CHAPTER 5

1 0 0
                                    

Disinilah aku. Diatas atap rumah yang ternayata ada tempat untuk mendarat helikopter. Ah, seperti yang pernah Aerin bilangg, aku jadi terpikir seberapa kayanya dia. Dan kenapa dia terus mengejar pengakuan jika uangnya sudah banyak?

“Paham?” Tanyanya.

“Aku ingin berta—“

“Aku bertanya kamu paham atau tidak. Bukan kamu ingin bertanya atau tidak.”

Aku mencebik. Dasar Tuan Muda ini … suka sekali membuat skak mat orang lain.

“Aku tidak ingin kamu bertanya apapun. Cukup lakukan sesuai apa yang aku ucapkan tadi.”

“Baik, Tuan Muda.” Ucapku seraya menurunkan kepalaku. Niatnya menyindir bukan hormat. Hahaha .. konyol sekali jika aku hormat padanya.

“Kalau paham, coba ulangi apa saja yang kamu harus lakukan.”

Aku menatapnya malas, “Setelah naik helikopter yang akan datang 15 menit lagi aku akan diantarkan ke rumah sakit lalu temui Dokter Erick dan bilang kalau aku tamumu. Maka dia akan mengurus segala sesuatunya untukku. Kemudian katakan pada orang tuaku bahwa aku harus mengikuti kunjungan kerja bosku ke Kalimantan dan katakan ke tempat kerja kalau aku sakit kemudian harus berkunjung ke tempat nenek. Jikalau mereka bertanya kenapa aku tidak bisa dihubungi maka jawab sinyalnya jelek.”

Dia menganggaku-angguk. “Bagaimana kamu tahu kalau di rumah nenekku memang susah sinyal?”

“Hanya menebak saja.”

“Bohong. Kamu tahu segalanya tentang diriku.”

“Kalau sudah tahu kenapa kamu bertanya?”

“Ini tidak adil. Kamu tahu segalanya tentang diriku. Aku tidak tahu apapun tentang dirimu, Tuan Muda Maharesi.”

“Maharesi? Lupakan nama itu.”

“Kenapa? Setidaknya aku harus ingat salah satu namamu.”

“Kenapa kamu ingin mengingatnya?”

“Aku pun tidak tahu. Rasa-rasanya aku harus mengingat saja salah satu namamu.”

“Walaupun aku tahu segalanya tentang dirimu. Aku akan segera melupakannya, maka pada akhirnya sama seperti dirimu yang tidak tahu apa-apa tentang diriku.”

“Kenapa kamu ingin melupakanku?”

Ia mengedikkan bahu. “Feeling saja.”

Aku menatapanya garang. Aku bertanya serius malah main-main. Kalau aku menendangnya sekali, masihkah dia akan memulangkanku? Sungguh … aku ingin sekali membuat dia jadi perkedel.
Tuan Muda itu melihat jamnya. “10 menit lagi sampai.”

Aku hanya mengangguk. Kemudian ia menelpon Aeri menyuruhnya untuk segera ke atas. Ya, Aerin akan mengantarku pulang. Terdengar umpatan Aerin yang sedang memarahi kakaknya itu. Walaupun Aerin begitu pada kakaknya, tapi ketika kakaknya pergi tanpa pamit ia sangat khawatir. Contohnya saja ketika Tuan Muda ini terluka.

Mengingat ketika dia terluka, sepertinya di baik-baik saja. Mungkin. aku memandang lurus kedepan. Ada hamparan tanah dengan tumbuhan ilalang yang tinggi-tinggi. Aku jadi berpikir sebenarnya aku ini dimana? Masih di Indonesia kah? Tapi … sia-sia saja kalau aku bertanya. Dia tidak akan menjawabnya.

“Kakimu bagaimana?”

“Jangan khawatirkan aku. Khawatirkan saja dirimu. Jangan masuk ke lubang yang sama.”

“Aku tidak masuk ke lubang, kamu yang menyeretnya.” Ucapku sengit seraya mendelik padanya.

“Maaf.”

Aku terkesiap mendengar ucapan. Setelah sekian lama? Baru meminta maaf padaku. Yang benar saja.

“Tidak usah meminta maaf. Bukankah ini ketidak sengajaan seperti yang Dokter Tua itu bilang?”

“Aku sudah siap!” Teriak Aerin. Ia datang dengan ransel yang sangat berat. Aku heran memang akan kemana? Bukankah dia hanya akan mengantarku pulang saja? Lalu terdengar suara helikopter dari kejauhan.

“Wah … helikopternya sudah datang ternyata.” Lanjutnya. Sedangkan aku dan dia … entahlah aku harus bicara apalagi. Ah ya .. aku belum berterima kasih.

Helikopter itu mendarat. Suaranya bising sekali. Jilbabku jadi berkibar-kibar karena angin dan helicopter itu. Aku dan Aerin berjalan mendekati helicopter. Si Tuan Muda berbalik hendak pergi.

“Tuan Muda Maharesi!” Teriakku. Ia berhenti melangkah dan berbalik memandangku.

“Terima kasih sudah melindungi dan merawatku! Apapun masalahmu semoga cepat selesai dan kamu bisa hidup dengan damai. Assalamualaikum, Tuan Muda Maharesi …”

Helikopter itu naik perlahan. Lagi, aku dibuat takjub. Bayangkan! Sekarang aku bisa merasakan naik helikopter. Yeay! Nikmat Tuhan yang mana lagi yang engkau dustakan, Raidilla Anjani!

Mungkin ini maksudnya kenapa Islam mengajajarkan apapun ketetapan-Nya terhadapmu. Baik atau buruk, itulah yang terbaik bagimu. Ya … walaupun insiden ini sangat mengerikan tapi setidaknya aku dapat merasakan hal yang tidak dirasakan oleh orang lain.

Aku tersenyum tanpa alasan dan Aerin melihatnya. “Sesenang itukah pulang kerumah?”

“Kenapa?” Aku malah balik bertanya. Maksudku … siapa yang tidak senang jika dia pulang ke rumah setelah sekian lama?

“Aku tidak pernah merasa senang kalau pulang kerumah.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Anggaplah semua orang tidak beruntung.”

“Semua orang itu beruntung.” Ucapku.

Aerin menatapku. Tatapannya itu sulit diartikan.

“Kitanya yang selalu memakai takaran akal manusia tentang keberuntungan bukan takaran Tuhan. Sekalipun seorang anak dilahirkan tanpa ayah dan ibu sedangkan anak lain dilahirkan dengan ayah dan ibu. Tetap anak itu beruntung karena boleh jadi anak itu punya hal yang tidak akan pernah dipunyai anak yang dilahirkan dengan ayah dan ibu. Tinggal kitanya yang harus pandai mencari keberuntungan di diri kita dan mensyukurinya.”

Aerin tersenyum kepadaku. “Kamu orang baik.”

Malam itu … langit tampak mempesona walau tanpa bintang. Gelapnya tampak indah jika dilihat dari ketinggian ini. Waktu sudah berjalan sepuluh menit sudah lumayan jauh dari rumah itu. Aerin tampak sibuk membuka tas ranselnya.

Entah apa yang ia persiapakan. Aku hanya meneguk lidahku tak kala beberapa senjata ia keluarkan. Apa-apa an dia ini …

“Ehm … kamu mau membunuhku?” Tanyaku yang membuat dia menatap heran.

“Apa yang kamu maksud? Ahahaha .. kamu takut?”

“Engga tapi—”


BOOM!!! BOOM!!


BLEDUG!!



Suara ledakan itu membuat aku dan Aerin terkesiap.


“BALIK ARAH!” Teriaknya pada pilot.


“CEPAT!”

#########

180220

Bdg.

MAHARESITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang