Happy reading
Ana termenung kala teringat dengan ucapan Alan disore tadi. Ana menghela napas pelan. Merasa lelah dengan lika-liku perjalanan hidupnya. Baru beberapa bulan yang lalu laki-laki itu dengan tegas meminta perpisahan dari dirinya. Tapi sekarang laki-laki itu meminta untuk kembali.
Bohong jika Ana mengatakan bahwa ia sudah move on dari laki-laki itu. Masih ada rasa yang tersisa untuk Alan. Tapi..., Ana memegang dadanya. Rasa sakit juga masih terasa jelas menusuk relung hatinya.
Ana sempat berpikir bahwa ia adalah wanita yang paling beruntung di dunia ini. Dia. Gadis yatim-piatu bisa menikah dengan laki-laki seperti Alan. Laki-laki mapan dan tentunya memiliki segudang prestasi dalam karirnya. Jika dibandingkan dengan dirinya, mereka bagaikan langit dan bumi. Makanya Amanda mengatakan kalau Ana adalah Cinderella versi dunia nyata.
Tapi dengan sekejap semua hancur. Asa dalam angan Ana sirna begitu saja. Dia hancur sampai rasanya dia ingin menyerah.
Ana menghela napas lagi. Takdir memang sulit ditebak. Entah kejutan apa lagi yang akan datang dihidupnya. Ana tidak tahu. Dan tidak mau ambil pusing dengan lika-liku untuk esok hari. Biarlah bagian hari ini ia lewati tanpa memusingkan bagian esok hari.
***
Ting
Alan, sampai kapan pun aku tidak akan menyerah dengan hubungan kita. Kalau aku tidak bisa memilikimu, maka tidak seorang wanita manapun bisa memilikimu.
Alan membanting keras handphonenya.
Bugh!
Kaca meja rias berukuran 1 x 1 meter itu hancur akibat hantaman tangannya. Darah mengucur dari jari-jarinya akibat pecahan kaca yang menancap.
Alan hancur. Benar-benar hancur akibat dari perbuatannya sendiri. Tidak ada lagi yang peduli dengannya. Bahkan orang tuanya sekalipun tidak menghiraukannya lagi. Alan menerima semua itu. Ini adalah ganjaran dari semua perbuatannya. Ini adalah risiko dari pilihannya. Menyesal pun tidak akan bisa mengubah keadaan sekarang. Hanya saja Alan akan berjuang untuk memperbaiki semua yang telah dihancurkannya. Termasuk mengobati rasa kekecewaan kedua orang tuanya.
"Ana, maafkan aku!" lirihnya menyadari betapa lembutnya hati yang dimiliki wanita itu. Ana yang kala itu berstatus istrinya bahkan tidak berlaku brutal atas segala perbuatannya. Wanita itu dengan lapang dada menerima perpisahan yang ia ajukan. Bahkan sepenggal kata kasar pun tidak terdengar oleh telinga Alan dari mulut Ana. Melainkan kata maaf yang wanita itu sampaikan karena merasa belum bisa menjadi seorang istri yang membahagiakan suaminya. Padahal dia yang salah. Dia yang ingkar dari semua janji yang pernah ia ucapkan kepada wanita itu.
Masih adakah kesempatan untuknya memperbaiki segalanya? Apakah kelak anak-anaknya akan memaafkannya jika tahu ia pernah menyakiti ibu mereka begitu dalamnya?
Tangannya meraih handphone yang sempat ia banting. Mengetikkan sesuatu di sana.
"Ana, apakah kamu sudah tidur?" tidak ada balasan, tapi laki-laki itu tetap menarikan jari- jari nya di atas layar handphonenya.
"Ana, maafkan aku. Aku tahu, kamu mungkin merasa bosan dengan kata maaf yang berulang kali aku katakan. Tapi aku merasa aku harus melakukannya. Aku tahu kata maaf yang berulang kali aku katakan tidak akan bisa mengembalikan semuanya. Aku juga sadar kesalahanku sangat besar kepadamu dan anak-anak kita."
"Na, mungkin selama pernikahan kita aku tidak pernah mengatakannya. Terima kasih, Na. Terima kasih karena sudah menjadi istri yang sangat pengertian dan selalu memperhatikan aku disaat aku sendiri acuh dengan kehadiran kamu, Na. Aku bahagia kamu pernah menjadi istriku walau akhirnya aku hanya memberi kesakitan untukmu, Na. Maafkan aku karena aku belum bisa menjadi suami yang baik untukmu selama pernikahan kita. Maaf aku sudah menghancurkan janji kita, Na. Maaf sudah menghancurkan rumah kita, Na. Jujur aku merasa kehilangan disaat kamu meninggalkan rumah kita. Bahkan semenjak perceraian kita aku jarang menginjakkan kaki di sana karena aku selalu teringat sama kamu Na. Kamu boleh tidak percaya dengan ucapanku Na karena aku memang pantas menerimanya. Tapi aku serius dengan ucapanku tadi, Na, aku ingin memperbaiki semuanya. Biarkan aku berusaha ya, Na. Kalau memang nanti kamu sudah menemukan jawabannya kamu boleh memberi tahu aku dan aku janji akan menerima apa pun itu, Na."
Alan tersenyum mengejek dengan ucapan janjinya sendiri. Sanggupkah dirinya kehilangan Ana untuk kedua kalinya jika dikemudian hari Ana memberi jawaban 'tidak'. Alan menggelengkan kepala. Ia tidak boleh pesimis. Bagaimana pun caranya ia akan membuat Ana kembali ke dalam pelukannya. Kalau memang harus melalui anak-anaknya, Alan akan lakukan selagi itu tidak menyakiti Ana.
***
Pagi sekali Alan sudah berdiri di rumah kediaman keluarga Raharsen. Pakaian kasual menjadi outfit andalannya hari ini. Jika dilihat, hari ini bukanlah hari libur baginya, tapi entah kenapa laki-laki itu sudah berdiri tegak di depan pintu rumah itu. Dan kebenaran Bima membuka pintu dan sangat terkejut dengan kehadiran laki-laki itu.
"Ngapain lo ke sini?"
"Mau ketemu Ana. Ananya ada kan?"
"Ya, lo memang ngga berubah dari dulu. Rasa percaya diri tinggi itu adalah ciri khas lo. Bahkan ketika memilih menceraikan Ana pun lo mempunyai itu, tapi kenapa sekarang lo datang lagi mengemis sama dia? Kemana rasa percaya diri lo itu? Bukannya lo bilang kalau lo nggak akan pernah menyesal menceraikan Ana!?" Bima berdecih.
"Penyesalan lo nggak guna. Tahu lo!" tambah Bima lagi membuat Alan terdiam. Bahkan ketika Bima mendorongnya untuk menjauh dari depan pintu pun dia tidak melawan sama sekali.
"Alan! Alan! Seharusnya lo punya malu untuk muncul di hadapan Ana lagi," kata Bima memandang Alan dengan penuh ejekan.
"Sayangnya rasa malu itu udah dimakan habis sama penyesalan gue, Bim. Ya, kamu benar. Aku mengaku kalah. Tapi aku benar-benar ingin memperbaikinya, Bim. Aku ingin mengobati luka yang telah kuberikan untuk Ana, Bim. Aku...,"
"Stop!" potong Bima sebelum Alan menyelesaikan ucapnnya.
"Bukannya dulu juga lo berkata kalau lo akan membahagiakan Ana. Menjadikan Ana perempuan satu-satunya di hidup lo. Tapi apa? Bullshit!!! Di hadapan Tuhan aja lo ingkar janji, apalagi di hadapan manusia. Apa jaminannya coba kalau lo nggak akan mengulangi kesalahan lo lagi."
"Bim, please!!!"
"Kasih gue waktu memperbaikinya. Aku janji tidak akan memaksa Ana. Aku akan terima apa pun yang akan menjadi jawaban Ana nantinya."
Bima berdecih lagi. "Terus, Melani mau lo kemanain?" Alan terdiam.
"Gak bisa jawab kan lo? Sekali bajingan selamanya akan jadi bajingan." ucap Bima sarkasme.
"Bim, gue mohon! Gue..."
"Siapa Bim?"
"Ana!"
"Bima!"
Keduanya sama-sama terkejut, tapi dengan sekejap Ana langsung mengkondisikan raut wajahnya. Aura dingin tampak jelas di sana. Berbeda dengan Alan yang tampak kegirangan melihat kehadiran Ana.
"Bim, ayo." ucapnya dan berjalan terlebih dahulu mendahului kedua laki-laki itu. Bima tersenyum senang.
"Gimana rasanya diabaikan?" tanya Bima dan berlari menyusul Ana.
Alan menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan. 'semangat Alan ini baru permulaan' ucapnya menyemangati diri sendiri dan bergerak menyusul Ana dan Bima.
Bersambung...
Malam guys
Alan-Ana kembali lagi
Gimana? Gimana?
Yuk, jangan lupa beri komentarnya ya guys😍😍😍Jangan lupa vote juga ya, guys
Apalah daku tanpa kalian readers setiaku😂😂😂
Di Goodnovel bab terbaru sudah update juga ya guys🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BUKAN DIA
General Fiction"Kamu memilih keputusan yang tepat, jangan merasa bersalah dari semua yang telah terjadi. Ini sudah takdir untuk kita berdua. Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?" "Alan..., aku mencintaimu!"