6. INGAT

45 5 6
                                    

Bintang membawa Al menuju tempat antah berantah. Entah dimana mereka sekarang. Beberapa menit lalu ia masih membelah jalanan kota, kemudian Bintang mengemudikan motornya masuk melalui gang-gang, belok ke kanan dan ke kiri. Al hanya ingat ketika mereka melewati sebuah perumahan yang memiliki sawah di dua petak lahannya, lalu Bintang menghentikan motornya tak jauh dari sana.

"Selamat datang di tempat rahasia!"

Al turun dengan ragu. Matanya meneliti dengan seksama lingkungan mereka berada. Ada sebuah bangunan dan gerbang yang nyentrik. Gerbang kayu itu berhiaskan tirai merah dan lampion-lampion. Di atasnya terdapat papan nama dengan tulisan huruf mandarin dan alfabet.

"Roemah Coffee Loe Min Toe?" Al mengeja huruf-huruf yang berjejer di sebuah papan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Roemah Coffee Loe Min Toe?" Al mengeja huruf-huruf yang berjejer di sebuah papan. Al tahu kalau Loe Min Toe diambil dari kata Bahasa Jawa yaitu 'lumintu' yang berarti sedikit-sedikit lama-lama menjadi banyak. Dia hanya menebak karena keduanya memiliki pengucapan yang sama.

"Betul, kok tahu? Pernah kesini?" Bintang memimpin jalan memasuki gerbang.

"Enggak. Aku anak rumahan. Jarang main. Buta arah. Tadi cuma menebak."

Di depannya terdengar Bintang terkikik pelan, walaupun Al tidak menyaksikannya. Kafe itu rupanya mengambil tema peranakan alias Cina-Jawa yang melambangkan kemajemukan. Pohon-pohon bambu menjulang tinggi terlihat di kanan dan kiri begitu ia masuk. Dapat dengan jelas pendengarannya menangkap suara air mengalir; entah sungai, entah air terjun.

"Kamu muter-muter dulu ya? Sekalian cari tempat duduk. Tunggu sebentar. Mas mau izin dulu. Ada kegiatan alamiah yang nggak bisa ditunda, nih. Sambil ambil buku menu." Bintang hilang seketika dilahap bilik-bilik di depannya.

Al mengitari isi rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Al mengitari isi rumah. Ya. Daripada tempat makan, tempat ini lebih terlihat seperti rumah orang. Aksen cina yang kental menjelma lewat ornamen-ornamen serta ukiran-ukiran yang membuat tempat ini cantik luar biasa. Ada banyak barang antik yang ditata rapi menambah keapikkannya. Sampai di setiap sudut ruang, sampai di langit-langit juga ada barang antik.

Ada beberapa pengunjung kafe yang terlihat sibuk dengan laptop masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada beberapa pengunjung kafe yang terlihat sibuk dengan laptop masing-masing. Al melihat ada tempat kosong. Ia berjalan santai menuju meja di dekat ruang terbuka yang menjadi sumber suara gemericik air di bawah tempat itu. Rupanya sumber suara air tersebut berasal dari sungai. Ia baru saja duduk ketika ponselnya berbunyi pelan menggemakan nada alarm spesial. Tulisan di ponselnya yang muncul berbunyi "Selamat ulang tahun, Ayah!"

Al menatap jauh ke langit melalui ruang terbuka di dekatnya, tempat pria itu berada. "Ayah, selamat ulang tahun."

Barangkali langit adalah rumah yang nyaman untuk ayahnya sekarang karena besarnya satu semesta. Seolah sedang merayakan ulang tahun pria yang dicintainya itu, langit hari ini cerah. Sama sekali tak berawan ataupun menunjukkan tanda-tanda akan terisak. Mungkin ini adalah hadiah dari semesta karena semasa hidup, ayahnya adalah sosok yang budiman.

Ayah adalah orang tua satu-satunya yang Al punya. Laki-laki itu adalah laki-laki pertama yang hadir dalam hidupnya. Sekaligus cinta sejati ibunya. Karena sejak meninggalnya Ibu ketika melahirkannya, Ayah sama sekali tidak pernah berpikir untuk menikahi wanita lain di dunia.

Kumis Ayah yang tebal tak pernah bergoyang ketika tertiup angin, seolah itu adalah cetakan permanen di wajahnya yang kebapakan. Dibalik perutnya yang tambun, Ayah adalah orang yang lincah. Hobinya bermain barbel di sore hari selepas kerja.

Di akhir pekan, Ayah suka melakukan kegiatan sosial, entah apapun itu. Contohnya seperti iseng membagikan nasi bungkus ke orang-orang yang ditemuinya di jalan menuju taman kota, mengajar matematika ke anak-anak jalanan, ikut kerjabakti membangun rumah warga yang tertiup angin, atau menghibur anak-anak di rumah sakit yang tengah berjuang melawan kanker dengan suaranya. Walaupun kadang Al sangsi. Bingung. Sebetulnya yang dihibur Ayah adalah para anak atau para orang tua? Karena hampir tiap kali menyanyi, Ayah akan menyanyi tembang lawas. Lagu favoritnya adalah Gereja Tua.

Waktu itu hujan rintik-rintik.

Kita berteduh, di bawah atapnya.

Ayah akan menghayati lagu itu sambil berkerut kening dan mengangkat tangan memegang dadanya, sambil menyetir mobil.

"Percuma kita pintar, kalau tidak berguna buat orang lain, buat apa? Coba lihat pedagang bakso kesukaanmu itu. Walaupun pendidikannya mentok di SD, tapi dia bisa bikin anak Ayah ini kenyang." Petuahnya akan muncul tiba-tiba di sela-sela perjalanan mereka. Petuah yang sudah dihapal Al di luar kepala.

Jadilah manusia yang memanusiakan manusia, begitu intinya.

"Bayangin kalau seseorang itu pintar sekaligus berguna, kayak apa tuh?"

"Kayak Senja, yah!"

Ayah memanggilnya Senja. Nama itu terinspirasi dari ciptaan Tuhan favoritnya yang mempertemukan Ayah dengan bidadari yang turun dari langit. Ibu. Walaupun Al tidak pernah menangkap Ibu dalam ingatannya, tapi ia mengenal sosok itu lewat Ayahnya. Pertemuan mereka yang dilatari cahaya kemerahan yang bercampur ungu itu menjadi alasan namanya disematkan.

Suatu hari, di umurnya yang masih dua belas tahun, Tante Dira datang mengunjunginya dengan terburu-buru. Hari yang mendebarkan itu masih ia ingat jelas di luar kepala. Tante Dira datang dengan perasaan panik dan khawatir yang berusaha ia sembuyikan.

Wanita itu memasukkan seragam dan baju-baju Al ke dalam tas besar, pun meminta Al untuk membawa buku-buku pelajaran yang ia butuhkan selama beberapa hari. Tangannya bergetar meraih tubuh keponakannya itu menuju mobil.

Tanpa mengetahui situasi, Al percaya Ayahnya berhalangan pulang. Pria itu pamit untuk mengurus proyek 1000 perpustakaan pertamanya di daerah Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Letaknya 3 jam naik mobil dari pusat kota. Menurutnya, anak-anak pesisir sekitar Pantai Watu Leter masih kesulitan mengakses buku-buku pelajaran maupun bacaan.

"Akan sangat indah ketika mereka bisa membaca di pinggir pantai. Sambil menikmati lembayung jingga favorit Ayah", ucap Ayah sebelum berangkat.

Beberapa hari berlalu dan Ayah masih tak kunjung datang menjemputnya dari rumah Tante Dira. Hingga di suatu hari yang cerah, Tante Dira muncul secara tiba-tiba di depan kelas, menjemputnya pulang sambil tersedu sedan. Padahal saat itu di sekolah sedang jam mata pelajaran Kesenian, subjek favortinya.

Mendengar satu kalimat dari Tante Dira saat itu langsung membuat sekujur badan Al kaku. Telinganya berdenging seperti ada batu besar yang memukul bagian belakang kepalanya. Saat itu juga dunia Al runtuh dan hancur berkeping-keping. Rasa sakit menjulur ke seluruh badannya. Seperti ditusuk ribuan jarum. Air matanya banjir membasahi pipinya yang mungil ketika ia dipaksa menerima kenyataan.

***

Ada yang bisa nebak kenapa???

Jangan lupa follow, komen, dan vote yaaa! Yang ngelakuin semuanya lengkap, didoain balikan.

Aamiiin!!

Nuansa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang