04. Hati Masih Berangan

369 74 25
                                    

Sehun

Hampir pukul delapan malam waktu gue tiba di sebuah panti asuhan bernama 'Destinasi Kasih' itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hampir pukul delapan malam waktu gue tiba di sebuah panti asuhan bernama 'Destinasi Kasih' itu. Gue turun dari mobil setelah mengambil sebuket bunga dari jok belakang mobil gue.

Gue mengembuskan napas pelan. Di undangan merah muda kemarin, jelas-jelas tertulis pukul berapa acara pembukaan panti asuhan ini di mulai. Dan gue udah terlambat lima jam lebih karena kondisi rumah kasih ini sepi.

Gue terlalu lama berpikir dan meyakinkan diri buat datang ke sini. Padahal ini bukan acara yang sempat gue duga—pernikahan—tapi entah kenapa hati gue benar-benar ragu buat menghadiri peresmian ini.

Setelah yakin untuk pergi, gue malah terjebak macet hampir dua jam. Sial, memang. Semesta seolah-olah gak mau gue ketemu sama Irene dan anak-anak asuh yang mungkin sudah akan menghuni panti ini.

Gue yakin, kedatangan gue kelewat terlambat. Tapi saat sesosok manusia muncul dari balik pintu yang sejak tadi tertutup, entah kenapa gue otomatis merasa lega.

Itu Irene. Dengan oversized sweater berwarna ungunya dan celana jins biru kelam dia nampak manis namun sederhana.

"Astaga, Sehun. Anjir! Lo datang jam berapa deh!" protes itu langsung menyambut gue. Ekspresi kecut itu bukannya bikin gue merasa bersalah, gue malah merasa lucu dan gemas.

"Sori, sori. Tadi hectic banget di kantor," kata gue setengah bohong. Ya, emang bener juga sih. Tadi gue punya banyak berkas yang harus gue acc.

Irene mendengus jengkel. "Gue aja udah mau pulang, lo malah baru datang. Jahat,  lo," ucap dia yang bikin gue bergerak mendekati gadis yang nampak lebih indah daripada bulan yang bersinggasana di langit itu.

Gue tertawa pelan. "Sori, Rene. Yang penting gue datang kan?"

"Padahal gue tadi mau pamer ke anak-anak kalo gue punya temen ganteng," seloroh Irene lagi yang membuat gue kembali tertawa dengan sedikit perasaan ngilu.

Kata 'temen' bikin gue merasa kalau jarak antara gue dan Irene udah gak lebih pendek daripada buku jari gue.

"Hahahaha bisa aja lo, Rene. Terus gimana nih, gue langsung balik aja deh, ya?"

"E-eh! Gue numpang dong. Itung-itung permintaan maaf lo lah!" seru Irene sambil mukul pundak gue pelan.

Gue tertawa keras. Emang cewek di depan gue ini masih aja ajaib. Sifat dia gak berubah banyak. Still Irene Peverta yang selama ini gue kenal meski udah hampir dua tahun gue dan dia gak bertemu.

"Oke, jangan marah kalo gue bawa lo singgah-singgah, ya." Gue pura-pura mengancam. Dia balas dengan kekehan geli.

"Yuk lah, langsung cabut."

# # #

Terjebak dalam momen ini membuat gue teringat kenangan tempo dulu. Hari pertama gue dan Irene jadian. Kisah sederhana yang menjadikan kita berdua mengukir cerita selama dua tahun sebelum gue memaksa sebuah ending untuk diadakan.

Di jok sebelah gue ada Irene yang duduk menyila dan sebuah burger tanpa rasa yang cewek itu kunyah dengan ceria. Dia terlihat kelaparan dan gue tertawa kecil melihat hal itu.

"Kenapa lo, Wa? Kesurupan?" tanya dia heran dengan mulut penuh.

Gue menggeleng. "Gapapa. Gue cuma keingat sama hal lucu aja."

"Dan hal lucu itu gue?"

Tembakan Irene membuat gue merasa jadi mahkluk paling bodoh di bumi. Cewek itu terlalu gamblang sampai gue malu sendiri dengan ucapannya barusan.

"Gue mau membantah, tapi sayang, bukti udah terlalu kuat," jawab gue apa adanya. Toh, gue sudah ketahuan.

Irene tersenyum kecil. Cewek itu mengabaikan kalimat gue dengan cara menggigit kembali buntalan burger dia.

Suasana jadi hening dan gue menyesal udah mengakui hal konyol barusan. Harusnya gue sadar, posisi gue cuma mantan di sini.

"Besok gue ke London."

"Hah?"

"Gue ke London, Dewa. Gue lanjut kuliah di sana," kata Irene mengulang dan mempertegas kalimat dia.

Gue menengok kaget dan masih berusaha fokus menyetir. Gue kagok. Berita barusan gak pernah gue duga.

"Kita baru ketemu dan lo udah mau pergi aja?" tanya gue mencoba santai. Mencoba terlihat baik-baik saja.

"Lagian gak ada alasan buat kita ketemu lagi kan?"

Ah, gue tertohok kenyataan. Rasanya lumayan sesak di tenggorokan dan perih di dalam dada.

"Yah, maksud gue—"

"Turunin gue di depan minimarket, Wa." Irene menyela cepat. Cewek itu kelihatan menghindari gue secara tiba-tiba.

Gue otomatis menepikan mobil. Menuruti permintaan Irene. Setelah mobil berhenti, Irene dengan cepat melepaskan seat belt dan langsung membuka pintu mobil.

"Makasih, ya, Wa. Lo hati-hati," kata dia hampir tanpa jeda.

"Rene, lagi-lagi kita berpisah kayak gini?"

Kalimat gue berhasil membuat Irene mematung. Dia bahkan mengurungkan tangan untuk menutup pintu mobil. Dia menoleh ke gue dengan pandangan yang sulit gue artikan.

"Berhenti, Dewa. Berhenti membuat rasa menyesal itu datang lagi ke gue. Rasa menyesal karena gue udah menamatkan cerita kita."

Suara Irene yang bergetar membuat gue terdiam. Dada gue tremor. Sorot sendu di kedua bola mata Irene mengingatkan gue pada kejadian tiga tahun lalu, di pantai luka itu.

"I still love you, Rene..." Gue berkata lirih.

Gue bisa liat seulas senyum tipis muncul di wajah Irene. "Me too, Dewa. But not in that way."

Gue frustasi, hati dan kepala gue berkecamuk. Gue rasa semua dosa di bumi menghimpit gue sampai-sampai gue gak bisa bernapas dengan benar.

"Kenapa, Rene?" gue hampir menangis.

Sebelum benar-benar menutup pintu dan pergi, Irene mengutarakan satu hal yang semakin membuat gue terpuruk dalam genangan luka.

"Karena gue udah jadi Raja Arthur yang mati dengan perasaan sakit di hatinya."

Terdengar simpel, tapi kompleks. Ternyata, luka yang gue buat di hati Irene, belum sembuh dimakan waktu.

# # #

Aku mau tanya kalian, menurut kalian, apa pasangan ini kita buat balikan?

Maksud aku, apakah Sehun yang pernah selingkuh pantas dikasih kesempatan kedua?

Tell me your opinion here.

Obrolan Jelang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang