"Lo gak balik?"
Satu pertanyaan terdengar menyepak hening. Satu kepala menoleh pada kepala lain. Sebuah raut yang dikonstruksi serupa permen kapas—manis dan menarik—ditemukan menyapa hati.
Sehun melempar lengkung tipis pada si hawa. Sebelum lidah mengolah kalimat yang tepat. "Sebentar lagi."
Irene mengangguk mengerti. Kembali, senyap memajang eksistensinya. Kedua entitas insan itu tinggal berdua saja di sana, di depan gedung kafe. Yang lain sudah lebih dahulu pergi setelah puas berpose di depan kamera.
"Kalo lo, gimana? Kenapa belum pulang?" Sehun memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku celana. Tatapan masih mengarah ke jalanan macet di depan muka.
"Nunggu jemputan," sahut Irene sekenanya.
Setidaknya, logo mantan khayali yang meringsek di antara mereka tak menjadikan keduanya canggung seperti yang sudah-sudah. Nampaknya, masing-masing pribadi mulai menerima kenyataan. Perihal masa lalu, biarlah statis di sana.
Tapi kepala Sehun rupa-rupa mulai menduga banyak hal. Termasuk siapa yang bakalan menjemput gadis yang masih berhasil membuat jantungnya berdentum kacau itu.
Sehun melirik Irene yang duduk di kursi panjang, sedang dia sendiri berdiri sekitar satu meter dari si gadis. Ia bisa menyaksikan si gadis tengah sibuk dengan ponselnya.
"Lo sekarang kerja di mana?" kalimat Irene serupa biji ketapel yang menghantam dahi Sehun. Terlalu tiba-tiba.
"Nerusin perusahaan sekaligus pekerjaan bokap gue, kalo lo? Gue lihat lo sesibuk itu, ya, sampe-sampe jarang nongol di tiap perkumpulan," celetuk Sehun panjang lebar. Berusaha mengumpamakan bahwa mereka adalah teman lama yang sudah lama tak bertutur.
Irene terkekeh kecil, ia menjawab ringan, "Selain sibuk, gue juga menghindari lo."
Terang-terangan, Irene mengakui. Amat bodoh soal presensi harga diri. Ia lebih suka melantaskan segalanya apa adanya ketimbang bersembunyi seperti pengecut.
Sehun tertegun. Bias jingga tenggelam di kedua netranya. Ia tatap Irene dengan sorot banyak makna.
"Lo, serius?"
"Iya, ngapain gue bercanda. Gue gak kayak lo yang bercanda soal perasaan, hehehehe..."
Irene menyengir usil. Tapi kalimatnya benar-benar menohok hingga menembus dada Sehun. Sehun tak tahu harus bereaksi bagaimana lagi. Semua terlalu mendadak.
"Maaf..."
Sehun refleks berucap, tanpa sadar. Otaknya memerintahkan setelah hati memohon berulangkali. Sehun menundukkan kepalanya dalam-dalam, mengaku salah pada gadis yang telah sempat ia beri senja yang menyesakkan dada.
Irene tertawa kecil. "Gapapa, Wa. Semua udah berlalu. Jangan diingat terus," ujarnya lembut.
"Semenjak hari itu, gue sadar hidup gue berantakan, Rene. Gue jadi benci senja, gue benci diri gue sendiri. Gue benci diri gue yang—bajingan ini."
Si gadis diam, mendengarkan. Namun kedua bola matanya bisa menemukan luka tersirat di wajah Sehun. Irene ikut menunduk, ia tak pernah berharap pertemuan mereka akan berujung memanggil rasa sakit dahulu dengan keras.
"Gue sebenernya gak pantas menerima maaf dari lo. Gue ini justru lebih layak dapat karma bertubi-tubi, karena gue udah nyakitin lo hari itu." Sehun menambahi ratapnya. Ia ungkap. Mulutnya yang selama ini lebih hobi bungkam mendadak penuh cuitan.
"Dewa, dulu gue juga marah, gue pengen banget balas dendam ke lo. Gue pengen lo ngerasain sakit yang gue rasain. Tapi, gue teringat satu dongeng yang bikin gue mikir, it's useless to hate someone."
Sehun belum merespons, memberi waktu bagi Irene bercerita. Apalagi, Sehun masih sangat menyukai suara gadis itu. Seperti lelehan gula, sangat candu untuknya.
"Dongeng soal kancil dan gajah, kalo lo pernah dengar, lo tau gimana murkanya gajah sampe pengen bunuh kancil kan? Dan dia gagal karena mati dikerubungi semut—gimana kalo gue juga mati gara-gara benci yang gue punya? Dih, gak mau."
Sehun tak kuasa menahan tawa. Dia tergelak pelan. Tangis yang sempat menyeruak, mendumel akibat gagal menjadi pemeran utama. Irene pun begitu, ia tertawa atas kalimat bodohnya yang entah mengapa terasa benar.
"Lo, gak berubah, ya." Sehun berucap disela-sela tawa yang mengudara.
"Gue berubah. Sebagai penyintas sakit hati, gue harus berubah."
"Perubahan lo itu seputar penampilan dan isi hati, barangkali. Selebihnya, lo tetap Irene Peverta yang gue kenal," sahut Sehun lengkap dengan sebuah senyum teduh.
"Hahaha... Bisa aja, lo, Wa."
Sehun sejak tadi sadar, panggilan Irene padanya masih sama. Masih beda dari yang lain. One of a kind.
"So? Kita damai?"
Irene mengerjap beberapa kali sebelum satu kurva lebar menjamah wajah cantiknya. "Damai! Gak ada gunanya saling musuhan."
Sehun tertawa lagi. Kali ini senja terasa nyaman. Ia begitu menikmati tiap sekonnya. Segala beban yang menimpa dirinya beberapa tahun ini lepas begitu saja. Ia merasa ringan dan lega.
"Makasih, Rene. You really made my day." —dan lo masih menghuni posisi pertama di hati.
"No, we made our day. Dan, ah, iya! Gue lupa, astaga. Padahal tujuan utama gue datang ke perkumpulan gara-gara ini!" Irene berseru keras. Ia menepuk jidatnya pelan sebelum membongkar isi tasnya.
Sehun memperhatikan sejenak sebelum sebuah undangan bewarna merah muda yang dibungkus plastik tipis bening dikeluarkan si gadis dari dalam tas berwarna hitam itu. Tubuh Sehun menegang dalam diam. Apalagi saat Irene menyodorkan undangan itu dengan segurat senyum manis yang entah kenapa justru mengiris ulu hati Sehun.
"Lo harus datang, gak menerima alasan apapun!"
Raga Sehun membujur kaku, pegangannya pada undangan itu bergetar. Ia menelan liur pilu sebelum membaca kertas merah muda itu. Sesak di dada yang tadi menguap kini kembali mengkristal.
Sial, apa tidak ada secercah kesempatan lagi untuknya?
###
Hiya! Dua chapter lagi menuju tamat!
Btw, kalau kalian sedang punya uang (haha) yok mampir ke Aftoi dan lihat, ada Open PO BITTERSWEET di sana, xixi.
Btw (2), ada beberapa akun yang follow instagram aku, aku gak tau itu kalian atau dari luar, atau siapa. Aku agak trauma meng-acc akun tanpa tahu karena pernah sempat terlibat di grup chat 'kurang ajar'.
Jadi, kalau kalian yang udah request ke akun instagram aku, tolong bilang acc di sini, ya. Tapi sebenarnya, kalo kalian follow aku kalian gak ketemu apa-apa kecuali curhatan ngenesku 😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Obrolan Jelang Senja
FanficUntuk satu kala, untuk satu momen dalam hidup, ada masa di mana senja tidak terasa indah dan juga hangat. © 2020 | rekata