8. I'm by Your Side

34 4 1
                                    

Al berkali-kali mengerjap. Ditariknya selimut berwarna birunya menutupi wajah. Tapi tetap tak berhasil. Gelap tak membuatnya melupakan ingatannya pada sosok sang bayu yang berhembus menyisakan sedikit ruang untuknya bernapas, tetapi berhembus menghilang lagi dalam sekejap.

Kalian mungkin sudah berkali-kali dengar tentang namanya. Betul. Angin. Mata Angin. Udara Al. Kematian telak sang Ayah yang tanpa kompromi dari semesta menjerumuskannya pada kegelapan. Satu-satunya sosok yang menjaganya di dunia yang kejam ternyata turut direbut jagad menghilang menyisakan kenestapaan.

Hari itu Al masih ingat betul tentang bagaimana Angin membuatnya merasa masih ada sebuah keadilan di dunia walau hanya sedikit. Al masih berusaha menutup mata, merelakan mimpi yang merenggut waktunya ketika terlelap. Bayangannya kembali menyapa masa-masa sekolah menengahnya ketika pertama kali mempercayai bocah laki-laki itu, yang kemudian membawanya pada lelap.


***


Kamu kuat. Kamu ngak nggak sendiri.

Ada Angin.

Open your heart to me, I will stay by your side.


Secarik kertas yang baru saja diberikan teman sebangkunya itu dibaca Al dalam hati. Matanya panas. Rintik hujan berjatuhan dari kedua matanya, kontras dengan langit di luar yang cerah.

"Kalau kamu mau cerita, saya dengarkan," bisik teman sebangkunya.

Al menggeleng. Jujur, ia hanya ingin menangis. Ia benci bercerita. Baginya bercerita hanya akan mengorek ingatannya terhadap suatu hal. Jika itu hal yang menyakitkan, maka hatinya harus siap digores ulang. Ia tidak cukup kuat untuk menanggung beban ceritanya sendiri.

Tak lama kemudian, keheningan keduanya dipecah oleh suara jam istirahat yang berbunyi. Angin langsung berdiri. Ia menyambar tangan Al, menyisakan tanda tanya di wajah gadis itu.

"Ikut saya."

Tanpa basa basi, Angin membimbing Al menuju bagian belakang sekolah. Bagian yang jarang dilewati anak-anak. Ada mitos terkenal di sekolah itu. Katanya—entah darimana sumbernya—ada sebuah tangga tersembunyi yang digunakan jin untuk menyeberang ke dunia lain. Sumber lainnya mengatakan bahwa tangga yang sama bisa membawa kita ke tempat lain, ke Balai Kota misalnya atau ke Stasiun Kota. Apapun itu, teorinya tetap terdengar tak masuk akal. Al tidak percaya. Tapi ia tetap takut kalau harus melewati bagian belakang sekolahnya seorang diri.

"Mau kemana? Serem." Al menarik balik tangan Angin, menghentikan langkah cowok itu. Entah sejak kapan mereka tiba-tiba sudah berada disana. Dilihatnya ada lorong gelap di sebelah kamar mandi wanita. Bagian itulah yang jarang digunakan untuk lalu lalang. Padahal, di ujung lorong, ada kantin. Tapi sebagian besar murid-murid SMP Dewantara lebih memilih memutar jalan melewati parkiran untuk menuju kantin daripada harus melewati lorong yang suram itu.

"Percaya saya, ya?"

Al masih diam. Wajahnya menampakkan keragu-raguan yang kentara. Sisa-sisa air matanya masih menempel di sana sini, bercampur dengan keringat. Angin menarik Al, membuat gadis itu ke titik kesadarannya kembali. Pasrah, Al mengikuti Angin.

"Ayo naik!"

Kali ini penolakan jelas terlihat dari wajah Al. Ia menggeleng kuat. Gadis itu mengambil ancang-ancang untuk putar badan, tapi Angin lebih dulu menariknya mendekat.

"Saya naik, lalu you behind me, naik juga. Saya janji kamu akan baik-baik aja." Mata Angin terlihat tulus. Temannya itu terlihat meyakinkan. Al terpaksa mengangguk karena ia juga tak punya pilihan lain. Keberaniannya menguar ketika melihat lorong itu betul-betul sepi. Tak ada yang menjamin kalau ia tiba-tiba diculik jin ketika harus berlari sendirian di lorong tanpa Angin. Jadi mungkin akan lebih baik baginya kalau harus menghilang bersama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nuansa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang