03

13 2 0
                                    

Hening.

Tak ada celetukan seseorang, hanya ada suara kunyahan yang di timbulkan dari mulut si manis; Min Yoonji. Berawal dari keadaan canggung di mana Jungkook berbicara —mengakui perasaannya, membuat Yoonji menegang dan langsung berlari ke kantin meninggalkan Jungkook —yang sekarang sedang pergi menemui temannya karena penolakan Yoonji yang mengusir Jungkook terang-terangan agar enyah dari hadapannya.

Yoonji memang mengakui bahwa pria bermarga Jeon itu sangat tampan dan juga menawan. Tetapi, Yoonji tidak ada degupan jantung berlebihan. Karena semua itu hanya berlaku di saat Yoonji berhadapan dengan Taehyung.

"Hei, melamun terus. Memikirkan aku, ya?"

Tepukan di bahu membuat Yoonji melihat ke arah pria itu; Yoongi. Yoonji hanya tersenyum simpul sambil menggeleng pelan, "Untuk apa memikirkanmu? Lebih baik aku memikirkan mengapa semut itu kecil."

"Tidak ada gunanya, Yoonji—" pria itu duduk di sebelah Yoonji, menghadap Yoonji kemudian, "—karena memikirkan seseorang lebih baik daripada memikirkan semut yang sama tidak tahu-nya mengapa mereka kecil."

Yoonji hanya terkekeh melihat wajah Yoongi yang terlihat serius. Padahal Yoonji hanya bergurau saja agar tidak canggung. Ia pun melanjutkan memakan rotinya, sesaat kemudian menyadari bahwa Yoongi tidak membawa apapun untuk di makan, "Kau tidak mau makan? Aku punya persediaan roti lagi, apakah kau mau?"

Yoongi terkekeh dengan wanita lugu di sebelahnya ini, "Aku tidak mau makan. Apakah aku terlihat seperti anak yang tidak memiliki uang dan berharap agar di berikan sesuatu oleh orang lain, Yoonji?" Yoonji hanya menyengir, bingung harus membalas apa karena ia tidak bermaksud seperti ucapan Yoongi.

Surai milik Yoonji terkena hempasan angin, yang kemudian di selipkan di daun telinga oleh Yoongi. Pemilik rambut itu menoleh, menghadap si pelaku yang sedang tersenyum manis menghadapnya, "Rambutmu sudah pendek, tetapi susah di atur juga, ya. Apa perlu aku kuncir rambutmu?" Tanyanya. Tanpa menunggu jawaban, Yoongi langsung berdiri di belakang Yoonji dan menyisir rambutnya menggunakan tangan. Kemudian mengambil pita kecil yang sengaja ia siapkan untuk Yoonji dan mengikatnya. Yoongi pun duduk kembali.

"Lucu,"

"—dan juga cantik."

Yoonji tersipu, tetapi tak berlebih. Hanya tersenyum malu dan mengucapkan terima kasih dengan pelan. Agar tidak canggung, Yoonji pun melanjutkan untuk memakan rotinya yang hanya tersisa satu suapan saja.

Tiba-tiba, Jimin datang menghampiri Yoonji, alisnya mengkerut kemudian setelah melihat pria di sebelah Yoonji yang lebih kecil darinya. Yoonji yang baru sadar atas kehadiran Jimin pun hanya sekedar menyapa dan menyuruhnya untuk duduk.

"Kau siapa?"

Bukan, bukan Jimin.

Karena notabenenya Jimin adalah seseorang yang baru datang. Jadi, yang menanyakan pertanyaan tersebut adalah Yoongi. Tanpa berbasa-basi lagi, Jimin pun menyodorkan tangannya, "Salam kenal, Park Jimin, ekskul Pendidikan Jasmani tingkat satu, kelas 10-1."

"Tidak perlu menjabat tangan seperti itu, aku tidak mau." Yoongi membuang mukanya.

Jimin berdecak. Apa-apaan? Padahal hanya ingin berkenalan saja, "Ck, siapa namamu?" Tanyanya ketus sambil menarik uluran tangannya kembali. Yoongi pun menatap Jimin sebal, "Min Yoongi, kelas 10-3, ekskul Musik."

"Wah, kau kembaran Yoonji ya? Haha...."

Yoonji hanya menyimak, sedangkan Yoongi sudah berdecak malas. Jelas-jelas ia tidak suka di bilang kembaran Yoonji, karena Jimin terlihat sangat menegaskan sekali bahwa Yoongi dan Yoonji hanya sekedar kembaran, bukan lebih. Dan Yoongi tidak suka itu. Karena perasaan Yoongi kepada Yoonji tidak hanya sekedar teman.

"Berisik. Kau siapanya Yoonji?"

"Hei, jangan seenaknya seperti itu. Memangnya hanya kau saja yang menjadi temannya?" Jimin mendengus, lalu duduk di sebelah kiri Yoonji karena sebelah kanannya adalah Yoongi.

"Kalian ini, kenapa ribut terus, huh?" Akhirnya Yoonji pun menengahi, "Kalau masih ribut begini aku jadi tidak nyaman, tahu?"

Wajahnya muram, melirik ke arah Yoongi dan Jimin, berdecak sebal kemudian. Seketika ia ingin sekali tidak berangkat sekolah, hari ini saja. Tetapi, tiba-tiba Yoonji mengingat Taehyung, seseorang yang bisa membuatnya semangat untuk bersekolah. Yoonji tersenyum sendiri, membayangkan wajah Taehyung yang tampan baginya. Perasaannya pun kian membesar.

Yoongi menggenggam tangan Yoonji tiba-tiba, membuat Yoonji mengalihkan perhatian, menghadap Yoongi bingung. Seolah Yoongi bisa membaca pikiran Yoonji, ia pun menjawab, "Sudah bel masuk. Saatnya kita ke kelas." Jelasnya. Yoonji pun baru ingat, lalu bangun dari duduknya.

"Jimin, aku duluan, ya."

Yoonji tersenyum manis, menepuk bahu Jimin pelan. Jimin pun mengangguk, membiarkan Yoonji pergi untuk ke kelasnya. Yoonji pun berjalan dengan Yoongi. Tak sengaja, matanya melihat Taehyung, ia reflek langsung menepis genggaman Yoongi. Yang di tepis menghadap Yoonji bingung, tak lama kemudian Yoonji menghampiri Taehyung dan menyapanya. Yoongi pun menatap Yoonji bingung, karena tatapan Yoonji berbeda dari tatapan-tatapan yang sebelumnya Yoonji pernah berikan.

***


Menduduki bebatuan, menekuk lututnya sembari di peluk oleh tangannya sendiri. Yoonji lama sekali menunggu jemputan, ataukah memang dia tidak di jemput? Entahlah. Yoonji berdecak, menoleh ke kanan dan kiri, tak ada siapapun selain dirinya. Mungkin temannya sudah pulang semua. Tetapi, tiba-tiba suara motor terdengar. Kemudian Yoonji mendongak, melihat siapa yang menyebabkan suara motor itu terdengar.

"Yoonji? Tak mau pulang?"

Degupan jantungnya berdetak lebih kencang, berkedip bingung. Yoonji pun hanya menggeleng, "A-ah, belum di jemput, pak."

Taehyung tersenyum, "Tidak minat untuk ikut? Tidak merepotkan, kok. Ayo, naik saja." Taehyung menyodorkan helm, Yoonji pun reflek mengambil dan berdiri, masih memandang Taehyung bingung. Taehyung pun mengambil alih helm itu lagi, kemudian memakaikannya di kepala Yoonji. Matanya bertabrakan, Taehyung tersenyum kemudian, mempersilahkan Yoonji untuk menaiki motornya.

Yoonji hanya tersenyum kikuk. Ia menaiki motor dengan berucap kata-kata maaf karena dirinya telah merepotkan, dan hanya di balas dengan tidak apa-apa oleh Taehyung. Yoonji hanya merasa aneh, jantungnya tidak bisa di ajak kerja sama untuk kali ini. Awas saja sampai rumah, ia akan memarahi jantungnya sendiri.

"Rumahmu di mana?"

Pertanyaan tersebut membuyarkan lamunan Yoonji. Yoonji pun memajukan wajahnya, mendekatkan diri pada telinga Taehyung yang tertutup helm, "Jalan Angkasa nomor sepuluh, pak."

"Lho, rumahmu dekat dengan saya, ya?"

Yoonji terbelalak, "Bapak di mana?" Tanyanya kembali. Karena Yoonji bingung, selama ini tak ada kata-kata Taehyung di kehidupan lingkungannya yang padahal Taehyung benar-benar tampan dan —aish, kenapa tiba-tiba membahas sesuatu yang membuat jantung Yoonji kembali berdebar kencang?

"Jalan Angkasa juga, nomor dua puluh lima. Jadi tak apa kalau kau membonceng kepada saya, Yoonji."

Alis Yoonji mengkerut, mencoba memahami. Sepersekian detik kemudian, wajahnya di buat malu. Ia hanya terkekeh agar tidak canggung. Padahal, di dalam dadanya ada sesuatu yang memukul jantung Yoonji yang membuatnya semakin berdebar-debar tidak karuan. Yoonji kembali menarik kepalanya, takut nanti wajah kepiting rebusnya itu akan terlihat oleh Taehyung dari kaca spion.

Motor berhenti, menandakan saatnya Yoonji untuk turun. Yoonji menapakkan kakinya di aspal, melepas helm dan di berikan kepada pemiliknya kemudian. Yoonji tersenyum, mengucapkan terima kasih dan mendapat anggukan dari Taehyung yang kemudian membawa motornya pergi. Yoonji pun masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan bahagia dan tak sabar untuk memarahi jantungnya itu.

SynantitheiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang