tetap sama, ica yang dulu

2 0 0
                                    

Dua hari sebelum hari lebaran aku dan Yani temanku ngabuburit di salah satu vila dekat rumahku. Jaraknya tidak terlalu jauh hanya sekitar lima menit menggunakan sepeda motor. Aku membawa tas  ransel karena rencanya kita akan nonton film. Tetapi, sesampainya disana vilanya tutup.
"Yan, manjat pagar yu?" Ajaku sambil nyengir karena ya benar saja seorang gadis manjat pagar yang tingginya lebih dari seutas kami.
"Bisa di coba" serunya juga sambil nyengir menampakan giginya.
Teman yang satu ini memang gampang diajak yang aneh-aneh. Ouh iya, aku dan Yani sudah sahabatan dari kecil karena rumah kita sebelahan. Namun, yani mengambil sekolah di MAN jadi sekarang kita ketemu agak jarang karena sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Aku memanjat lebih dulu, sedikit takut karena pagarnya benar-benar tinggi apalagi ujungnya runcing. Tapi karena kemauan kita yang bener-bener mau akhirnya sekarang kami sudah berhasil memanjat pagarnya.

Kita langsung berjalan mencari tempat nyaman untuk nonton film. Biasanya kalau main kesini aku suka duduk di taman belakang.
"Ca kamu manjat pager?" tanya Hendra  sesampainya di halaman belakang.
Alasan aku mau manjat pagar bukan karena sudah terlanjur sampai di lokasi tetapi tempatnya tutup tapi juga karena di liat dari luar juga banyak yang sedang nunggu waktu magrib karena banyak motor yang di parkir diluar gerbang. Kayanya seru aja kumpul bareng temen sekampung.
"Iya dong, masa terbang pake sejadah aladin" jawabku sambil nyengir. Karena iya ya kalo di pikir-pikir gimana  gitu seorang gadis manjat pagar.
"Emang gak takut itunya ke colok pagar apa?" Tanya Riandy dengan nada gurau.
"masih aja gak berubah itu pikirannya nang" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala karena dia yang paling ceplas-ceplos kalau ngomong.

Sore itu vila cukup ramai dikunjungi anak-anak yang rumahnya dekat dari sana. Memanjat pagar lalu ngobrol bareng seperti sekarang.
"Eh ada ica disini" tanya kak Haris yang baru saja datang.
"Eh iya kak, sore-sore disini habis darimana kak" tanyaku, karena rumahnya dari vila sangat jauh.
"Mau buka bersama di rumah paman,  ica ikut yu kan deket ini" ajaknya sambil duduk di batu kecil.
"Eh bahaya nanti dikira pacarnya" jawabku.
"Gapapa biar nanti kamu lulus sekolah langsung di nikahin" dia pun tertawa sengakak-ngakaknya.
Aku memasang wajah datar karena bingung mau ketawa apanya yang harus di ketawain.
"Aku pulang duluan ya" aku pamit kepada semuanya. Karena hari sudah menunjukan pukul 17:20.

Sambil berjalan ke parkiran aku berfikir. Bukan, bukan karena harus manjat pagar lagi. Tapi karena, karena ada yang ingin aku ajak pulang tapi aku bungkam untuk mengajaknya pulang.
"Eh Yan tunggu dulu deh aku ada urusan bentar, kamu duluan aja ke parkiran" ucapku spontan.
"Oh yaudah" jawabnya sambil berjalan menuju parkiran.
Aku mengambil ponsel di tas lalu men dial nomornya.
"Kak, bisa kedepan dulu gak sebentar?" Aku berbicara dengan seseorang di seberang sana. Aku menunggu selang beberapa dia datang.
"Kak Fikri" ucapku.
Fikri ramdhani adalah orang yang susah dipahami menurutku. Orang yang banyak bicara dan selalu membuatku lupa waktu kalau sudah ngobrol dengannya dulu.
Canggung, malu, bingung harus ngomong apa semuanya bercampur menjadi satu. Akupun langsung memberi paper bag yang sudahku siapkan jauh-jauh hari sebelum hari ini.
"Apa ini" tanyanya bingung sambil memegang paper bag itu.
"Sesuai janji ica dulu kalo kakak pulang aja ngasih kado ulang tahunnya" aku tersenyum sambil menatapnya. "Gak boleh ada yang tau ya kak" lanjutku.
"Kenapa gak bilang dulu sih ca kalo mau kasih kado, mungkin tadi kakak bawa tas" ucapnya sambil kembali menatapku.
"Gak tau mau ketemu kakak, tapi feelingnya mau ketemu jadi ica bawa aja kadonya" jawabku.
"Makasih ya, malam ini mau ada buka bersama keluarga kakak. Ikut yu!" Ajaknya sambil tersenyum.
Tatapannya, senyumannya begitu ajaib membuatku tidak ingin pulang dan mau ikut dia saja buka puasa bareng kekuarganya. Tapi.....hmmm
"Enggaklah kak, makasih. Ica pulang dulu ya udah mau magrib" ucapku sambil menyalimi tangannya dan mengecup punggung tangannya.
Entah seperti apa wajahku sekarang, mungkin bagi orang yang melihatnya sudah berubah warna menjadi merah buah tomat yang merona.
Aku langsung lari dari hadapannya.
"Ca" dia menyahutku. Aku berhenti berlari lalu membalikan badan karena tau ada yang memanggilku.
"Peluknya engga?" Tanyanya sambil tersenyum dan merentangkan tangan. Tanpa menjawabnya aku kembali berlari. Berlari menjauh darinya.

...
Selepas berbuka puasa aku duduk di teras rumah sambil makan es kolak buatan mamah. Malam ini lebih baik daripada malam kemarin. Mungkin karena langit sedang tidak menangis. Malam ini langit benar-benar bahagia mungkin karena bintang berhasil menghiburnya. Aku senyum-senyum sendiri jika kembali mengingatnya.
"Ting" ponselku berbunyi menandakan ada pesan whatsapp yang masuk.

"Kado nya udah di buka"

"Iya, syukur deh"

Aku membalas pesannya yang tidak lama ia balas lagi.

"Tau gak siapa yang buka?"

Ya  siapa emang nya? Tanyaku dalam hati.

"Mamah yang buka kadonya, terus yang ngumpulin permennya nenek."

Belum sempat aku balas, tapi pesan baru sudah masuk.

"Ihhh, kakak"

Balasku sambil cemberut.

"Gak harus sembunyi-sembunyi ca.
Kita mulai lagi yu dari awal."

...

Bulan,
Aku mau bertanya kepadamu.
Apakah kamu merasa sendiri kalau bintang tidak menemanimu malam ini?
Apakah kamu akan bersedih kalau bintang-bintang itu pergi darimu?
Lalu, apakah kamu akan bahagia kalau bintang-bintang itu datang lagi?
Bulan, apakah kamu akan menerimanya lagi meskipun bintang itu sudah menghianatimu dengan planet lain?

Bulan, aku butuh jawaban.
Aku bingung dengan semuanya yang terjadi. Aku mau dia bulan, aku gak mau siapa-siapa lagi. Aku mohon.

....

Yeee, gimana nih gimana?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FKI & CATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang