BAGIAN 1

893 23 0
                                    

Seorang pemuda tampan berompi putih tengah berdiri tegak di sebuah lembah. Udara siang ini tidak begitu panas. Angin bertiup sepoi-sepoi, mempermainkan rambut panjang milik pemuda tampan itu. Melihat raut wajahnya yang tegang, bisa ditebak kalau dia tengah berpikir keras. Sepertinya, dia tidak peduli dengan keadaan sekitarnya.
"Hm.... Untuk mencapai Lembah Naga ini saja, tidak mudah. Lalu, mengapa si Bayangan Putih mengajakku bertarung di sini? Aku jadi tidak mengerti, untuk apa sebenarnya Bayangan Putih mengajakku bertarung? Padahal masih banyak tantangan yang harus kuhadapi," gumam pemuda berompi putih, yang di balik punggungnya tampak menyembul gagang pedang berbentuk kepala burung.
Semua pikiran itu sepertinya menghantui benaknya. Memang, melihat dari ciri-cirinya, jelas kalau pemuda itu adalah Rangga atau lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Keberadaannya di tempat ini adalah untuk memenuhi undangan si Bayangan Putih yang mengajak bertarung. Sebagai tokoh persilatan, pantang bagi Pendekar Rajawali Sakti menolak tantangan.
Namun biar bagaimana pun, otaknya terus bekerja keras untuk mencari jalan keluar agar pertarungan dapat dihindari. Atau paling tidak, jangan sampai ada yang mati. Dan yang lebih dipikirkan lagi, mengapa harus dengan pertarungan kalau hanya untuk mengadu ilmu?
"Kalau sesama pendekar saling bertarung, bukanlah membuat tokoh-tokoh sakti golongan hitam tertawa? Aku jadi benar-benar tidak mengerti keinginan si Bayangan Putih itu. Sedikit pun tidak ada rasa gentar dalam diriku. Tapi, untuk apa bentrok dengan sesama golongan putih?" tanya Rangga dalam hati.
Hampir setengah harian Rangga berdiri mematung sambil memandang sebuah kampung yang kelihatan sepi bagai tak berpenghuni. Seperti sebuah kampung mati. Tak terlihat seorang pun di sana. Bahkan sepertinya, seekor binatang pun enggan hidup di kampung itu. Entah, apa sebabnya.
"Aneh...," gumam Rangga perlahan.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak melangkah, tiba-tiba gerumbul semak di depannya bergerak-gerak. Sebentar kemudian, muncul seorang pemuda yang tubuhnya berlumur darah. Sebentar pemuda itu terhuyung-huyung, lalu jatuh begitu sampai di depan Rangga.
"Tolong...," rintih pemuda itu lirih.
Rangga cepat-cepat menghampiri. "Siapa kau? Dan, kenapa bisa begini?" tanya Rangga.
"Aku.... Aku Risman, dari Kampung Rapak. Mereka menghancurkan kampungku. Tolong, Tuan. Tolong kami...," rintih pemuda yang mengaku bernama Risman, memelas.
"Apa yang terjadi?" tanya Rangga.
"Mereka merampok, membunuh, dan menculik gadis-gadis desa. Akh!"
Pendekar Rajawali Sakti mengguncang-guncang tubuh berlumur darah yang sudah tak bergerak-gerak lagi. Sebentar diperiksanya keadaan Risman, lalu mulutnya mendesah panjang.
"Hhh..., pingsan. Terlalu banyak darah yang keluar."
Rangga memondong tubuh Risman. Kemudian, dibawanya tubuh tak berdaya itu, dan dibaringkannya di bawah pohon rindang. Dengan caranya sendiri, diobatinya luka-luka di tubuh pemuda itu. Setelah cukup lama Rangga menunggui, akhirnya Risman sadar juga. Keadaan tubuhnya tampak masih lemah. Rangga kemudian mencegah agar Risman tidak terlalu banyak bergerak dulu.
"Oh..., Tuan siapa?" tanya Risman.
"Aku Rangga. Berbaringlah dulu. Lukamu cukup parah," ujar Rangga disertai senyumnya.
Risman memandangi luka-luka di tubuhnya yang sudah terbalut. Tidak ada lagi bercak-bercak darah yang melekat. Sebentar dipandanginya Rangga yang duduk bersila di sampingnya. Senyuman tipis tetap tersungging di bibir Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Risman, pelan.
"Berterima kasihlah pada Sang Hyang Widi yang telah menyelamatkanmu," sahut Rangga merendah.
"Tuan pasti seorang pendekar," tebak Risman.
Rangga hanya tersenyum.
"Oh...!" Risman beringsut, lalu duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup besar dan rindang, sehingga melindungi dirinya dari sengatan matahari yang sudah mulai garang lagi.
"Kenapa kau sampai terluka?" tanya Rangga, setelah melihat Risman cukup pulih untuk diajak bicara.
"Aku berusaha melawan, tapi mereka terlalu tangguh," desah Risman lirih.
"Mereka? Mereka siapa?"
"Gerombolan perampok yang menamakan diri Gagak Item," sahut Risman.
"Berapa orang kekuatan mereka?"
"Banyak. Aku tidak tahu pasti jumlahnya. Yang pasti, mereka sangat kejam. Ah...! Aku tidak tahu lagi, apakah masih ada yang hidup selain diriku."
Pendekar Rajawali Sakti memandang kampung di depan sana. Pantas, kampung itu kelihatan sepi bagai tak berpenghuni. Rangga agak terkejut ketika melihat banyak burung pemakan bangkai yang seperti sedang pesta di sana. Suaranya ribut dan memekakkan telinga. Risman hanya menunduk, tak kuasa menyaksikan pesta burung-burung itu.
"Apa masih ada kerabatmu di sana?" tanya Rangga.
Risman menggeleng lemah.
"Kau hidup sendiri?"
"Tidak. Ada kakakku, tapi...."
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu nasibnya lagi. Mereka telah menculik Ningsih, dan aku tidak bisa menolongnya," semakin lirih suaranya.
Titik-titik air bening tampak menggulir di pipinya. Rangga tidak lagi bertanya. Dibiarkannya saja Risman menghabiskan air matanya. Rasanya memang tidak pantas bertanya terus-menerus dalam suasana seperti ini. Apalagi, Risman masih sulit ditanyai.

79. Pendekar Rajawali Sakti : Penyamaran Raden SanjayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang