sebelum benar-benar bersembunyi di balik cakrawala, aku ingin beri beberapa hadiah buat kalian. Ini hadiah yang pertama, yang kedua menyusul, ya.

Ini adalah sekuel dari Konversasi Satu Pagi, bila belum baca, silahkan berjejak ke Aftoi. Si KSP menjaja diri di sana.

Cerita ini sudah tamat, akan aku publish satu setiap hari. Semoga kalian suka, meski tak sesuai duga.

Salam sayang, Yuki.








###

Kuasi makhluk tak konkret, presensi Sehun Radewa rupa-rupa tak cukup mampu membuat dua belah bibir maujud hawa di sisinya berucap. Selama (kurang-lebih) lima belas dikali enam puluh detik, Sehun berulangkali melirik Irene. Kali-kali dia temukan alasan mengapa si pengisi hati memilih untuk larut dalam kebungkaman.

Ciri khas hari petang mulai menampakkan diri. Garitan lembayung mulai menawan langit; menyekap biru ke balik lintang cakrawala. Sedang mentari mulai berpenat diri sebab perlahan-lahan mulai menyelinap pergi.

Waktu terus mengalir bagai air sungai. Helaan napas Sehun akhirnya lolos, entah apa maknanya. Namun sepertinya, di antara partikel udara yang baru saja ia lepas itu terkandung rasa lelah meski setitik.

"Rene," panggil Sehun pelan. Sepuluh jarinya mengait, bermain tidak nyaman di atas pangkuan paha.

Si gadis masih loyal diam. Pasangan netranya meloka tanpa binar ke arah bagian dari luasnya samudera di depannya. Permukaan laut itu bergelombang kecil, bermain-main bersama suara deburan yang terdengar mengusik tenangnya sore di pantai yang kian sekon kian sepi.

Sehun tahu. Sengapnya Irene adalah absolut kesalahannya. Debaran acak jantung Sehun telah mencaci maki dirinya sejak tadi. Jika berani berbuat salah, mengapa tak berani untuk meminta maaf?

"Kamu ingat dongeng Lancelot dan Guinevere yang pernah jadi topik percakapan kita?" satu kalimat akhirnya luput. Namun kepala Irene masih tak sudi menoleh ke arah kanan, tempat si kasih berada.

Sehun merasa baru saja dicambuk berkali-kali mendengar suara Irene yang sedikit bergetar. Ia menoleh pada Irene, mendapati gadis itu menarik kedua kaki dan memeluknya dengan sendu.

"Aku masih ingat." Sehun menyahut lirih.

Tentu saja. Segala reminisensi tentang Irene tidak akan pernah bisa buram di dalam kepalanya. Selamanya akan punya lokasi khusus. Irene adalah gadis-nya yang berharga. Tapi sayang, ia sudah melakukan satu noda untuk hubungan mereka yang selama ini seputih bulu domba.

"Kamu kenapa, Wa? Kenapa kamu jadi Guinevere?" pertanyaan itu berkolaborasi dengan pelupuk mata yang mulai basah. Air mata siap-siap meluncur tanpa aba-aba.

Sehun menggeleng cepat. Kedua bola matanya terasa panas. Ia merasa raganya begitu egois. Menyakiti Irene yang begitu teduh bak rembulan benar-benar ia sesali.

"Maaf, Rene," bisikan Sehun membuat tangis Irene semakin menjadi setelahnya. Kilauan air mata meleleh di kedua pipi tirusnya. Surainya yang digerai menari-nari pelan diembus angin sore.

Senja sebentar lagi memamerkan diri, mempertontonkan rupanya yang indah meski sejenak. Oranye yang ia punya mengajarkan bahwa tak ada keindahan yang abadi. Ia ikhlas jadi bukti.

Irene tepekur dalam tangis. Dua warsa yang dia lalui bersama Sehun mendadak serasa menusuk rongga dada. Kilas balik berapa tawa, canda, suka, hingga duka memborbardir sekujur tubuhnya untuk tetap percaya. Bahwa laki-laki Radewa itu masih punya rasa yang sama.

"Kita ini... Apa?" tanya Irene pelan dengan seulas senyum miris.

Jika saja tidak ada persoalan yang bersesaran di antara dua jiwa mereka, Sehun akan dengan lantang menjawab; calon pengantin baru. Selalu ia ungkap bersama sebuah amin di dalam hati.

Tapi kali ini, sekotah tengah kacau. Lidah Sehun kelu. Frasa-frasa cinta yang acap kali ia elu-elukan nampak semu ketulusannya.

"Kalo kamu bosan sama aku, you can tell me. Bilang kalo kamu butuh break."

Sehun kembali menggeleng. Untaian kata amat sulit menyelip di antara kedua belah ranumnya. Rasa bersalah terlalu mendominasi sampai dia rasa permohonan maaf tak bisa membayar sebagian kecil dari mereka.

"Maafin aku, Rene. Maaf." Sehun hanya bisa mengutarakan kata maaf, hanya empat huruf itu. Selebihnya, semua kembali tertelan. Ofensif pahit kenyataan tak mampu ia hadapi sendiri.

Kali ini Irene menoleh. Pergerakan sendi lehernya membuat dua buah iris jernih itu menangkap fitur wajah Sehun yang selama ini selalu ia gambarkan dengan sempurna di kepala.

Senyum pedih Irene terpatri. Sorot sedu si gadis memahat luka kian sempurna di dalam diri Sehun. Ia menarik napas panjang sebentar sebelum melepasnya pelan. Pemuda yang masih menempati hati itu, ia tatap dan puja untuk terakhir kali. Sebelum sebuah kalimat penghantam rasa cinta dideklarasikan dengan ekspresi pasi.

"Aku juga minta maaf, Wa, karena aku gak bisa meneruskan 'kita'. Makasih, buat segalanya."

Lolos secara sempurna. Bagai pengisi bui yang bebas dari balik jeruji besi yang dingin. Bedanya, tidak ada euforia. Tak ada tawa bangga yang mengudara.

Pukul enam sore, konversasi satu pagi mereka dulu menjelma jadi kenangan masa lalu saja. Sebab di masa depan, term sepasang kekasih telah sirna, serempak dengan buaian senja di pantai yang kini telah berganti nama. Pantai luka, sebut begitu adanya.

###

Obrolan Jelang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang