Part. 2

26.6K 1K 17
                                    

Siang hari setelah mengajar Bimo; murid lesnya  calistung, Tara melanjutkan dunianya sebagai ibu rumah tangga. Tara menyuapi Fia dan juga merapikan rumah. Kondisi Fia sudah lebih sehat, hanya saja dokter tidak membolehkan Fia minum es, chiki dan coklat. Fia tengah asik bermain bersama boneka barbie, hadiah dari Mei saat Fia diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

Tara masih memikirkan perkataan Zaka beberapa hari lalu, Zaka memberikan waktu kepada Tara untuk memikirkan hal tersebut selama dua pekan. Baru tiga hari saja rasanya otak Tara sedikit lemot, banyak bengong dan melamun.

"Mama, asap," seru Fia sambil menarik arah pandangnya ke bawah.

"Astaghfirulloh!" pekik Tara saat tersadar mukena terbagus pemberian almarhum suaminya gosong, karena Tara menyetrika sambil melamunkan perkataan Zaka. Cepat Tara menyingkirkan setrikaan dan menatap sedih mukenanya yang bolong bagian dadanya.

"Fia." Tara menarik Fia ke pangkuannya. Fia menatap wajah Tara sambil tersenyum manis.

"Kalau Fia punya papa mau gak?"

"Maaauu ...." Fia mengangguk cepat.

"Ayo tita beli setalang ma!" ajak Fia menarik tangan Tara.

"He he he ... papa tidak ada di warung, Nak, papa adanya di rumah," jawab Tara sambil mencium gemas pipi Fia.

"Dua ya Ma, papanya," ucap Fia sambil mengangkat dua jarinya. Papa bukan permen nak.

"Kok dua?" tanya Tara heran.

"Bial dantian?"

"Gantian? Ha ha ha ...." Tara tertawa keras mendengar ucapan polos Fia. Baju kali nak ada gantinya," Batin Tara. Wanita itu mengusap pucuk kepala Fia yang masih asik memainkan rambut barbie di pangkuan Tara.

"Belbi yaya tantik...milip mama." Fia menatap boneka dan ibunya bergantian dengan penuh takjub. Tara nyengir kuda. Taukan barbie yang kulitnya hitam, naahh..itu dia kata Fia mirip mamanya.

Begitulah keseharian Tara dan Fia, selalu penuh senyuman dan keceriaan, meskipun kehidupan ekonomi mereka sangat terbatas sejak suami Tara meninggal setahun yang lalu. Tara tengah merapikan kamarnya saat suara pintu rumahnya diketuk.

"Assalamualaikum," suara di balik pintu. Kening Tara berkerut, suaranya seperti tak asing. Tara mengintip dari jendela.

"Eh, wa'alaykumussalam Mbak-Mas," sahut Tara lalu membukakan pintu rumahnya. Mempersilahkan Mei dan Zaka masuk.

"Mana Fia, Mbak?" tanya Mei saat tak melihat Fia di rumah.

"Oh, sedang main ke tetangga sebelah, Mbak. Baru saja. Nanti saya panggilkan. Sebentar saya ke dapur dulu." Tara sedikit canggung karena Zaka terus memperhatikan dirinya. Tara kembali dengan dua cangkir teh manis hangat.

"Silahkan Mbak-Mas diminum tehnya," ucap Tara lalu duduk di kursi tamu, tepat di seberang Mei.

"Begini Mbak Tara, maksud kedatangan saya kemari adalah ...."

Setelah cukup pusing memikirkan perkataan Zaka beberapa hari lalu, sekarang dia dipusingkan dengan perkataan Mei. Kayaknya di dunia ini bisa dihitung dengan jari wanita yang rela suaminya melakukan poligami. Kebanyakan para istri hanya menginginkan cinta dan perhatian suaminya hanya tercurah untuk dirinya saja, bukan berbagi dengan wanita lainnya.

Kata ikhlas sebenarnya sangat sulit untuk dijabarkan bentuknya dalam perbuatan, karena namanya manusia, pasti ada sifat iri dan dengkinya walaupun setitik. Anehnya lagi, Mei rela berbagi suaminya dengan Tara asal suaminya tetap tinggal bersamanya, tidak boleh menggunakan perasaan saat berdekatan dengan Tara dan tidak boleh memiliki anak dari Tara. Jadi pernikahan ini hanya sebatas status saja, untuk menghindari prasangka orang jika Zaka berkunjung menjenguk dirinya dan untuk membantu kesulitan ekonomi Tara juga puterinya.

Aku dan Teman SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang