5. ASAL MUASAL

37 6 14
                                    

"Nama saya Angin. Mata Angin."

Seisi kelas VII di SMP Dewantara itu melongo. Mereka tengah menatap seorang bocah laki-laki di depan kelas yang berdiri canggung. Seolah memahami situasi, Ibu Guru menginterupsi keheningan di kelasnya dengan sebuah penjelasan. Katanya, laki-laki bernama Angin itu adalah siswa pindahan dari Korea Selatan. Walaupun begitu, bisa dipastikan bahwa ia asli produk dalam negeri.

Angin lahir di Ceko, tapi tumbuh di beberapa negara. Negara terakhir tempatnya tinggal adalah Korea Selatan. Para gadis penggila cowok-cowok berambut warna-warni di kelas itu memekik tertahan begitu mendengar temannya berasal dari negara oppa-oppa. Bahasa Indonesia Angin terdengar aneh karena memang Bahasa Inggris adalah bahasa pertama yang ia pelajari—karena faktor lingkungan.

"Sorry. Saya lahir di Ceko dan pindah-pindah negara karena pekerjaan ayah," lanjut laki-laki yang perawakannya cukup tinggi di usianya itu. Bibirnya tipis disertai lesung pipit yang menghiasi kedua pipinya. Rambutnya dibelah rapi dan disisir ke belakang. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan rambut-rambut anak laki-laki di ruangan itu yang berantakan dan disisr asal dengan jari. Kata seseorang di kelas itu, ia mirip Siwon Oppa, personil boyband bernama Super Junior dari Korea Selatan.

Ibu Guru meminta seluruh kelas untuk membantu Angin beradaptasi dengan lingkungan Indonesia. Terutama dengan budaya lokal. Alasan anak itu pindah kemari adalah karena orang tuanya ingin anak mereka bisa lebih mengenal budayanya sendiri. Selagi orang tuanya melanjutkan tugas ke negara selanjutnya, Angin tinggal bersama neneknya untuk sementara di Malang, kota kelahiran ayahnya.

Setelah prosesi perkenalan, anak pemalu itu berjalan ke bangku yang ditunjukkan oleh Ibu Guru. Seseorang di sebelahnya tampak tidak antusias dengan kedatangannya. Gadis yang akan menjadi teman sebangkunya itu tampak suram, berbeda dengan suasana kelas yang riuh dalam rangka menyambut teman baru.

"Permisi, nama saya Angin."

Gadis disampingnya bergeming, masih larut dalam pikirannya. Sesekali ia mengusap matanya dengan dasi biru yang dikenakan. Angin menarik tangannya kembali begitu yang diajak bicara tidak menunjukkan ketertarikan. Kemudian ia mengeja diam-diam tanda nama yang tersemat di dada gadis itu. Aluna N. Senja.

"How can I call you? Senja? Alun?"

"It sounds like alun-alun..." Si anak baru bergumam lirih mengoreksi Bahasa Indonesianya sendiri. Sedang yang diajak bicara tak punya keinginan untuk membalas.

Ada banyak hal yang gadis itu pikirkan. Sore hari sebelumnya, gadis kurus itu mendapati berita mengejutkan yang sama sekali tak ingin ia dengar. Di awali dengan kedatangan Tante Dira, adik ayahnya yang menjemputnya ke rumah untuk tinggal sementara dengannya sampai ayahnya pulang. Wanita itu memasukkan seragam sekolah dan beberapa lembar baju Al untuk dibawa.

Al mengerti bahwa bahasa orang dewasa memang rumit. Kadang mereka suka basa-basi untuk hal yang sebetulnya bisa disederhanakan. Al hanya tahu bahwa ayahnya tidak bisa pulang malam itu. Secara tiba-tiba tanpa alasan yang Al ketahui. Beberapa waktu kemudian ia sadar bahwa kerumitan bahasa adalah pertanda ada hal yang tidak pasti sedang berjalan.


***

"Misiii, pakeeettt!"

Al terhenyak. Seketika ia menoleh ke sumber suara. Ada seorang pemuda yang meringis jahil melihatnya terbelalak di tempat.

"Kirain siapa....." Al melengos.

"Oh, udah kebiasa nih?"

"Btw, ngapain sih tiba-tiba ke SMP?" Pandangan Bintang mengedar ke segala arah. Ia menarik helm yang sudah disiapkan untuk Al, menyerahkannya pada si calon pengguna.

"Donor darah."

"Wah! Hebat juga. Berani kamu?" Bintang berjengit sedikit dari tempat duduknya. Dilihatnya ada yang tidak beres dari gadis itu yang kini sudah duduk di boncengannya.

Bintang turun dari motornya, membuat Al oleng sedikit. "Mau kemana sih, Mas? Turun tiba-tiba gitu?"

"Mau ngamanin anak orang."

Tanpa permisi, Bintang meraih tali helm yang sudah singgah di kepala Al. Dieratkannya tali tersebut sampai berbunyi "klik". Jarak mereka yang begitu dekat menguarkan aroma parfum maskulin yang masuk ke penciuman Al tanpa aba-aba. Gadis itu menarik sedikit kepalanya, memberi jarak.

"Biar SNI, hehe. Berangkat ya?"

Motor bebek itu melaju. Tak terlalu kencang, tapi juga tak cukup pelan. Mereka membelah kerumunan kendaraan yang juga sedang berlalu-lalang.

"Nggak pengen pegangan?" Bintang memecah kesunyian. Karena keadaan kota cukup ramai, Al memajukan sedikit badannya.

"Nggak pegangan? Nanti jatuh gimana?" ucap Bintang lagi setelah memutar kaca spionnya menghadap gadis di belakangnya.

"Ih apaan!"

"Mas nggak pengen ngebutan dikit?" lanjut Al. Barangkali menurut standarnya mereka melaju terlalu pelan, dapat dengan jelas dirasakannya angin menggelitik, membuat rambutnya yang tak tertutup helm bergoyang.

"Nggak. Jangan. Lagi bawa anak orang."

***

Mao diajak kemana seh masss???

Nuansa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang