Jungkook duduk di balkon berteman kelamnya malam. Atma yang tergugu sepi, lamunkan kenangan yang terlintas dalam memori. Setelah meninggalkan sesi panas bersama Hwayoung yang sekarang sudah bergelung di dalam selimut, mata kembarnya tak bisa biarkan Jungkook barang sebentar untuk tertidur. Lama terdiam untuk sekedar mengingat kenangan yang sudah lama terpendam. Memorinya yang usang kembali pada masa-masa itu, ketika ia mempunyai sahabat sekaligus saingan terberatnya. Dulu mungkin ia sendiri yang menganggapnya seperti itu. Entah kenapa ia jadi memikirkannya setelah sekian lama.
Nama sahabatnya adalah Park Jimin. Ketika mereka lulus kuliah, Jungkook tiba-tiba yang memulai untuk putuskan komunikasi. Walaupun Jimin masih tetap memberi kabar, Jungkook tidak pernah mengacuhkannya. Jungkook sebenarnya iri, pada Jimin yang menyukai passion-nya, yaitu bisnis. Tidak seperti ia yang harus memilih mengorbankan passion-nya yaitu fotograger menjadi pembisnis seperti Jimin.
Jungkook menghindar hanya karena ia tidak ingin membenci Jimin. Keiridengkian yang menyebabkan hatinya begitu tidak terima, benci karena tidak bisa menerima keadaan. Benci mengapa seolah-olah hanya Jimin yang begitu bahagia?
Jungkook sudah abaikan hal itu. Sekarang, semesta entah kenapa memihaknya. Mempertemukannya pada wanita yang benar-benar ia inginkan.
Kendati di pertemuan-pertemuan tak sengaja, wanita itu selalu canggung berada di hadapannya. Seperti takut ketika berada di hadapannya. Mungkin benar, wanita itu pasti takut karena ia sudah menikah. Apabila melihat reaksinya waktu itu. Mengetahui bahwa ia juga pria yang sudah beristri.
Rumit memang. Namun, itulah yang menjadi tantangannya. Jungkook ingin sekali memiliki wanita itu.
Ia beranjak dari sana, menyusul sang istri tidurㅡoh, bukan, lebih tepatnya menyerang sang istri lagi yang mungkin belum lama tertidur setelah pergulatan panas. Tapi karena Jungkook menginginkannya, Hwayoung tidak protes. Ia tidak tahu saja, bahwa alih-alih Jungkook menginginkannya, itu karena Jungkook memikirkan wanita pujaannya. Sebab ia menjadi seperti ini.
---oOo---
Memakai pakaian mahal keluaran Saint Laurenc, Hwayoung berdecak ketika memandang sang suami yang tengah menyisir surai begitu rapi.“Rapi sekali, ingin kemana?”
Jungkook melirik, hanya sebentar lalu fokus menyisir lagi di depan cermin. “Tentu saja ingin mengantarmu ke bandara. Apa lagi?”
“Tidak seperti biasanya.”
Jungkook menyeringai, tentu saja ini tidak biasa, karena ia sedang ingin memamerkan ketampanannya pada sang pujaan hati yang berada di seberang rumahnyaㅡ barangkali bertemu di lift seperti biasa. Lalu tentu saja itu hanya ia ucapkan dalam hati. Walaupun tidak ada cinta, Jungkook masih punya perasaan untuk berniat selingkuh secara terang-terangan.
“Agar ibu negara terpesona padaku, memang tidak boleh hm?” Jungkook mengerling menggoda. Hwayoung serta merta menggeleng tidak percaya pada tingkah lakunya, berusaha tidak memerah hanya karena ucapannya. Sejak kapan kan pria itu suka merayu begitu?
---oOo---
“Jadwal minggu depan setelah restrukturisasi, kita akan kembali ke Korea. Buat schedule minggu depan dengan mengadakan meeting dengan petinggi-petinggi dan pemegang saham yang kita bahas kemarin,” intruksi Jimin pada sekretarisnya Kim Jiho. Perempuan yang masih muda itu tengah mencatat jadwal sang direktur pada benda canggih yang bernama ipad itu.“Tambahan lain, daepyo-nim?”
Jimin menutup laptopnya, menggeleng lalu memberi senyum. Ia bereskan berkas-berkas yang terlihat berantakan di atas meja kerjanya. “Itu saja.”
“Algeusseumnida, daepyo-nim.”
Pria itu lantas beranjak dari kursi kerjanya, dan memberi atensi nya pada Jiho lagi. “Jiho-ssi, saya akan menyuruh sopir saya untuk mengantarmu dulu ke hotel.”
“Ah, aniyo, daepyo-nim. Tidak perlu, saya akan merepotkan Anda.” Jiho menolak, kendati sebenarnya itu tawaran yang bagus mengingat ini sudah pukul 9 malam. Ia masih terlalu awam dengan Negeri Sakura karena baru kali ini ia mengikuti Jimin kemari, yang biasanya Kim Namjoon yang menemani sang Presdir. Tapi karena Namjoon harus menangani perusahaan yang berada Korea yang tengah mengalami masalah, maka Jiho yang dipercaya Jimin untuk menemaninya.
“Tak apa. Ini sudah larut malam. Bahaya gadis sepertimu pulang malam sendirian.”
Jiho menunduk hormat sembilan puluh derajat, lalu mengulas senyum sumringah. “Terimakasih, daepyo-nim.”
Jimin mengurai senyum sebelum akhirnya berjalan beriringan bersama sang sekretaris menuju lobi. “Sama-sama. Kau sudah bekerja keras, keselamatanmu disini adalah tanggungjawab saya juga.”
Suara pijakan sepatu dua lawan insan itu menggema mengisi keheningan suasana di koridor menuju lobi. Beberapa divisi masih lembur untuk mengejar tumpukan pekerjaan mereka yang belum selesai. Sopir yang dipesan Jimin sudah berada di depan lobi, Jiho kemudian menuntun diri untuk membungkuk hormat lagi, dibalas Jimin dengan anggukan, masih mengulas senyum menawan.
“Telepon saya jika kau membutuhkan sesuatu, ya.”
Menyelipkan anak rambut yang jatuh ke depan wajah, Jiho menganggukkan kepala; membalasnya dengan senyum sipu sebelum masuk ke dalam mobil milik sang atasan. Memasang senyum manis sepanjang jalan, Jiho melamunkan Jimin yang jauh di angan. Jiho tahu Jimin itu bagai malaikat, memberi afeksi kepada siapapun hingga siapapun terpikat. Dia, salah satunya. Dan tak salahnya bukan dia menyukai dalam diam, ia ingin rasanya dicintainya walaupun semalam. Seandainya saja, jika Jimin bukan milik siapa-siapa.
Di sisi lain, Jimin menyempatkan diri untuk kembali masuk ke dalam, mengamati pekerjaan per divisi sembari memberi semangat pada karyawan-karyawannya yang masih lembur. Antusiasme mereka terlihat kembali seperti ketika mereka menyongsong pekerjaan di pagi hari.
Kembali ke lobi, Jimin memilih untuk panggilan video dengan istri sembari menunggu sopirnya kembali. Walaupun sibuk dan lelah, ia meluangkan diri untuk memberi kabar, bagaimanapun ia sangat rindu dengan sang istri. Namun, semesta sepertinya baru saja tidak memihaknya kali ini, ketika sang istri tidak mengangkat telepon darinya. Begitu juga sopirnya yang sudah tiba, seakan memberi tahu bahwa ia tidak diizinkan untuk melihat wajah sang pujaan hati.
Entah kenapa dalam benak, ia merasa tidak enak. Takut terjadi apa-apa dengan sang istri. Semoga itu hanya perasaannya saja. Dan sang istri memang tidak apa-apa.
Setelah sampai hotel, ia akan menghubunginya lagi. Jika bisa, Jimin akan meminta tolong sang adik ipar, Kyungri untuk mengecek rumah mereka. Sekhawatir itu memang dirinya ketika jauh dengan sang istri. Ia selalu merasa bersalah karena terlalu sering meninggalkannya.
Namun, Kyunghee tak lama memberi pesan singkat kepadanya.
Maaf, Jimin. Aku sedang lembur untuk proyek-ku bulan depan.
Aku akan meneleponmu kembali
kalau aku sudah selesai mengatur
konveksi dan lain-lain, ya.Jimin menghela napas, bergumam dalam hati bahwa ia bersyukur Kyunghee memang benar sedang sibuk dengan pekerjaannya. Jimin tahu, bahkan wanita itu pernah tertidur hanya 2-3 jam karena mengejar tenggat waktu yang ia inginkan. Jimin lalu membalas pesan tersebut dengan cepat.
Jangan memforsir dirimu terlalu berlebihan, ya, Sayang. Cepat
tidur. Aku merindukanmu.Jimin menghembuskan napas lega, karena tidak terjadi sesuatu yang buruk dengan sang istri. Namun, perasaan apakah ini, kenapa rasanya masih mengganjal meski khawatirnya sudah menghilang?[]
------------------------
Hayo kenapa tuh sama Kyunghee? Kok ditelpon ga diangkat? Bener ga tuh, yg dia bilang di chat. Jangan-jangan.....👀 rahasia dong XD
Tebak yang tahu XD
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fault in Our Marriage
Fanfiction[AFFAIR SERIES #1] [Revisi] Park Jimin punya kesetiaan yang murni seputih awan di langit, namun itu tidak cukup untuk mengikat Shin Kyunghee disisinya. Sebab 'sesuatu' yang ia rahasiakan pula. Perihal krusial itu lebih rumit ketika Jeon Jungkook iku...