CHAPTER 1

20 1 0
                                    

Sudah beberapa hari ini tidak hujan. Matahari bahkan semakin terik saja. Ah, semakin malas saja keluar rumah. Tapi dikarenakan temanku dari Jogja tiba-tiba saja ingin main ke Bandung. Alhasil, disinilah aku. Menunggu kereta yang tak kunjung datang. Hm … menyedihkan sekali.

Beberapa menit yang lalu, memang sudah ada pengumuman tentang keberangkatan yang molor plus pesan lebay dari temanku itu yang sudah berpikir kemana-keman. Ya, kereta yang ditumpangi temanku harus mengungsi dulu di statisun lain karena masalah teknis. Sebenarnya, aku juga khwatir sih dengan dia. Semoga tidak terjadi apa-apa.

Dan … doaku terkabul teman-teman. Di kejauhan terlihat sebuah kereta akan masuk. Aku yakin itu kereta yang ditumpangi temanku. Hal itu diklarifikasi oleh temanku dengan membalas pesan digital yang aku kirimkan beberapa waktu yang lalu.

Alhamdulillah … akhirnya aku bisa segera pulang! Yeay!

Aku melihat temanku, Saras, melambaikan tangannya ke arahku. Dia masih ada didalam. Masih mengantri untuk keluar. Tapi, dari apa yang kulihat, beberapa kali dia harus terseret ke belakang lagi karena tubuhnya terlalu kecil untuk menyeimbangi arus keluar yang lumayan padat. Beberapa kali pun ia mengumpat. Bukan. Bukan aku yang punya pendengaran yang tajam, tapi ciri khas Saras yang selalu mengumpat itu jelas sekali dari mulutnya yang komat-kamit. Aku tertawa kecil. Dari dulu memang tidak pernah berubah.

Aku menunggu tepat di depan gerbong tapi jaraknya memang lumayan jauh. mataku masih mengawasi Saras yang susah payah untuk dapat bergerak maju. Hingga tak sadar seseorang menubrukku. Aku oleng. Untung saja aku langsung dapat menyeimbangkan tubuhku. Di sudut mataku, terlihat bahwa orang yang menubrukku berhenti.

“Kalau jalan lihat-lihat, dong!” Semburku seraya berbalik memandangi dia yang berpakaian serba hitam. Tunggu! Kenapa di cuaca yang panas ini dia memakai jaket tebal? Ah, terserahlah ! Kulihat  dia membungkuk kearahku. Aku meringis. Bahuku lumayan sakit terkena ranselnya yang lumayan besar itu.

Kemudian aku berbalik, kembali memandangi Saras. Ia mungkin melihatku hampir jatuh, mulutnya bergumamn sesuatu yang ditujukkan padaku, “Kenapa?” aku menggeleng. Tak selang berapa lama, aku lihat Saras jatuh terjerembab. Sontak saja aku berteriak.

“Saras!”

Jantungku terhenti.

Bukan. Bukan karena Saras yang jatuh. Tapi … karena sesuatu yang telah menusuk perutku. Aku tertegun pada pria yang ada di hadapanku. Kemudian tanganku meraba perutku.


Basah.


Aku melihat … darah. Darah aku.

“To—lo—“ Tenggorokanku tercekat. Pusing mulai mendera sehingga tubuhku mulai oleng.

HAP

Ada yang memelukku. Tangannya menekan tanganku yang menutupi luka tusukan itu. Berbarengan dengan pelukan itu, pria dihadapanku oleng dan ambruk. Walau tidak jelas, aku mendengar rintihannya.

Badanku dibalik olehnya. Tanganku dia masukkan kedalam saku jaketnya.

“Sayang … tidak boleh seperti itu. Kamu malah menendangnya! Astaga …”

“Hah? Kenapa? Ya ... maaf jangan memelukku seperti ini dong. Malu dilihat orang lain. Apa? Mau digendong? Jangan disini dong … aaw .. kau malah mencubitku. Iya-iya aku gendong sekarang!”


Perkataannya semakin melantur. Aku tidak dapat mendengarnya lagi.


******


Kejadian satu tahun yang lalu.


Entak kenapa … aku yang tipenya beringatan buruk, tapi sangat mengingat kejadian itu. Ah, mungkin karena kejadiannya di luar dugaan. Ya, aku pernah tertusuk tanpa sebab dan … terjebak dengan orang yang tiap harinya—ah aku harus bilang apa, ya?

MAHARESITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang