Dua

15.6K 1.1K 72
                                    

“Ini buat bekal lo berangkat ke rumah sakit Sukabumi.” Mala menyerahkan sepuluh lembar uang seratus ribuan padanya.

Naira menatap Mala ragu, melirik sekitar mereka yang memang sedang sepi. Naira terpaksa masuk kerja karena malu terlalu sering bolos dan juga takut dipecat bila terus-terusan libur. “Dari mana lo dapat ini?”

Mala mengangkat bahu tak acuh, ia duduk di kursi admin lain yang sedang istirahat. “Ada deh, pokoknya nggak usah dipikirin. Lo kalau belum ada buat bayar ya jangan dulu, kalau masih belum bisa dicicil juga boleh, kok.”

Naira termenung, wajah tirusnya semakin tirus karena terlalu kelelahan. Di bawah mata bulat bersihnya terdapat lingkar hitam seperti mata panda, menandakan kurangnya istirahat. Naira tersenyum paksa. “Makasih, ya.”

Mala mengangguk, tersenyum lebar menujukkan deretan gigi rapinya. “Kita kan temen, udah harusnya saling bantu. Gue juga pernah ngerasain posisi kayak lo, tapi karena minimnya yang bantu, jadi ya gue melakukan hal pintas itu.”

Naira tercenung. “Dari sejak kapan, Mal?”

“Baru satu tahun,” Mala menjawab dengan tenang.

Sesuatu dalam diri Naira bergejolak, menimbang antara ikut bergabung atau tetap bertahan. Naira mengembuskan napas. “Di mana? Bukannya akses di Cianjur nggak seluas di kota besar?”

“Banyak kok,” Mala menyahut. “Cuma jarang ada yang tau.”

Naira menatap Mala ragu-ragu. “Kalau gue mau ikut kerja, bisa?”

Pupil mata Mala melebar. “Jangan! Itu bukan kerjaan biasa, Nai. Ini kerjaan yang amat beresiko. Apalagi kalau klien kita ketemunya sama om-om, udah. Lo bakalan nyesel.”

Naira mengembuskan napas berat. “Gue masih perawan. Dihargai berapa kalau yang masih perawan?” Naira pikir tidak ada salahnya ia mencoba. Lagi pula, ia tidak terpikirkan untuk menikah.

Mala terkesiap, menatap Naira tak percaya. “Jangan, Nai.”

“Gue serius. Dihargai berapa? Apa harus potong Mucikarinya?”

Mala mendesah panjang. “Nyesel gue pakai ngomong sama lo.”

Naira meringis. “Gue haru bayar kontrakan bulan depan, Mal. Sepuluh juta bukan duit yang sedikit, tahun ini gue nggak bisa nyisihin buat perpanjang kontrak karena tahun ini Papa udah cuci darah. Uang akhir bulan suka habis nggak bersisa. Dari mana gue dapat duit sebanyak itu? Nyari kontrakan baru pun harus siapin duit minimal buat setengah tahunnya.” Mata bulat Naira mulai berair, beban dalam dadanya terlalu lancang menekan hatinya. “Gua nggak mungkin ngomongin depan Papa, gue nggak mau dia makin drop.” Naira menutup wajahnya menggunakan telapak tangannya. “Gue capek, Mal. Tapi gue nggak bisa nyerah,” isak Naira akhirnya menumpahkan air mata.

Mala tersenyum miris, mengusap punggung Naira yang bergetar hebat. “Gue bantuin lo nyari pinjeman buat bayar kontrakan bulan depan, tapi jangan sampai lo menjerumuskan diri, Nai. Gue udah sayang banget sama lo, gue nggak mau kalau lo ikut kerjaan kotor kayak gini,” Mala menekan kata kotor berharap Naira mundur dengan keinginannya.

Naira mengangkat wajahnya. “Sampai kapan gue repotin lo terus? Gue sebenarnya malu, Mal.”

“Nggak, gue nggak merasa direpotkan. Udah ya, lupain niat lo. Kita sama-sama nyari pinjaman buat bayar kontrakan lo bulan depan.” Sungguh, Mala menyesal memberitahukan pekerjaan sampingannya pada Naira. Mala lupa kalau Naira sedang dalam pikiran kalut dan bisa mengambil keputusan semudah itu.

Mala berdiri hendak pergi, tapi Naira lebih dulu menahannya. “Mal, lo sayang sama gue, kan?” tanya Naira yang diangguki ragu oleh Mala. “Please ... bantu gue buat masuk ke pekerjaan sampingan ini.” Melihat netra cokelat itu berpedar penuh keputus-asaan membuat Mala mengembuskan napas, sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan.

**

“Mbak, tolong jagain Papa, ya? Saya ada urusan penting, harus berangkat malam ini juga.” Naira meminta tolong pada asisten yang khusus Naira pekerjakan untuk menjaga papa-nya saat dirinya keluar. Seminggu sudah sepulang dari rumah sakit dan cuci darah, Mala akhirnya memberitahu ada yang mau membeli keperawanan-nya dengan harga yang lumayan tinggi.

“Neng malam-malam begini mau ke mana?” Bi Aan mengekori Naira yang sedang bersiap.

Naira tersenyum. “Mala ngajak saya keluar, nggak akan lama, kok. Saya juga mau ikhtiar buat perpanjang kontrakan. Doain ya, Mbak.” Naira menyentuh bahu Bi Aan.

Naira bukan mampu membayar, tapi Naira memaksakan diri untuk membayar asisten karena dirinya tidak bisa menjaga papa-nya seharian penuh. Naira berangkat kerja pukul tujuh pagi, pulang kerja jam 6 sore kadang bisa sampai malam hari. Ini alasan kenapa Naira memilih Cianjur sebagai kota pelarian, karena harga-harga di sini tidak terlalu mahal. Bahkan membayar asisten pun hanya delapan ratus ribu perbulan.

Tidak lama suara deru motor terdengar, itu pasti Mala. Naira sekali lagi berpamitan pada Bi Aan, karena papa-nya sudah tidur sejak jam tujuh tadi.

“Udah siap?” terlihat jelas binar keraguan dari sorot mata Mala, dan Naira hanya tersenyum meyakinkan.

“Udah.” Naira naik motor. “Ke Cipanas malam-malam begini aman?” mengingat jalan yang akan dilalui lumayan sepi dan sekarang sudah pukul sepuluh malam.

“Kita nggak ke Cipanas, kita janjian di hotel Bydel yang jalur Cipanas. Dia yang nawarin solusi, karena kalau kita ke Cipanas terlalu malam juga dan kurang efektif buat kita nanti.”

Naira hanya mengangguk-anggukkan kepala. “Lo dapat klien dari mana?” Aneh, secepat itu Mala mendapatkan job untuknya.

“Jadi, dia itu atasannya cowok yang sering boking gue. Kebetulan dia lagi ada rapat di sini dan butuh pelepasan. Gue awalnya sih cuma nawarin ke dia, tapi harga yang gue ajuin kegedean, dan dia nggak sanggup.”

“Lima puluh juta?”

Mala mengangguk. “Yap! Gue nawarin segitu, tapi atasannya cowok itu berani ngasih harga 70 sampai 80 juta. Lumayan, kan? Cuma semalam pula. Kalau nikah sih nggak mungkin sampai dibawain segitu,” gurau Mala mencairkan suasana.

Naira tersenyum kecut. “Iya.”

“Tapi, Nai. Kalau lo mau cancel juga nggak masalah, gue malah senang banget.”

Naira mendesah panjang. “Kita langsung ke hotel? Nggak siap-siap dulu?”

“Maksud lo?”

“Iya pakai baju seksi atau make-up dulu mungkin.”

Seketika Mala tergelak. “Halah ... korban ftv tobat, nih.”

Kedua alis Naira saling bertaut. “Bukannya harus begitu,?”

“Nggak-lah ... semestinya aja, Nai.”

Tidak terasa, motor yang dikendarai Mala sampai di hotel Bydel. Mereka turun secara bergantian, Naira terperengah. Detal jantungnya menggila, kaki-nya terasa berat seperti menginjak lem saking rapatnya. Naira melirik Mala di tengah kegelapan, terlihat dari cara Naira menelan ludahnya. Wanita itu ketakutan.

“Masih ada kesempatan kalau mau balik lagi.”

Ajakan itu seperti pecut baginya. Tidak, ia tidak boleh menyerah. Harus berjuang demi papa-nya. Naira mengabaikan ajakan Mala, ia melangkah lebih dulu ke pintu utama hotel. “Kamar berapa?”

“Bentar.” Mala meraih gawainya, terlihat sedang menghubungi seseorang. Tidak lama kemudian Mala kembali mendekat padanya. “Kamar VIP satu di lantai lima. Kita naik lift aja, ya? Kaki gue nggak sanggup harus pakai tangga.” Mala memelas seolah tahu apa yang akan jadi pilihan sahabatnya.

Naira mendesah pelan. “Ya sudah, ayok.” Lebih cepat lebih baik, paling hanya dua jam. Semuanya selesai dan dirinya bisa pulang membawa uang untuk melunasi hutang-hutangnya dan juga memperpanjang kontrakan rumah.

**

Naira (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang