Tiga

15.5K 1.3K 47
                                    

Perasaan tidak enak melingkupi, aura mencekam terasa begitu kuat. Naira berkali-kali menelan ludahnya sendiri, duduk membisu di sofa yang tersedia di hotel. Netra cokelat itu memindai isi kamar. Perasaan sunyi datang saat Mala meninggalkannya sendirian di kamar ini. Menunggu yang akan menjamah tubuhnya. Membayangkan adegan-adegan yang akan terjadi membuat Naira bergidik ngeri.

Tidak lama kemudian, pintu dibuka. Naira tergesa berdiri, meremas jemarinya menyalurkan rasa gugup. Naira menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. Derap sepatu terdengar semakin mendekat, rasa takut semakin merajai.

"Maaf, Om. Saya belum berpengalaman, sa-saya,"

"Naira?"

Naira seketika mengangkat pandangannya, terpaku melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Saat itu juga air matanya tumpah ruah, getar di tubuh Naira semakin menjadi. "Nugara?"

***

Nugara tak hentinya menatap Naira dengan sorot mata tak terbaca. Pria berwajah Timur Tengah itu lebih senang menatap intens Naira, hingga membuat Naira salah tingkah.

"Kita bisa mulai sekarang kalau kamu mau." Naira tidak bisa berdiam diri terus. Ini sudah satu jam lewat, Naira harus segera menyelesaikan pekerjaannya.

"Apa kabar?" Sebuah pertanyaan yang basi dan Nugara tidak suka sebenarnya. "Bagaimana kabar Papa kamu?"

Naira membuang pandangannya ke lain arah. "Kita di sini sebagai patner, bukan sebagai teman."

"Ralat, bukan teman, melainkan sahabat." Pembawaan diri Nugara begitu tenang, aura jantan menguar begitu kuat membuat bulu kuduk Naira meremang.

"Itu dulu." Naira menatap Nugara. "Kalau sekiranya kamu mau membatalkan, aku pulang sekarang." Naira berdiri, ia hendak pergi tetapi Nugara lebih dulu menahannya dengan mencengkeram pergelangan tangan Naira. Sekali hentakkan menarik tangan Naira, membuat Naira terjengkang jatuh di atas pangkuan Nugara.

"Kamu bilang mulai? Sedangkan reaksi tubuh kamu terlalu berlebihan. Baru begini saja sudah tegang, apalagi sampai aku sentuh," bisik Nugara dengan suara beratnya.

Naira membeku, saraf-saraf otaknya seolah berhenti. Posisi mereka sangat intim, detak jantung Naira pun mulai melambat. Lengan kekar melingkari perut ramping Naira, sebuah kecupan panjang terasa di sepanjang punggungnya yang dilapisi kaos.

"Kenapa kamu menjual diri, Nai?"

Naira menggigit bibir bawahnya, ia menahan gejolak perih yang menendang menyebabkan rasa sesak. Naira menarik napas dalam-dalam, rasanya ingin ia tepis jemari nakal yang menggerayangi tubuh bagian atasnya. Namun apa daya mengingat niat awalnya adalah menjual diri.

"Saya butuh uang." Naira mati-matian meredam getaran dalam dirinya.

"Kenapa kamu menghilang begitu saja, Nai?"

Air mata yang susah payah Naira tahan, lolos begitu saja. Naira menangis dalam diam.

"Kita di kamar ini bukan untuk saling bertanya kabar. Kita di sini untuk melampiaskan nafsu kamu."

Nugara menggeram tertahan, emosinya nyaris terpancing karena perkataan wanita yang duduk di atas pangkuannya itu. Nugara marah, karena Naira pergi begitu saja tanpa pamit padanya terlebih dahulu.

Nugara bersahabat dengan Naira sejak mereka duduk di bangku kelas satu sekolah menengah pertama, dan saat dirinya menginjak masa puber, cinta pertamanya jatuh pada Naira. Namun sayang, Naira hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat. Naira yang dulu ia kenal sebagai putri dan selalu tampil memukau, sekarang terlihat menyedihkan dengan wajah yang lesu dan juga tubuh yang kurus tidak terurus.

Nugara membalik tubuh Naira, menindihnya di sofa. "Kamu mau menjual diri, tapi kamu nggak terima disentuh. Bagaimana semuanya akan berjalan?"

Naira menahan tangisannya, menatap Nugara dengan penuh kemantapan. "Sentuh aku, dan selesaikan semuanya malam ini," pinta Naira dengan nada parau.

Hati Nugara teriris melihat air mata Naira. Apa gerangan yang menimpa Naira selama sepuluh tahun ke belakang ini?

Nugara mengembuskan napas berat, ia menjauhkan diri dari Naira. Duduk bersila, menatap Naira yang sudah sesengukan.

"Apa yang terjadi, Nai?"

Naira menggeleng, menahan air matanya. "Ayo, Gara. Apa susahnya tinggal melakukan itu?"

"Enggak. Saya nggak bakalan melakukan itu sebelum mendengar semua cerita yang menimpa kamu," tekan Nugara kemudian menyalakan rokok yang ia ambil dari saku kemejanya.

Pupil mata Naira mengecil. "Sejak kapan kamu merokok?" seingatnya, Nugara adalah anak yang baik. Makanya ia mau bersahabat dengan Nugara dulu.

"Sejak lulus SMA." Nugara menatap Naira tajam. "Sejak kamu pergi tanpa meninggalkan jejak dan malah terdampar di kota kecil ini."

Naira bangun, ia merapikan rambut panjang kecokelatannya, kemudian mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Kalau begitu saya pulang."

"Kenapa pulang? Bukannya kita belum selesai?"

Naira menyunggingkan senyum sinis. "Saya yakin kamu nggak bisa melakukan itu." Naira kemudian berdiri, menyambar tas kecilnya.

Nugara ikut berdiri, melingkarkan lengannya pada dada Naira. "Mau saya buktikan?" Nugara menggeser dirinya ke samping, ia merunduk menjilat leher jenjang Naira, meninggalkan bercak merah di sana. Nugara membalik tubuh Naira agar menghadap padanya. "Jangan pernah memohon berhenti, karena kamu yang menjual diri kamu pada saya."

Setelah mengatakan itu, Nugara merunduk, mencium bibir mungil Naira secara brutal. Yang Naira lakukan hanya pasrah sembari memejamkan mata. Berharap pekerjaan nistanya berakhir cepat.

**

Naira (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang