04

522 44 13
                                    

Lorong itu masih cukup panjang untuk sepasang kaki panjang Tae yang baru saja keluar dari ruang dokter yang merawat mamanya.

Kepalanya menunduk, menghitung ubin di setiap langkahnya, ia lelah.

Lelah dengan kisahnya, lelah dengan rindunya, lelah dengan pertanyaannya, dan lelah dengan hatinya.

Langkah Tae terhenti tepat ketika ia akan membuka pintu kamar di mana sang mama di rawat.

Telinganya mendengar suara yang seketika membuatnya hatinya menghangat.

Hazelnya menangkap bayangan malaikat yang bersinar dari celah pintu yang berkaca

Tae terpaku di tempatnya, di urungkan niatnya untuk membuka pintu. Mematung mengamati sesosok mahluk yang ada di dalam kamar itu.

Dia adalah Tee, TEEnya!

Tae Pov

Teeku terlihat lebih kurus sekarang, apa dia tidak makan sengan baik? Apa dia sakit? Bahkan double chin yang sering aku mainkan tak terlihat lagi sekarang.

Dia bercerita dengan mamaku seperti biasanya saat mereka bertemu.

Suaranya adalah nyanyian indah yang selalu membuatku merindukannya.

Entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku melihatnya tersenyum.

Senyum yang seperti matahari di pagi hari
Senyum yang seperti angin di musim semi.
Sangat menyejukkan siapapun yang melihatnya.

Senyum yang selalu aku rindukan.

Manikku bahkan tak berkedip memandang sosok yang selama ini namanya aku rapalkan dalam setiap do'aku, sosok yang membuatku merasakan bagaimana sakitnya terbelenggu rindu.

Tee, Mampu kah aku bertahan dalam sakit ini?
Karena saat rindu melanda, bukan lagi logika ku yang berbicara, tapi hati ku ikut memanggil namamu.

Sungguh aku ingin mendekat dan mendekapnya, mencium aroma tubuhnya yang seperti candu bagiku.

Saat rindu ini merajai rasaku, membuatku lupa jati diri. Apa yang harus aku lakukan Tee??

Pipiku terasa hangat oleh air mata yang entah sejak kapan berlomba keluar dari sarangnya.

'ini sangat sakit Tee, sakit,' aku bermonolog dan menghapus anak sungai yang terbentuk di pipiku.

Tee memeluk mamaku dengan senyumnya yang aku tahu itu tak sempurna, namun masih bisa menyejukkan rasaku.

Sepertinya ia berpamitan.

Aku memutuskan untuk menunggunya di balik Pintu.

'Ceklek!'

Tee terdiam begitu dia membuka pintu dan melihatku berdiri tepat di samping pintu.

Aku tak tau apa yang ia pikirkan, Tee hanya melihatku seperti aku melihatnya, tanpa kata.

Manik kami bertemu dan terkunci untuk beberapa saat, seolah ingin menyampaikan banyak rasa yang selama ini tersimpan.

Tee tersadar, ia menurunkan pandangannya dan kemudian melangkah menjauh meninggalkanku tanpa kata.

"Tee! Tunggu!" teriakku

Tak peduli ini rumah sakit, aku berlari mengejarnya.

Aku tak ingin kehilangan dia.

Autor Pov

Tee berlari cepat, pipinya sudah basah oleh air mata.

Ia melangkah secepat yang ia bisa, hingga nafasnya tersengal saat ia sampai di sebuah taman rumah sakit itu.

BEST VALENTINE EVER (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang