CHAPTER 6

1 0 0
                                    

Tubuhku bergoyang karena helikpoter itu yang sekaligus beberbalik arah. Jantungku berdegup kencang. Aerin bahkan segera ke arah kemudi dan menggantikannya. Aku shock tak kala helikopter sedikit oleng karena Aerin merebut paksa kemudi.



“Ah!”


BUK!


Aku terbentur karena ulah Aerin. Tapi sepertinya ia tak perduli. Pilot yang ditendag ke arah belakangpun hanya dapat meringis. Aku mendekati Aerin.

“Ada apa ini, Aerin!”

“Jangan banyak Tanya. Pegangan yang kuat jika kamu ingin selamat.” Dia menjawabku dengan dingin. Matanya merah menaham amarah. Sesaat aku melihatnya menitikkan air mata. Jantungku kembali berdebar … apa ini artinya—mereka dalam keadaan bahaya?

Dikejauhan—aku melihat nyala api yang besar. Api itu berasal dari rumahnya yang terbakar. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Padahal baru sebentar kami pergi … rumah itu habis terbakar .. asap yang membumbung tinggi. Dan tak lama … suara tembakan menyerang helikopter.


“Bajingan!”


Umpat Aerin. Ia berusaha menghindari tembakan yang mengarah pada kami. Aku dan pilot itu berusaha dapat menjaga pisisi tubuh kami supaya tidak tertembak. Aku menatap nanar rumah itu –apa jangan-jangan mereka—terjebak?


Tidak!


Plung!

Ia melemparkan sebuah pistol panjang ke pilot itu. “Habisi mereka!”


Baku tembak pun semakin tak terelakkan. Aku meraih ponselku, berniat ingin meminta bantuan polisi. Entahlah walaupun aku tidak tahu ini dimana, rasa-rasanya ini tidak jauh dari rumahku. Mungkin. aku harus mencoba menelepon polisi.


“Tolong kami pak—“



Puk!


Aerin malah melempari walkie-talkie kepadaku. Aku yang kaget tak sengaja menjatuhkan ponselku. Ia berbalik dan terlihat sangat marah padaku.

“Jangan bodoh!”

“Kenapa? Kita tidak bisa menanggulanginya sendiri!”

“AKU BILANG JANGAN YA JANGAN!” Dia membentaku. Rasanya sakit sekali sampai ke hati.

Aku merapatkan bibirku. Menatap nanar rumah yang terbakar. Entah mereka selamat atau tidak—atau mereka sedang berjuang untuk keluar. Aku hanya bisa merintih dalam hati. Sayangnya aku tidak bisa melakukan apapun selain melihatnya.

“Kakak …” Lirih Aerin yang membuatku menatap kearah yang sama.

Aku melihat sebuah mobil yang menerobos keluar dari kobaran api. Sedikit kelegaan menghampri. Mereka tenryata baik-baik saja. Kemudian sebuah suara muncul dari walkie-talkie Aerin …

“Teh pahit!”


Apa?


Aku tidak salah dengar kan?


“Laksanakan, Tuan Muda!”



******


Aku tidak menaiki helikopter lagi. Kini aku dan Aerin mengendarai sebuah mobil. Aerin nampaknya tidak ingin berbicara kepadaku. Ia sibuk menginjak pedal gas. Aku pun terlalu sungkan untuk berkata-kata.

Aerin yang ramah berubah 180 derajat. Ia nampak serius dan tidak mau diganggu macam-macam. Malam semakin gelap bahkan mungkin sebentar lagi ini subuh. Tapi perjalann ini tak kunjung selesai. Entah kemana lagi aku akan singgah.
Mengenai teh pahit tadi .. aku jadi penasaran apakah itu sebuah kode?

Oke skip. Bukan waktunya.

Sebuah rumah yang sederhana yang aku lihat dikejauhan ternyata menjadi tujuan Aerin. Dia langsung keluar aku pun begitu. Tapi Aerin malah masuk lagi kedalam mobil dan memencet klason dengan keras sebanyak 3 kali. Setelah itu, penghuni rumah itu keluar.

Aerin keluar dan menghampiri mereka. Entah apa yang dibicarakannya. Dua orang yang muncul lagi di didalam rumah segera membawa barang-barang yang kami bawa ke dalam rumah. Ibu pemilk rumah menghampiriku dan menyuruhku masuk.
Di dalam Aerin sibuk memakai segala perlengkapannya. Ia Memasukkan beberapa peluru ke senjatanya dan membenahi rompi anti peluru. Dia siap berperang sepertinya. Ia menghampiriku.

MAHARESITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang