Tiga warsa setelahnya,
Senja-senja tai anjing.
Lagu itu menyumbat kedua lubang rungu Sehun dari pikuknya suasana yang melingkupinya itu. Kebetulan sekali pula, senja sedang berkumandang. Tapi tak lagi indah. Sehun bersikeras. Senja tidak lagi pernah indah.
Organisasi yang dulu Sehun geluti semasa kuliah, tiba-tiba mengadakan pertemuan sederhana bagi para anggota dan pengurus angkatannya. Sederhana, sebab hanya sekadar makan bersama di sebuah kafe langganan separuh dari mereka.
Sehabis makan, semua mulai bercanda ria. Mengungkap banyak fakta yang tak pernah disangka-sangka pun berceloteh soal dunia kerja yang makin kian mirip neraka.
Sebuah senggolan mendarat di lengan kanan Sehun. Netranya menilik sosok mantan sekretaris, nampaknya mencoba merecoki ketenangan si adam ini.
Sehun menoleh sembari melepas bulatan earphone, sekian detik kemudian, ia sadar bahwa kini tiap pasang mata menaruh atensi penuh pada dirinya yang sejak tadi bergumul di planet sendiri. Mars, barangkali.
"Lo gak mau cerita sesuatu tentang lo gitu, Hun?" satu kalimat tanya lekas dibalas Sehun dengan helaan napas malas. Ia jelas sekali kelihatan ogah mengisahkan kehidupannya yang biasa-biasa saja.
"Enggak ada yang perlu diceritain soal gue," kata Sehun menjawab tak acuh sembari melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Ternyata sudah pukul enam sore.
Semua eksistensi yang ada di sana sadar betul. Sehun bukan lagi Sehun yang dulu mereka kenal. Ada sekeping pribadi lelaki itu yang hilang menjadikan dirinya seolah-olah tergubah jadi Sehun yang baru.
"Guys! Lihat siapa yang datang!"
Jeritan ganal bom nuklir itu menyergap hening yang sempat hendak menyigung titik puncak. Semua kepala menengok pada kausa dan tergemap bukan main saat mengindra sesosok manusia hawa tersenyum jebab dengan impresi hangat pada segenap mereka, Irene Peverta.
"Ireneeeee!!"
Tiap pribadi menyambut dengan girang. Lantaran si gadis Peverta adalah anasir yang paling serau didapati kehadirannya di tiap perkumpulan sekejap mereka.
Puluhan mulut berlomba memuji Irene yang terlihat makin dewasa dan cantik. Katanya makin mirip artis papan atas. Lagipula, sejak dulu, Irene memang sudah cantik. Sayangnya, masih ada saja adam yang menyia-nyiakan dirinya. Silahkan lirik pemuda yang kini terdiam seribu bahasa di kursinya.
Celotehan acak Irene sambut sedemikian rupa. Ia jawab tiap pertanyaan dan ia berikan alasan mengapa ia jarang datang. Satu alasan pasti yang tidak ia sebut adalah perihal hati. Perihal hati yang tak kunjung kasdu untuk bersua kembali dengan pemuda yang sekarang tengah duduk berseberangan dengan dia.
Sehun menyembunyikan pandang, kalau bisa dia juga ingin menyembunyikan diri. Di saat-saat krusial seperti ini, Sehun amat ingin menjelma sebagai keong. Punya rumah—cangkang untuk segera menyelinap dari sorot pandang orang lain jika sedang merasa dilanda bala.
Irene juga seolah menjadikan Sehun astral. Ia anggap bila tak melihat siapa-siapa saat kini. Padahal debaran dadanya tidak bisa bohong. Ia rindu, sangat. Tapi, apa mereka ini?
"Mumpung lengkap, foto yuk!" seruan itu disetujui dengan cepat oleh masing-masing insan.
Semuanya kompak bangkit dari kursi, berbaris berjejer membelakangi jendela kaca raksasa yang memamerkan siluet calon senja. Lagi-lagi, senja.
Akibat rebutan posisi, tubuh Irene terbawa secara alamiah ke satu titik. Titik di mana napasnya mulai berpacu dengan realitas. Mana yang bakalan menang. Bagaimana tidak. Tepat di sisi kiri ada Sehun. Pemuda pengisi hati, pemberi bahagia, sekaligus penyumbang perih luka.
Sebelum kamera menangkap momen keramaian mereka, satu sapaan telah mendarat lembut di kedua indra penangkap suara Sehun.
"Hai."
Sehun menoleh kagok. Tersenyum kaku, ia lantas membalas dengan kikuk. Kelewat kikuk sampai gadis di sebelahnya itu tertawa pelan.
"H-hai j-juga."
Tak banyak yang tahu soal mereka. Termasuk mantan selingkuhan Sehun. Mereka kira Sehun dan Irene sejak dulu hanya sebatas teman saja. Tidak pernah mereka terka kalau-kalau dua insan itu sempat menjalin hubungan kasih. Yang telah kandas, berampaskan luka entah sisa suka.
"Apa gue keliatan seram? Kok lo kayak ketakutan gitu," cerca Irene santai. Ia nampak lebih natural. Soal detakan jantung yang kapan-kapan bisa terdengar hingga keluar rongga dada itu, bisa jadi sudah mampu dia kuasai.
Sehun terkekeh hambar. Bohong jika dia tidak merasa grogi. Terakhir kali dia bertemu Irene adalah saat wisuda. Yang dulu pernah mereka cita-citakan untuk melempar toga bersama. Namun, sebuah ucapan selamat bahkan tidak terurai dari kedua belah bibir mereka.
"Gimana kabar lo?" tanya Sehun berbasa-basi. Dalam hati memaki pemilik kamera yang tak kunjung selesai mempreteli benda itu.
Irene mengulas sebuah cekung manis. Senyum yang Sehun kira tidak akan pernah lagi dia peroleh secara cuma-cuma. Tapi kini, cekung itu membuat dia terkesima lagi. Irene masih sesederhana dan segamblang dulu ternyata.
"Baik, seperti yang lo lihat," ujar Irene tenang dan kalem.
Sehun mengangguk dalam diam. Mereka mengentikan obrolan, tak ada niat meneruskan, atau ditahan.
Kala ponsel Sehun tiba-tiba berbunyi pelan, melantunkan lagu yang ia gunakan sebagai nada dering, fokus keduanya sama-sama terpaku pada hal yang sama.
Sehun memilih menolak panggilan masuk itu. Ponselnya kembali tertanam di dalam saku celana jins yang ia kenakan sore itu.
"I can say i love you."
Sehun spontan menoleh saat mendengar uraian kalimat Irene. Dia menjelang Irene sedikit terkejut. Tak kentara, tapi si gadis bisa melihatnya.
Irene lantas tersenyum jahil kemudian berujar, "Judul lagu nada dering lo."
Kepada langit oranye yang berkuasa di ufuk barat, Sehun ingin protes untuk satu hal imajiner namun sukses menjadikan tubuhnya disfungsi.
Mengapa rasa yang masih ada ini semakin buntal wujudnya gara-gara senyum jahil menjengkelkan itu?
Sungguh, genangan memori masa lalu kini menjarah ke tiap sudut kepala. Sehun Radewa, Irene Peverta, apa yang akan takdir rencanakan setelah ini?
###
Maaf ya semua, kalo gak sesuai ekspektasi :(
Omong-omong, aku udah jarang aktif di sini kecuali meng-update cerita. Bila ingin berkabar-kabar, hampiri saja di instagram, petreapriva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obrolan Jelang Senja
Hayran KurguUntuk satu kala, untuk satu momen dalam hidup, ada masa di mana senja tidak terasa indah dan juga hangat. © 2020 | rekata