“Nai, beneran Papa nggak mau merepotkan kamu. Papa sehat, kita bisa pulang. Nggak usah dirawat kayak gini.” Hutomo menatap putrinya memohon, tak kuasa melihat gurat lelah dari wajah cantik putrinya.
Naira tersenyum, mengusap jemari papa-nya lembut. “Nggak apa-apa, Pa. Uang bisa dicari, yang penting Papa sembuh.” Naira bohong, karena pada nyatanya isi kepala Naira semerawut memikirkan kemana ia mencari uang untuk bekal dan biaya selisih naik kelas nanti sewaktu pulang.
Papa-nya punya penyakit komplikasi hipertensi dan diabetes militus yang berefek pada fungsi gagal ginjal. Papa-nya harus cuci darah seminggu satu kali, kadang di luar cuci darah papa-nya akan dirawat karena bengkak di kaki dan juga perut. Memang semua ditanggung BPJS, tapi bila ruangan sekelas BPJS penuh, Naira akan mengambil kelas satu demi kenyamanan papa-nya. Sesayang itu Naira pada papa-nya, karena dari bayi Naira hanya dirawat oleh papa-nya. Bahkan Naira tidak tahu siapa dan bagaimana rupa mama-nya.
“Nai, maafin Papa sering merepotkan kamu.”
Naira mendesah panjang, menarik kursi tunggu yang ada di ruangan. “Naira anak Papa, sudah jadi tanggungjawab Naira. Naira nggak merasa direpotkan. Papa jangan banyak pikiran, nanti tekanan jantung Papa nggak stabil. Papa mau masuk ICU?”
Hutomo tersenyum hampa. “Kamu perempuan, usia kamu sudah hampir 30 tahun. Bukannya memikirkan pernikahan, kamu malah sibuk ngurusin Papa yang penyakitan ini.”
Naira menyunggingkan senyum kaku. “Nai mikir kok, Pa. Nai juga mau nikah, tapi nggak sekarang. Nai cari suami yang nggak Cuma sayang sama Nai doang, tapi sama Papa juga.”
Tanpa diduga Hutumo menitikan air mata. “Papa merasa nggak berguna banget, dari awalnya kamu hidup berkecukupan di Jakarta, sekarang kita harus tinggal di Cianjur, kota kecil yang jauh ke mana-mana. Bahkan saat jadwal cuci darah pun kita harus ke Rumah Sakit Sukabumi. Semua butuh biaya, uang dari mana kamu, Nak?”
Naira menarik napas pajang, masih bertahan menyunggingkan sebuah senyuman. Naira tidak tahu ini sebuah hukuman atau cobaan untuknya. Sepuluh tahun lalu saat dirinya baru saja lulus SMA, kabar buruk datang karena perusahaan papa-nya di ambang kebangkrutan. Selang beberapa bulan kemudian, rumah yang ia tinggali pun dapat plang disita oleh pihak Bank. Usaha papa-nya gulung tikar, sejak saat itu Naira mencari pekerjaan dan rumah sewa yang cocok dengan uang gajinya. Satu tahun setelah musibah itu, kesehatan papa-nya mulai tidak stabil. Awalnya hanya pingsan dan diagnosa hipertensi, dua tahun kemudian bertambah penyakit gula. Tubuh papa-nya mulai menyusut, dari yang awalnya gagah, berisi, sekarang kurus nyaris dibilang kering.
“Pa, percaya sama Nai. Semua ada rezeki-nya. Papa nggak usah mikirin itu. Kalau memang Papa kasian sama Nai, yuk jangan mikirin apa-apa, cukup fokus sama kesehatan Papa.”
Naira tidak sepenuhnya berbohong, rezeki untuk biaya pengobatan papa-nya selalu ada. Entah itu dengan cara kasbon, atau pinjam pada teman kerjanya.
“Sekarang, Papa istirahat. Besok malam kita berangkat ke Sukabumi buat cuci darah langsung dari sini. Nai ikhtiar dulu, Papa doain supaya berhasil, ya? Papa ada mau dibelikan sesuatu?”
Hutomo tersenyum, menggeleng lemah. “Enggak, Papa nggak mau apa-apa.” Usapan lembut mendarat di puncak kepala Naira. “Makasih ya, Sayang?”
Naira hanya tersenyum, ia bergegas berdiri. Menyempatkan diri mengecup kening papa-nya. “Nai tinggal dulu ya, Pa? Nanti Nai titipkan Papa ke perawat di depan.” Naira melambaikan tangan, berlalu dari ruangan.
Sampai di meja perawat, Naira tersenyum. “Bu, boleh minta tolong titip Papa selama saya keluar? Saya ada urusan dulu soalnya,” pinta Naira terdengar sungkan. Naira memang sudah hafal siapa perawat yang berjaga di ruang melati kelas satu dan ruang manggis kelas dua saking seringnya rawat inap di sana.
“Oh, Teteh-nya mau keluar dulu?” Perawat yang terlihat sudah berumur itu tersenyum. “Boleh, Teh. Biar saya lihat kondisi Bapak-nya sambil jaga, ya?”
Naira tersenyum lega, mengangguk sopan. “Makasih ya, Bu. Saya pergi dulu kalau begitu.”
Tubuh semampai Naira melangkah menuju tangga keluar, karena ruangan kali ini terletak di lantai tiga. Naira tidak bisa menggunakan lift, lebih efektif naik-turun tangga kalau sendiri.
Berjalan pelan, Naira berkali-kali mengembuskan napas panjang. Kemana ia harus mencari pinjaman? Mala? Tidak mungkin, karena ia juga tahu kalau Mala sama susah sepertinya. Naira juga ingat bahwa bulan depan masa kontrakan rumahnya akan habis. Ya Tuhan ... Naira memijat keningnya lelah. Dari mana ia mendapatkan uang banyak sedangkan pekerjaannya hanya seorang admin biasa di CV makanan ringan. Gajinya pun kadang pas-pasan hanya untuk makan saja, kadang juga kurang.
Memikirkan semua itu membuat kepalanya terasa akan meledak saking panasnya.
Sampai di lantai dasar, Naira keluar dari ruangan menuju taman yang tersedia di rumah sakit. Bangku-bangku kosong, Naira mengambil tempat duduk di ujung dekat batu tebing hiasan. Hembusan angin sore membuatnya semakin tenggelam dalam kerumitan pikirannya.
Naira merogoh gawai yang ia simpan di saku celana jeans-nya, menghubungi Mala. “Halo? Mal, gue mau minta tolong, nih.” Delapan tahun tinggal di Cianjur, belum juga membuatnya fasih berbahasa sunda.
“Minta tolong apaan? Kalau duit, gue lagi kosong. Mungkin bisa kalau minggu depan.”
Naira tersenyum kecut, sesering itu dirinya meminjam uang sampai Mala hafal alasannya menelepon. “BPJS premi, gue yakin harus bayar denda walaupun udah di bayar. Belum lagi bayar ambulan buat besok ke Sukabumi. Gimana dong, Mal?” Naira meringis, lupa dengan rasa malunya.
“Bokap lo dirawat lagi?”
Naira menghela napas mengangguk samar. “Iya. Kaki Papa bengkak lagi, sama mulai sesak napas. Nggak tega gue lihatnya.” Naira bergeser sedikit. “Kepala gue rasanya mau meledak, Mal. Banyak banget duit yang gue butuhin buat bulan ini sama bulan depan.”
Terdengar Mala menghela napas dari seberang. “Gue nggak bisa bantu banyak sih, Nai. Lo tau sendiri gimana ekonomi gue. Gue ada nyimpan uang juga bukan dari gaji kita, tapi dari,”
Kening Naira mengerut saat ucapan Mala terhenti. “Dari apa, Mal? Lo punya sampingan nggak ajak-ajak gue?” Naira berbicara menggunakan nada menyalahkan. “Gue beneran butuh banget duit, Mal.” Pantas saja Mala selalu punya pegangan untuk ia pinjam.
Mala meringis. “Gue nggak yakin lo mau. Ini kerjaan gelap soalnya, Nai. Nggak ah, gue nggak akan tega ngajak lo kerja sampingan kayak gini.”
Naira diam, ia sedikit terkejut mendengar kata ‘gelap’. Gelap bagaimana? Apa mungkin menjual diri? Atau jadi teman kencan om-om? Tapi akses di Cianjur tak seluas di kota-kota besar, setahunya.
“Sampingan apa, Mal?”
Mala menarik napas. “Udah lupain aja, biar gue cari pinjaman deh sama temen-temen gue. Nanti gue bayar dulu pakai duit gue, baru bulan depan lo ganti. Gitu aja gimana?”
Pekerjaan sampingan gelap?
“Mal, serius. Pekerjaan apa?”
Helaan napas kembali terdengar. “Nggak, lo nggak pantas kerja kayak gitu. Lo cewek baik-baik, gue nggak mau lo ikut terjerumus.”
“Pekerjaan apa? Siapa tau gue bisa pikirin buat ikut kerja. Ayolah, Mal,” desak Naira memelas.
“Jual diri.”
Naira sudah tidak kaget lagi, ia sudah menebak dari pertama kata gelap dilontarkan.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Naira (Tamat)
RomanceKover by henzsadewa Naira terpaksa menjual kehormatannya demi mencukupi kebutuhannya dan juga ayahnya. Namun nahasnya, semua yang ia rencanakan tidak sesuai yang dibayangkan. Bagian masa lalunya hadir membayangi dan mengikatnya dalam ketidakberdayaa...