"Ana, mari kita bercerai." Adalah awal percakapan mereka malam ini.
Deg! Tubuh Ana menegang tidak menduga waktunya telah tiba. Secepat inikah? Tapi mengapa? Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan lagi. Ana tahu karena dia bukanlah wanita yang dicintai Alan sampai mati. Jelasnya hanya cinta sesaat. Dan Ana tidak tahu alasan Alan yang begitu gencar mendekatinya dulu. Ana merasa terbodohi bahkan memilih bertahan setelah tahu segalanya.
Butuh proses panjang hingga mereka sampai tahap ini. Salah satunya terbentur restu orang tua. Ana sadar dari segi apapun ia jauh dibandingkan dengan Alan. Bisa dibilang Alan sosok yang mendekati laki-laki sempurna tidak seperti ia yang berasal dari keluarga kurang mampu, apalagi dengan keadaannya yang yatim piatu. Membuat orangtua Alan enggan menerimanya. Tapi nyatanya alasan itu tidak menjadikan Alan goyah dengan keputusannya.
Ana menarik napas dalam lalu menghembuskannya.
"Ya, mari berpisah, Alan. Mari akhiri semua ini. " Jawab Ana menahan sesak di dada.
Tersentak, "Ana?" Alan tidak menduga Ana menerimanya begitu saja. Semudah itukah? Padahal dalam benaknya Ana akan memakinya dan mencercanya dengan beribu pertanyaan. Setidaknya itu akan mengurangi rasa bersalahnya. Tapi...! Lihatlah begitu tegarnya wanita di hadapannya ini.
"Ana?"
Ana menghela napas sekali lagi. "Aku tidak ingin membuang energi untuk hal yang sia-sia. Aku tahu keputusanmu sudah bulat. Mana surat yang akan kutandatangani?" Alan terdiam dan butuh beberapa detik hingga ia tersadar.
"oh, tunggu sebentar." Jawabnya dan bergegas mengambil surat yang telah disediakannya.
***
"Maafkan mama! Mama tahu ini tidak akan mudah, mama tahu ini tidak adil bagimu, tapi mama tidak punya pilihan. Sudah cukup selama ini mama bertahan dan ini saatnya mama melepas papamu." Ucapnya sambil memegang perutnya.
"Mama janji walau tanpa papa kita pasti bahagia. Bantu mama ya, sayang dan maafkan mama yang tidak bisa memberi keluarga yang utuh untuk kamu padahal mama tahu bagaimana rasanya tidak memiliki orang tua." Ana mendongak menghalau air mata yang mencoba terjatuh.
"Ana... " Ana menghirup napas lalu melepasnya secara perlahan. Tersenyumlah Ana!
"Aku baik-baik saja." sahut Ana dan melihat sebuah map dalam genggaman Alan. Ana tertohok,
ternyata Alan benar-benar sudah menyiapkan segalanya. Ternyata waktunya benar-benar tiba. Pupus sudah semua angan dan cita-cita Ana."Alan..." Ana menatap Alan intens. Mungkin ini waktunya. Kesempatan terakhir sebelum benar-benar berakhir.
"Sebelum aku menandatanganinya boleh aku bertanya?" Alan mengangguk.
"Silahkan?" katanya.
"Seandainya kita memiliki seorang anak, apakah kamu akan bertahan?" Alan menghembuskan napas, sedangkan Ana menahan napas menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Alan.
"Maaf, aku tidak akan bertahan walaupun ada anak diantara kita. Keputusanku bulat. Kita berpisah. Maafkan aku, Ana." Ana memejamkan mata, merasa bodoh menanyakan hal yang ia tahu akan menambah rasa sakitnya.
"Untuk mama dan papa biar aku yang mengatakannya, kamu tidak usah khawatir. Mama dan papa pasti mengerti."
Ana mengangguk, lalu menerima map yang disodorkan Alan dan langsung membubuhkan tandatangan di atas namanya. Berakhir!
"Ana, terima kasih tidak menyulitkanku, aku tahu kamu wanita yang baik." Alan mengacak rambut Ana membuat wanita itu terpaku menerima perlakuan seperti itu, rasanya Ana ingin menghentikan waktu dan tetap melihat Alan yang seperti ini. Dan sepertinya bayinya juga senang. Tuhan, sudahkah benar keputusan ini?
Hap! "Ana?" Langkah Alan terhenti saat setelah merasakan sepasang tangan melingkari perutnya. Ana memeluknya dan untuk pertama kalinya Ana bertindak agresif kepadanya. Entah karena bayinya atau hal lain yang jelas dia senang bisa mendekap laki-laki ini untuk yang terakhir kalinya.
"Alan, maafkan aku yang belum bisa menyempurnakan cintamu. Maaf karena aku yang belum bisa menjadi istri seperti keinginanmu. Emmm..., dan terima kasih telah memberi kesempatan untukku menjadi bagian dari hidupmu selama dua tahun ini. Terimakasih juga telah menjadi bagian dalam hidupku. Terimakasih pernah membuat aku menjadi wanita yang mendapingimu." Alan tertampar. Bagaiman bisa wanita ini berterima kasih kepadanya setelah begitu banyak kesakitan yang diberikannya? Sungguh wanita berhati malaikat, tapi mengapa sulit sekali baginya menjatuhkan hati. Alan menggelengkan kepalanya dan melepas ikatan tangan wanita itu. Tanpa kata Alan meninggalkan Ana di kamar itu dengan kesunyian yang menemani malam wanita hamil itu.
"Kamu tahu, walau hanya sebentar, tapi aku bahagia sempat menjadi bagian dari hidupmu. Biarlah dia menjadi milikku." Suaranya yang bahkan tidak bisa di dengar Alan lagi. Ia menatap sendu laki-laki itu. Memandang punggung lebar yang sempat menjadi miliknya.
***
Ana merasakan pening luar biasa saat terbangun dari tidurnya. Kepalanya berputar dan buru-buru berlari ke kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Hoek...! Hoek...!
"Kamu lapar ya, sayang? Tunggu sebentar lagi ya, mama mandi dulu dan kita langsung ke dapur. Mari nikmati hari terakhir kita di rumah papa ya sayang. Kita puas-puasi memandang wajah tampan papa kalian. Apa perlu kita membawa foto papa yang besar sekali itu?" Ana terkekeh merasa konyol telah mengajak bayinya yang masih seukuran biji kacang. "Sehat-sehat ya sayang mama akan selalu berusaha memberi yang terbaik untukmu.
***
"Selamat pagi, Alan." Sapa Ana saat kedua matanya mendapati Alan yang memperhatikannya. Wanita itu masih menampilkan senyum cerianya seolah-olah hubungan mereka baik-baik saja.
"Pagi, Ana." Jawabnya dan menarik kursi di sebelah kanan Ana.
Laki-laki itu memandang Ana dan berkata, "Ana..., kamu boleh tinggal di rumah ini setelah perceraian kita. Kamu tidak perlu pindah. Kamu juga berhak atas rumah ini." Ana menggeleng tidak setuju dengan tawaran Alan.
"Alan kurasa itu bukan keputusan yang tepat. Aku akan pergi, aku tidak memiliki hak sama sekali dengan rumah ini. Aku tidak melahirkan seorang anak untukmu karena dia masih bersemayam di perutku. Lagi pula rumah dan segala isinya dibeli dengan uangmu. Aku hanya memilih dan tidak mengeluarkan uang sepeser pun." Ana mengambil sebuah piring lalu mengisinya dengan nasi beserta lauk pauk. Setelah itu memberikannya kepada Alan. Alan menerimanya.
"Alan, mungkin buat kamu kenangan kita tidak ada artinya, tapi tidak denganku. Kenangan kita berharga dan kalau aku memilih tetap tinggal disini kurasa aku tidak akan berhasil lepas darimu. Bisa saja aku berubah menjadi monster dan tidak akan membiarkan seorang wanita pun mendekatimu." Ana terkekeh walau tidak ada hal lucu di setiap kata-katanya. Ana menyimpan kepedihan di balik setiap senyuman yang diumbar. Ana bersembunyi di balik topeng senyum indahnya.
"Aku akan pergi," lanjutnya. Alan mendongak.
"Alan, aku tahu mungkin diawal pernikahan kita orangtua kamu terlihat kurang menyukai keberadaanku, tapi bagaimanapun juga itu sudah berlalu dan hubungan baik sudah terjalin diantara kami. Aku harap kamu dapat menjelaskannya, titip salam ya untuk mama dan papa. Hmm..., dan jika kamu kewalahan aku akan membantu menjelaskannya ke mama dan papa." Alan mengangguk. Dan melanjutkan suapan makanannya yang sempat tertunda.
Alan tahu ini tidak akan mudah, tapi bagaimanapun juga ini hidupnya dan dia berhak atas dirinya sendiri.
"Ana, jangan berubah tetaplah menjadi Ana yang kukenal." Ana mengangguk dengan senyuman yang tidak terlepas dari sudut bibirnya.
"Berubah jadi apa? Power rangers?" ucapnya terkekeh.
"Aku tahu tidak mudah bagimu berpura-pura di hadapan banyak orang. Aku juga tahu kalau ada seseorang yang sudah menunggumu. Alan berbahagialah!" Matanya berkaca-kaca. Rasanya sangat sakit saat Ana sadar bahwa ini adalah akhir dari kebersamaanya dengan Alan.
"Ana... " Ana menggeleng.
"Kamu memilih keputusan yang tepat, jangan merasa bersalah dari semua yang telah terjadi. Ini sudah takdir untuk kita berdua. Alan, bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?" Alan menganguk dan saat itu juga Ana menerjang tubuh laki-laki itu.
"Alan..., aku mencintaimu!"
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BUKAN DIA
General Fiction"Kamu memilih keputusan yang tepat, jangan merasa bersalah dari semua yang telah terjadi. Ini sudah takdir untuk kita berdua. Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?" "Alan..., aku mencintaimu!"