Ana tersenyum senang ketika janin dalam kandungannya lagi-lagi memberikan tendangan. "Hayo, tendangan siapa ini?" ucapnya sambil mengusap-usap perut buncitnya.
Dug! "Aduh! Pelan-pelan sayang!" Ana mengaduh membuat Bima yang kebetulan melewati kamar Ana berlari menghampiri. Laki-laki itu baru saja pulang dari tempat kerjanya.
"Ana, kenapa?" Tanya Bima khawatir membuat Ana tertawa melihat ekspresi laki-laki itu.
"Ana jangan bercanda!" Ana menghentikan tawanya, kasihan juga melihat wajah panik Bima. Padahal dia dan bayinya baik-baik saja.
"Sini deh tangan kamu." pinta Ana dan meletakkan tangan Bima di atas perutnya.
"Baby, ayo sapa om Bima." Tidak berapa lama Bima merakan tendangan itu.
Dug! Bima menatap tangannya takjub. "Ana, mereka menendang?" tanyanya dan meletakkan tangannya di atas perut Ana lagi.
"Babby, ayo sapa om Bima lagi." ucapnya sangat antusias.
Dug! Untum kedua kalinya Bima dapat merasakan pergerakan bayi dalam kandungan Ana. Rasanya sangat luar biasa.
Dalam hati Bima berkata, kau akan menyesal Alan tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Kamu memang pemiliknya tapi kau tidak ada hak untuk Ana dan babynya. Dan aku tidak akan membiarkan Ana tersakiti lagi olehmu.
"Mulai sejak kapan mereka melakukannya?"
"Tadi malam. Aku juga terkejut tiba-tiba saja mereka memberi respon saat aku ajak bicara."
"Mama akan senang dapat berita ini,"
"Berita apa?" sela Rita yang tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamar Ana. Wanita itu terlihat sedang membawa nampan dengan segelas susu di atasnya.
"Ini mama bawakan susu untuk kamu dan cucu mama." katanya menyerahkannya pada Ana.
"Terima kasih, tan." Rita melotot. Seperti wanita hamil ini lupa lagi.
"Lho, kok tante lagi. Mama dong, Ana."
"Terima kasih, ma." ulang Ana terbata belum terbiasa.
"Bim, berita apa yang kamu maksud?" tanyanya penasaran karna belum menerima jawaban.
"Mama kepo kayak Dora." Rita melotot dan nampan melayang ke kepala Bima.
Plak!
"Sakit mama." gerutu Bima sambil mengusap kepalanya. Sedangkan Ana terkikik melihat penderitaan Bima. Siapa suruh becandain mama.
"Makanya ditanya baik-baik ya dijawab baik-baik. Jangan kebanyakan bacot. Mau ini melayang lagi. Heran deh punya anak bujang kerjanya buat naik darah terus." Rita mengomel.
"Iya, iya, maaf deh ma." ucap Bima tidak ikhlas. "Mama coba deh letakkan tangan mama diperut Ana. Nanti mama tahu sendiri maksud Bima." Rita menurutinya. Tidak berapa lama Rita merasakannya.
"Ya ampun cucu oma sudah menendang aktif rupanya. Ayo sayang kasih oma tendangan lagi."
Dug!
"Cucu oma sehat-sehat ya di perut mama. Kalau mama lagi istirahat jangan lasak-lasak di dalam ya, sayang. Nendangnya juga jangan kencang-kencang ya, nanti mama kalian kesakitan lo. Kalian tidak mau itu terjadi kan." Bima memutar bola matanya jengah. Sepertinya mengomel sudah menjadi ciri khas mamanya. Bayangkan saja bayi di dalam perut Ana juga ikut kena imbasnya. Dan sepertinya Bima harus menjauhkan Ana dari jangkauan mamanya. Bisa-bisa bayi dalam kandungan Ana mengalami trauma seperti dirinya.
Dug! "Pintarnya cucu oma." ucapnya mengusap perut buncit Ana.
"Babynya harus sering-sering diajak ngobrol ya, Na. Kamu pernah kan baca artikel "Seorang Bayi yang Baru Lahir Tersenyum Ketika Mendengar Suara Orang Tuanya?" Ana mengangguk.
"...Membaca buku cerita, mendengarkan lagu juga bisa untuk menstimulasi perkembangan otak si kecil. Nanti deh mama beli buku cerita yang banyak, kalau mendengarkan musik sudah sering kamu lakukan kan?"
Ana mengangguk lagi, "terima kasih, ma." ucapnya.
"Semua itu perlu dilakukan ya, ma? Memangnya si kecil udah bisa dengar? Kan belum?" tanya Bima yang sedari tadi hanya menyimak obrolan Rita dan Ana.
"Ya kamu pikir aja sendiri?" sewot Rita dan berlalu meninggalkan kamar Ana.
"Ditanya baik-baik harus dijawab baik-baik ya, Na." ulang Bima menirukan ucapan mamanya tadi.
"Suka-suka mamalah. Mulut, mulut mama kok." jawab Rita membuat Bima mengelus dada. Dia pikir mamanya tidak mendengarnya.
" Iya deh iya. Emak-emak selalu benar." gerutunya kesal.
Ana tergelak.
***
"Bim, kita istirahat dulu yuk, aku capek." Ana menghentikan langkah kakinya."Kita duduk disana aja, ya? Atau kita pulang saja?"
"Istirahat bentar baru pulang ya, Bim." Sepertinya Ana benar-benar kecapaian.
"Mau aku gendong?" tawar Bima dengan nada menggoda.
"Jangan ngada-ngada deh. Mau gendong bagaimana coba perut udah segedek ini." ucap Ana menunjuk perut buncitnya.
Keduanya tertawa. "Ana terus seperti ini ya. Kamu cantik kalau lagi tertawa."
"Kamu pikir aku orang gila tertawa terus." Wanita itu memukul pelan lengan Bima.
"Bukan seperti itu maksudnya, Ana. Aku tahu kamu sering menangis dalam kesendirian. Aku ngerti kok kalau keadaan seperti ini adalah keadaan yang paling membutuhkan perhatian seorang suami. Dan aku bangga sama kamu, kamu wanita hebat yang selalu berusaha menyembunyikan setiap masalah yang kamu hadapi. Tapi jangan lupa ya, Na, ada aku mama, Dinda dan papa untuk kamu. Kami semua sayang kamu. Kamu bisa cerita ke kami. Jangan memendamnya sendiri. Karna berbagi itu indah." ucap Bima dan mengusap kepala Ana. Ana mendengus mendengarnya. Iya berbagi itu indah, tapi tidak juga dengan berbagi kesakitan dengan orang lain. Sudah cukup ia merepotkan keluarga Bima, jangan lagi tentang bagaimana perasaan sakit yang berusaha ia sembunyikan.
"Bim, entah bagaimana caranya aku bisa membalas kebaikan kalian nanti. Mama, papa, Dinda dan kamu adalah malaikat bagiku dan bayiku."
"Kamu hanya perlu bahagia, Ana. Dengan kamu bahagia sudah cukup membuat kami ikut bahagia. Kamu hanya perlu membalasnya dengan kebahagiaan kamu. Tunjukkan kalau kamu bisa tanpa mereka. Tunjukkan kamu bisa pada mereka yang menyakiti kamu. Air mata kamu terlalu berharga menangisi orang-orang seperti mereka."
"Terimakasih Bim, aku dan bayiku sangat beruntung memiliki kamu. Tapi aku harap kamu segera menemukan wanita yang pantas mendapatkan cinta dari kamu." celetuk Ana mencairkan suasana.
"Ck, lama-lama kamu sama kayak mama, ya." tukasnya.
Ana terkekeh, "Makanya cari jodoh secepatnya." kata Ana, lagi-lagi membuat Bima berdecak kesal.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BUKAN DIA
Genel Kurgu"Kamu memilih keputusan yang tepat, jangan merasa bersalah dari semua yang telah terjadi. Ini sudah takdir untuk kita berdua. Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?" "Alan..., aku mencintaimu!"