Lima

14.9K 1.3K 127
                                    

Naira udah tersedia versi ebooknya yaa dan update tiap hari di Innovel.
***

Naira bersikap seperti biasa, ia menyempatkan diri mengurus papa-nya sebelum berangkat kerja dan pulang ketika papa-nya sudah terlelap. Tidak ada yang lebih indah selain melihat senyum papa-nya yang tanpa beban. Apa pun akan ia lakukan, bahkan ia menyembunyikan beban yang menimpanya bertubi-tubi. Namun semuanya sudah selesai. Tidak ada lagi beban. Semua hutang sudah dilunasi, bayar uang kontrakan sudah, dan uangnya masih sisa untuk bekal beberapa bulan ke depan.

"Mbak, ini ada uang lebih. Nggak banyak, tapi lumayan buat nambah uang susu cucu, Mbak."

Bi Aan menatap Naira dengan tatapan tak terbaca. "Ya Allah, Neng. Ini mah banyak atuh," Bi Aan melihat setumpuk uang yang lumayan banyak. "Jangan banyak-banyak gini, kasihan nggak ada buat Neng sama Bapak."

Naira tersenyum. "Buat kami ada kok, Mbak. Kapan lagi saya bisa ngasih lebih, bulan depan juga saya nggak janji bisa ngasih uang lebih kayak gini. Mumpung masih ada rezeki."

Bi Aan menyeka air matanya. "Rezeki memang nggak akan ketuker, Neng. Bibi memang lagi butuh uang lebih, alhamdulillah Neng ngasih."

Naira mengangguk, ia mengulum senyum sedih. Sama sepertinya, saat ada yang memberi uang lebih di saat membutuhkan itu melebihi apa pun rasanya. Naira sering mengalami hal seperti itu, beruntung Mala selalu membantunya.

"Iya, rezeki kita semua."

"Kamu bisa perpanjang kontrakan dari mana uangnya, Nai?" Hutomo muncul menggunakan kursi roda.

"Mala yang ngasih pinjam, Pa." Naira menelan semua kejujuran yang tidak mungkin ia katakan pada papa-nya.

"Dari mana Mala dapet uang sebanyak itu?" Hutomo sedikit kurang percaya karena ia tahu bahwa Mala pun sama, hidupnya pas-pasan seperti mereka.

Naira meringis, tersenyum pahit. "Naira nggak tau, Pa. Mungkin Mala punya tabungan, jadinya ada pas Nai butuh. Cara bayarnya juga nyicil, kok."

Hutomo menghela napas panjang. "Jangan sampai salah langkah, Nak."

Saat itu juga hati Naira yang sudah hancur semakin hancur tak berbentuk. Naira menahan air mata yang berdesakan ingin keluar. "Iya, Pa," jawab Naira susah payah menahan getaran dari suaranya.

"Mbak, bisa minta tolong bawa Papa ke kamar? Sekarang juga jadwal Papa minum obat, besok kita berangkat buat cuci darah."

Hutomo menangkap gelagat aneh dari putrinya hanya bisa berdeham, membiarkan asisten mendorong kursi rodanya. Minggu lalu Naira pulang pagi setelah malamnya berangkat tidak tahu ke mana, dan saat pulang Naira membawa banyak makanan dan pakaian baru untuknya. Dari sana Hutomo berspekulasi. Menduga-duga apa yang terjadi pada putrinya. Hutomo mendesah panjang, berharap putrinya tidak gelap mata dan melakukan hal yang melanggar norma.

**

Satu bulan sudah, kehidupan Naira kembali membaik. Naira bisa menyisihkan dari gaji bulanannya untuk ongkos berangkat-pulang cuci darah dan kebutuhan rumah setelah membayar asisten yang membantu menjaga papa-nya. Perlahan Naira mulai melupakan kejadian menjual dirinya. Cukup sekali. Tak akam terulang lagi.

"Nai! Bengong mulu lo," Mala menyenggol bahu Naira yang sedang duduk termenung di meja kerja. Naira terperenjat, refleks menggeplak kepala Mala kuat-kuat membuat Mala meringis. "Sakit, Oneng!"

"Ya elo ngagetin gue," ketus Naira menatap Mala sengit. "Apa maksudnya coba pakai ngagetin segala. Untung gue nggak jantungan. Kenapa?"

"Heru," Mala berbisik pelan menggeret kursi lain agar bisa duduk di samping Naira. "Dia minta nomor telepon lo."

Seketika Naira bergidik membulatkan matanya. "Nggak, Mal! Gue cuma sekali ngelakuin itu, nggak akan pernah lagi."

"Ssstt!" Mala menempelkan jari telunjuknya pada Naira. "Heru minta nomor telepon lo atas perintah atasan dia, Nai."

"Atasan?" Naira menepis telunjuk Mala yang menempel di bibirnya. "Nugara?"

Mala mengangguk. "Iya. Nugara."

"Jangan! Awas aja kalau sampai dia tau nomor telepon gue, persahabatan kita bubaran saat itu juga."

Kening Mala mengerut heran. "Nai, gue kok ngerasa lo ada sesuatu sama Nugara?"

Naira bergeming, sesuatu yang sempat ia lupakan muncul ke permukaan. "Lo nunjukkin foto gue waktu mau ngejual gue?" Itu yang mau Naira tanyakan, karena Naira tahu bagaimana sifat pemilih dan hati-hatinya Nugara dalam melakukan suatu tindakan.

Mala dengan berat hati menganggukkan kepala, sontak membuat Naira memijat keningnya yang terasa pening. "Ya kali aja gue nawarin sesuatu tanpa ada yang ditunjukin. Gimana orang mau tertarik, Nai?"

Naira mendesah panjang, Mala tidak tahu bagaimana susahnya ia mengubur segala hal yang berkaitan dengan masa lalunya. "Nugara sahabat gue, Mal." Tidak ada jalan lain selain bercerita pada sahabatnya, supaya nanti lebih sigap menolak. "Bokap Nugara ambisi banget ngancurin perusahaan Papa dari sejak dulu, dan ternyata berhasil," Naira tersenyum kecut.

Mala bergeming, menyimak cerita sahabatnya.

"Gue marah waktu tau siapa dalangnya, tapi gue nggak ada kuasa apa pun waktu itu. Papa juga udah berada di titik paling rendah. Saat itu persahabatan gue sama Nugara mulai nggak sehat dengan gue yang menjaga jarak sama dia. Sampai akhirnya gue pindah ke Cianjur pun, Nugara nggak tau."

"Gue yakin Nugara nggak tau tentang itu, Nai. Lo tau cerita ini juga dari bokap lo, kan?"

Naira menganggukkan kepala. "Awalnya Papa nggak mau cerita karena takut persahabatan gue sama Nugara hancur, tapi ternyata sewangi-wanginya bangkai, tetap aja akan tercium baunya."

Bukan hanya itu yang membuat Naira menjauhi Nugara, tapi ada perasaan yang Naira anggap sebuah hal yang tidak layak dipertahankan dalam hubungan persahabatan. Bahkan saat Nugara menyatakan perasaannya, Naira memilih bersikap abai seolah dirinya tidak merasakan hal yang sama.

"Gue nggak nyangka kalau kisah lo bisa sama kayak cerita-cerita erotis yang sering gue baca online."

Naira meninju lengan atas Mala, tersenyum miris segera memalingkan wajahnya ke lain arah. "Hidup gue nggak sedrama itu, Mal. Hidup gue kayak drama karena gue banyak hutang dan harus jual diri buat lunasin hutang, itu doang. Nggak ada jadi bucin-bucin begituan."

"Tapi gue serius, Nai. Nugara kayaknya masih penasaran sama alasan kenapa lo tinggalin dia."

Naira mengibaskan tangannya, lalu berdiri meninggalkan Mala tanpa mengatakan apa pun. Naira tidak mau membicarakan masa lalunya, terlalu indah sekaligus terlalu pahit untuk dikenang.

Naira (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang