03.30 (26 Januari 2019)

10 0 0
                                    


Malam ini dingin dan menyakitkan. Air mata terus mengalir dan tanpa sadar membuatku tak mampu memejamkan mata. Menikmati malam ini dengan semua kenangan yang entah bagaimana terus berlarian. Berharap malam segera berlalu, namun yang mampu aku lakukan hanyalah menikmatinya dengan derai air mata yang tiada henti. Ku perhatikan sekelilingku yang sungguh sunyi. Semua orang terlelap dan menikmati pertunjukan mimpi mereka. Sementara aku hanya bisa berpasrah dengan keadaan yang selalu menghantuiku.

Malam belum juga berganti, aku terus terduduk dengan musik sebagai temanku. Aku mencoba untuk memejamkan mata dan berharap pagi kan menjelang dan mimpi pun datang. Aku hanya berharap aku segera lelah dengan pikiranku sendiri.

Laptop itu sudah lama tidak digunakan. Dengan seluruh tenagaku, aku hampiri meja yang tak jauh itu dan meraih laptopku. Aku mulai menghidupakannya dan ku kenakan earphone sebagai alat penghubungku dengan musik. Aku mulai menulis untaian kata yang kuharapkan dapat membuat seluruh kegundahan ini hilang berganti dengan perasaan lega.

Satu per satu untaian kalimat ku tuliskan. Dengan air mata yang terus mengalir, aku terus menulis. Tangan ini seolah bergerak dengan sendirinya. Dia seolah tau apa yang akan aku tuliskan. Semua penderitaan, pikiran, penyesalan, rasa sakit, dan kesedihan tiada akhir yang aku rasakan. Aku tau, ini hanya diriku yang tampak lemah. Aku menyadari diriku yang tak mampu bangkit dan kembali berjalan. Aku menyadari diriku yang terus terpuruk dengan keadaan yang seharusnya bisa aku rubah. Ini bukan tentang dia, tapi tentang aku yang masih terbangun dengan segala kegundahan yang hanya bisa ku nikmati.

Satu kalimat, dua kalimat, satu paragraf, hingga beberapa paragraf sudah memenuhi layar di depanku. Mataku tetap pada pendiriannya dan masih saja menjatuhkan air mata. Aku mulai merasakan panas di mataku yang kuharapkan adalah rasa kantuk yang mulai singgah.

Aku terus menulis hingga tanpa kusadari jarum jam sudah berpindah posisi. Aku terlalu menikmati malam sunyi ini dengan temanku ini. Aku terlalu menikmati semua kesedihan yang tampak enggan pergi. Dengan air mata yang terus mengalir, tanganku dengan lincahnya menuliskan semua skenario yang palsu. Skenario hidupku yang nyatanya tidak pernah terjadi.

Aku menikmati kelamnya malam ini dengan lagu pengantar tidur yang tidak pernah mampu membuatku masuk ke dalam alam mimpiku. Kenapa aku harus seperti ini setiap malam?

Sebuah senyuman merekah di mulutku. Ah, aku memang tidak pernah lelah. Aku tidak pernah lelah dengan segala bayang-bayang palsu, dengan segala kebohongan yang sudah ku perbuat. Aku sudah membuat sebuah kisah menarik yang sangat aku nikmati. Ya, ini hanya untuk menghiburku yang sudah terlalu nyaman dengan kesendirian. Aku yang sudah nyaman dengan rasa sepi. Aku yang sudah nyaman dengan segala jalan kisahku yang palsu ini.

Aku palingkan fokusku ke arah jam. Aku terdiam sejenak dan kusadari ini sudah pukul 3. Ah, ternyata aku memang tidak diizinkan tidur oleh pikiranku sendiri. Aku tersenyum dan bangun. Aku menjauh dari kasurku, meninggalkan laptopku yang masih menyala dengan semua paragraf yang telah aku tulis. Aku pergi dan mencari sesuatu untuk diminum. Aku lihat sekelilingku yang sangat sepi. Orangtua dan adikku sudah tertidur dengan pulas. Aku masih terbangun dengan mata sembab karena menangis.

Aku kembali ke kamar dan melihat laptopku yang masih setia. Aku kembali melanjutkan kegiatanku dan berharap mata ini segera tertutup. Aku kembali menulis segala kegundahan yang aku rasa sudah tidak aku rasakan. Rasa gundah berganti dengan rasa pasrah.

Sepertinya aku mulai lelah. Apa ini tandanya sudah berakhir? Apa ini tandanya aku sudah harus menyerah?

Aku rasa air mataku sudah tidak mau turun. Mereka sudah lelah menemani malamku yang sepi. Mereka sudah lelah membasahi wajahku yang sudah memanas. Tanganku mendingin dan kurasakan diriku sudah merasa puas.

"Satu paragraf lagi", pikirku. Aku paksakan tanganku terus berjalan di atas tombol huruf. Aku ingin menuliskan kalimat penutup untuk tulisan tak berarti ini. Aku terus memaksakan tanganku yang sudah lelah dan segera beristirahat.

Selesai, akhirnya kalimat terakhir yang aku tuliskan sudah selesai. Aku lega dengan segala hal yang aku rasakan malam ini. Dengan perasaan yang bercampur aduk, aku mampu menyelesaikan sebuah rankaian kalimat yang aku rasa tidak nyata.

Aku matikan laptopku dan menaruhnya kembali ke tempatnya. Aku kembali melihat jam dan hanya bisa menghela napasku. Aku sudah berjuang sejauh ini, seharusnya aku sadari itu.

Aku baringkan tubuhku di atas Kasur. Aku memandangi langit-langit kamar. Aku sudah menyelesaikan satu lagi kisah yang tercipta dari kegundahan dan segala kesedihan yang kurasakan. "Esok akan berbeda", ya itulah yang mungkin aku bisa prediksi. Aku teringat dengan kalimat terakhir yang aku tuliskan. Apa mungkin esok aku akan sadar telah menulis rangkaian kalimat itu?

Perasaan yang aku rasakan sudah aku tuliskan. Aku ingin berpesan pada diriku di hari esok. Bisakah kamu sedikit lebih jahat? Bisakah kamu tidak memikirkan perkataan orang lain? Bisakah kamu tidak terlalu memikirkan sesuatu yang tidak akan terjadi. Tolonglah jangan menyiksaku dengan segala rasa sakit. Kamu harusnya sadar bahwa diriku di malam ini sudah terlalu nyaman dengan segala kesulitan yang kau berikan. Ah, aku harap diriku esok akan mengerti bahwa setiap malam, air mata akan selalu menemani. Setiap malam, mimpi enggan mendatangi. Ku mohon janganlah kamu menyiksa diriku. Kau tau, aku itu kamu. Kamu itu aku. Apa yang aku rasa saat ini mungkin akan hilang, namun apa yang kau perbuat akan membuat rasa itu kembali. Aku tau kamu berusaha keras menutupi semuanya, tapi taukah kamu kalau itu hanya menyiksa dan membuatmu ingin mengakhiri hidup? Atau mungkin itulah yang kamu inginkan? Bodoh.

(Jakarta, 26 Januari 2019)

La VéritéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang