Part. 12

15.8K 989 71
                                    

Empat puluh hari setelah kepergian Pak Danu, kini Tara sudah mulai bisa menerima keadaan, hidup harus terus berlanjut. Anak-anaknya masih kecil, sangat butuh perhatian dan kasih sayang Tara.

Untungnya ada Paman Erik yang selalu siap siaga membantu Tara dalam mengurus rumah dan juga anak-anaknya. Lelali setengah baya itu, bahkan bekerja lebih keras di kebun sawit milik Pak Lurah. Di hari sabtu dan minggu Paman Erik juga bekerja paruh waktu di kebun karet milik juragan Parto. Walaupun hanya sampai jam dua belas siang, sisanya Erik membantu Tara mengerjakan pekerjaan rumah, atau sekedar bermain bersama Fia dan Yusuf. Karena saat ini hanya lelaki itu yang menjadi tulang punggung.

Pernah beberapa kali Tara mengusulkan agar ia bekerja saja. Untuk membantu Erik mencukupi kebutuhan hidup mereka, namun dengan tegas Erik menolak. Cukup ia saja yang mencari nafkah, tugas Tara hanya mengurus anak-anak dan rumah.

Tara sebenarnya kasian pada Erik, apalagi sekarang lelaki itu terlihat kurusan dari biasanya. Paman Erik pasti kelelahan.

"Ini Paman, tehnya." Tara menghidangkan teh manis hangat dan ubi rebus di meja, biasa seperti ini setiap Erik pulang dari kebun.

"Makasih, Ra." Erik menyesap tehnya. Lalu dengan lahap menyantap ubi rebus, sesekali menyuapi Fia, Fia juga jadi menyukai ubi rebus sebagai makanan faovoritnya, sama seperti Erik.

"Besok sabtu Paman gak usah ke Pak Parto, istirahat saja, nanti Paman kecapean, malah sakit," ucap Tara memandang wajah lelah pamannya. Meskipun baru saja selesai mandi, tetap wajah Erik terlihat kelelahan.

"Ga papa, Ra. Kan cuma setengah hari ini. ga cape kok." Erik merebahkan tubuhnya di kursi bale, tempat biasa almarhum Pak Danu beristirahat.

"Paman mau saya pijit kakinya?" tanya Tara ragu. Lancang tidak sih sebenarnya? tapi Tara kasian dengan pamannya.

"Hah ... pijat? ga usah Ra," sahut Erik sedikit canggung.

"Jangan tidur Paman, sudah mau magrib."

"Iya ponakanku sayang, ga tidur kok, cuma merem." Erik lalu memejamkan matanya.

"Kakek bangun!" teriak Fia, sambil menggoyang-goyangkan tubuh Erik yang baru saja dia rebahkan.

Erik kaget, lalu duduk dengan segera.

"Ya sayang, ada apa?" jawab Erik lemas.

"Bola Fia masuk ke kandang ayam Bu Minah, Fia mau ambil takut ditatok," ucap Fia lucu.

"Patok sayang, bukan tatok." Erik tertawa kecil, lalu bangun dari duduknya, sambil menggendong Fia. Mengambil bola yang masuk ke area kandang ayam mbok Minah.

Berikutnya rasa lelahnya hilang, malah ikut bermain bola bersama Fia di teras depan, Tara memperhatikan Fia yang sangat dekat dengan Erik. Apakah dia akan menunaikan saja janjinya pada almarhum ayahnya, untuk menjadi istri Erik saja? Entahlah ia rasanya tak bisa, namun dia juga sungkan jika hanya berempat dengan Erik di rumah ini, apalagi tetangga kanan kiri sudah tahu, kalau Erik bukannya paman kandung Tara.

"Ngelamun apa Nduk?" tanya Paman Erik saat melewati Tara yang bengong sambil menggendong Yusuf.

"Aah ... gak papa Paman." Tara mengulum senyum, ikut masuk ke dalam, karena adzan magrib baru saja berkumandang. Erik mengambil air wudhu dan bersiap ke musholla.

"Kakek, Fia ikut sholat ya?" rengek Fia sudah rapi dengan mukena bunga-bunga warna pink.

"Sudah bilang Mama belum?"

"Sudah. Ayo." Fia menarik tangan Erik keluar rumah. Erik menuntun Fia sampai ke musholla.

Tara baru saja selesai masa nifas, setelah melaksanakan sholat magrib, Tara menyiapkan makan malam, menghidangkannya di meja kecil dekat bale. Biasanya mereka makan di bawah beralaskan tikar. Namun semenjak bapaknya meninggal Tara memilih makan di bale bersama Erik terkadang.

Aku dan Teman SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang