Naira bangun tertatih memunguti pakaiannya yang berceceran. Naira berkali-kali mengusap air matanya kasar. Area kewanitaannya terasa perih, belum lagi tubuhnya yang terasa lemas. Nugara benar-benar melakukannya, menyetubuhinya secara brutal. Bahkan Naira lupa berapa kali Nugara memasukinya saking seringnya.
Naira masuk ke kamar mandi, berjalan pelan menuju tempat shower. Naira mengguyur tubuhnya di sana, tidak ada gurat penyesalan, hanya ada raut wajah datar sebagai wujud betapa hancur dirinya. Naira tidak lagi menangis, ini jalan yang ia pilih. Segala resiko akan ia tanggung, pahit, pedih, dan gelap. Karena manis tidak mungkin masuk dalam salah satu opsi.
Naira mandi saat itu juga, mengenakan handuk yang disediakan di sana, lalu memakai kembali pakaiannya. Naira sudah rapi, hanya pakaiannya yang sedikit kusut. Naira terkesiap saat membuka pintu mendapati Nugara berdiri tanpa ekspresi menatapnya tajam.
“Bayaran kamu sudah saya transfer,” ucapnya dengan nada datar.
Naira mengangguk, sekilas menatap Nugara. “Terima kasih.”
“Mau saya antar?”
Dengan cepat Naira menggeleng. “Nggak usah, saya bisa sendiri.”
“Tadi saya nggak pakai pengaman.”
Wajah Naira memanas, ia mendorong Nugara agar minggir tidak menghalangi jalannya. Naira berjalan cepat menuju sofa tempat ia menyimpan tasnya. “Saya pamit dulu.”
“Saya lebihkan uang bayaran kamu, jaga-jaga kalau sampai kamu hamil ada biaya buat aborsi.”
Naira terperenyak mendengarnya. Bahkan hamil saja belum tentu, dan Nugara dengan entengnya mengatakan itu. Siapa sebenarnya lelaki ini? Apakah dia Nugara sahabatnya di masa lalu? Atau dia adalah setan jelemaan Nugara sahabatnya? Mengapa ia tidak mengenali satu pun sifat Nugara yang dulu?
“Saya nggak akan hamil,” tukas Naira.
“Bagus, karena saya sudah menikah.”
Lutut Naira yang sudah lemas semakin lemas mendengar pernyataan Nugara. Sudah menikah? Naira tersenyum kecut.
“Dan saya nggak peduli,” pungkas Naira.
“Ikut saya ke Jakarta, kamu nggak perlu menjual diri. Kamu bisa menjadi simpanan saya di sana.”
Naira tersenyum kecut, menatap sengit pada Nugara. Naira berlalu dari sana tanpa sepatah kata pun. Dadanya tiba-tiba berdenyut sakit, membuatnya sesak entah berasal dari mana rasa sakit itu.
***
Naira menangis sesengukan dalam dekapan Mala, ia menumpahkan semua rasa yang terasa mencekiknya. “Jadi, atasan Heru itu sahabat lo waktu masih di Jakarta dulu?” tanya Mala yang diangguki oleh Naira.
Naira mengangguk. “Dia berubah, Mal. Gue kira dia akan melindungi dan menghentikan keputusan gila gue, tapi ternyata dia malah melakukan itu secara brutal dan berkali-kali.”
Mala meringis, mengusap punggung sahabatnya yang bergetar hebat. “Lo pakai pengaman tapi, kan?”
Naira melepaskan diri, menggeleng pelan membuat Mala refleks berdecak, menepuk keningnya tak habis pikir. “Seingat gue tadi udah ngingetin lo berkali-kali buat pakai pengaman. Resikonya tinggi banget, Nai. Lo bisa hamil, lebih parah lagi bisa tertular penyakit kelamin yang dia idap.”
Naira semakin menangis. “Gue udah ngingetin, tapi dia malah bilang rugi rasanya dia udah bayar puluhan juta harus pakai pengaman.”
“Gue bilang apa, Nai ... jangan gila, jangan gila!” suara Mala sedikit meninggi. “Gue tuh sayang banget sama lo. Dari zaman kita pontang-panting banget nyari duit, usaha kecil-kecilan kita juga nggak pernah maju. Gue nggak pernah mau lo terlibat prostitusi! Resikonya gede banget, Nai.”
Naira terisak. “Semua demi Papa, Mal. Gue juga nggak mau ngelakuin hal ini kalau bukan karena Papa!”
“Tapi Papa lo nggak akan senang kalau tau fakta anak kesayangannya menjual diri demi dirinya.”
Naira menjambak rambutnya yang masih basah. Naira keluar dari hotel pukul tiga pagi, Mala menjemputnya dan langsung membawanya ke kosan Mala.
“Gimana? Nyesel, kan?”
Naira menggeleng, menatap Mala tajam. “Gue nggak pernah nyesel kalau itu urusannya buat memperjuangkan bokap gue. Bagi gue nggak ada yang lebih penting dari bokap, bahkan keperawanan gue nggak ada artinya dibanding kesehatan bokap.” Naira berdiri. “Antar gue ke atm. Gue mau beli makanan kesukaan Papa sama lunasi hutang-hutang yang numpuk.”
Sekali saja dirinya menjual diri, dan untuk selanjutnya ia akan kembali seperti semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naira (Tamat)
RomansaKover by henzsadewa Naira terpaksa menjual kehormatannya demi mencukupi kebutuhannya dan juga ayahnya. Namun nahasnya, semua yang ia rencanakan tidak sesuai yang dibayangkan. Bagian masa lalunya hadir membayangi dan mengikatnya dalam ketidakberdayaa...