I. Iben Al-fath

12 2 0
                                    

Diawal kisah, aku ceritain tentang Iben atau biasa disapa Ben. Latar belakangnya, kehidupan kecilnya dulu, bahkan beberapa ketegangan yang sering Ben ciptakan. Oke ... Kita mulai!

Iben Al-fath, tak heran nama itu disandingkan dengan pemuda pekerja keras, namun rajin beribadah. Ben dikenal teman-temannya seorang laki-laki yang memiliki ambisi besar dalam hidupnya. Terlahir dari keluarga sederhana, tak heran jika impian Ben sangat besar. Ayahnya hanya seorang petani dan ibunya pedagang jajanan anak sekolah.

Kisah Ben dimulai saat ia masih kecil. Terbilang masih balita, Ben sudah dikenalkan oleh orang tuanya dengan kendaraan. Tidak heran, kalau Ben sangat suka jika dibelikan mobilan. Sedari kecil, ia sangat suka perjalanan. Hanya perjalana. yang mampu membuat hatinya tenang. Baik disaat senang, sedih, atau pun marah ia selalu mengaitkannya dengan kuda besi.

Kelas 1 SD, tepatnya semester kedua ia mengalami kecelakaan parah. Ben ditabrak mobil yang membuat kaki kanannya patah. Wajah yang imut tercium aspal yang sangat panas sehingga terlihat jelas kulitnya melepuh. Orang tua Ben sangat mengkhawatirkan anaknya itu. Bahkan seorang guru, wali kelas Ben rela menunggu proses penanganan pertama Ben sampai malam tiba.

Kejadian itu membuat Ben semakin tidak bisa melupakan hal yang berbau mesin. Ia terus saja bermain dengan benda yang memiliki roda itu. Telah banyak kecelakaan yang Ben alami. Namun, tidak menimbulkan efek jera pada dirinya untuk tidak lagi berurusan dengan mesin.

Drrrtt...
"Siapa siii ... Masih ngantuk woii" Ketus Ben mengangkat telpon dari temannya.

"Woi woi, santai Ben. Liat jam berapa?" Rendi sahabatnya sejak kecil.

"Hah ... Ampun ren gua ngk tahu udah tengah malam gini" kaget melihat jam yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Bergegas ia mengeluarkan motor yang menjadi andalannya untuk balapan.

Ben dikenal jagonya dalam hal balapan liar motor rakitan. Ben biasa memakai motor 2 TAK. Sebuah motor ninja yang ia beli berkat kerja kerasnya sendiri menjadi kuli panggul tak menyurutkan semangatnya dalam mencapai prestasi. Namun, Ben biasa ikut balapan liar tengah malam. Walau sering ikut balapan liar namun Ben tidak mau taruhan apalagi seperti temannya yang ikut taruhan demi kencan dengan wanita malam.

Sejak SMP, Ben sering ikut balapan. Orang tuanya pun tahu kegiatan Ben. Namun, orang tua Ben jera menasehati anaknya yang selalu mau menang sendiri. Namun, disisi baiknya Ben selalu taat untuk ibadah. Meski dipandang rendah, tapi Ben rajin untuk beribadah. Terbukti saat adzan subuh, ia pamit dan meninggalkan temannya. Ada satu sahabatnya, Rendi yang selalu sejalan dengan pemikiran Ben.
"Ehh badak, lo matiin ntar motor lo seratus meter sebelum masjid," ucapan Ben mengenyuhkan Rendi.

"Iya tenang aja, gua gak lupa kok," jawab Rendi pelan. "Alahhh ... Pala lo gak lupa. Kemarin malem gua yang ditegur. Kan, malu," ketus Ben.

Mereka sudah mematikan motor sebelum seratus meter dari masjid. Rendi, sahabat karib Ben sejak kecil selalu sejalan pemikiran dengan Ben. Walau sering berantem layaknya anak kecil mereka selalu serasi. Bisa dibilang, seperti kakak-adik.

"Ren, kok gue ngantuk banget ya?" tanya Ben sambil melirik mata Rendi.

"Udah, lo tidur aja, Ben," saut Rendi.

"Woke. Awas kalo sampe gue lo tinggalin lagi, abis lo," teriak Ben.

"Santai bro ... Ini masjid, jangan keras-keras suaranya. Pake toa aja kalo mau," ledek Rendi.

"Ben udah siang woi. Bangun napa" teriak Rendi.

"Ren, gue ngantuk banget ...," celoteh Ben.

"Ya allah Ben, kita tuh sekolah, gila ..." lanjut Rendi dengan raut muka kesal.

"Bentar, gua mau ngumpulin nyawa," jawab Ben.

"Ampun Ben ... kita upacara hari ini. Mana mau try out," kesal Rendi menunggu Ben.

"Iya badak. Sabar dulu. Mau gue nabrak, hah?" jawab Ben sembrono.

"Ya janganlah. Ntar gua juga yang repot."
Tak lama Ben pun beranjak dari tidurnya di dasar sajadah panjang.

Drrttt... "Halo Ben. Lo kerjanya nyusahin mulu. Gua didepan rumah lo," oceh Rendi yang geram melihat kelakuan sahabatnya tiap pagi yang selalu telat.

"Iya sabar, napa. Gua lagi makan,"jawab Ben.

"Setan lo ya, udah setengah tujuh, biawak," frontal Rendi marah.

"Bun, berangkat ya," ucap Ben kepada ibunya.

"Iya, Nak. Jangan nyusahin Rendi terus. Kasihan dia," ibunya pun kesal melihat Ben.

"Iya, Bun. Terakhir ya nyusahin Rendi. Hahahahaha,"

Ben berpamitan menyisakan senyum di wajah ibunya yang geli melihat kelakuan putranya. Memang Ben nakal dan keras kepala tetapi anak itu tidak mau menyusahkan orang tuanya.

"Eh biawak, lo santai banget bawa motor," celoteh Rendi seakan mengingatkan Ben.

"Ayok balapan?" ajak Ben.

"Ayok, siapa takut," singkat Rendi.

Akhirnya, dua sahabat itu menarik gas kencang. Dari kejauhan terlihat seorang remaja perempuan yang mereka kenali. Rendi tidka mengjiraukan itu, namun Ben seakan peduli dan berhenti trpat di hadapan remaja perempuan itu.

"Yuk, naik? Udah telat kita," ucap Ben lembut.

Astaga, maskulin banget. Ucapan dia juga sopan. Memperlakukan seperti layaknya seorang gadis spesial. Padahal, badboy kelas atas ini suka ngeselin banget disekolah. Apalagi, kelakuannya yang suka bikin kelas ribut. " Ayok, Naik!" saut Ben melihat gadis itu melongo.

Clara Azzahra, gadis cantik, berkulit putih bersih tanpa bekas luka, berambut panjang semampai, dan berlatar belakang keluarga berkecukupan. Sungguh, jauh berbeda dengan Ben yang terbiasa hidup sederhana.

"Ara, pulang bareng yuk?" tanya Ben menatap dalam mata Ara.

Mana mungkin, gadis cantik itu mau pulang bersama Ben. Sedangkan, ia sering diantar jemput dengan mobil mewah ayahnya. Apa daya, Ben hanya bermodal motor biasa yang ia pakai balapan. Namun, kali ini berbeda. Ara mengiyakan untuk pulang bersama Ben.

Ara teringat dirumah tidak ada orang. Mungkin, hanya ada bibi dan mamang. Seorang pembantu dan penjaga kebun rumahnya yang sudah lama bekerja untuk keluarga Ara. Terlintas inisiatif Ben untuk mengajak Ara bermain di beberapa trmpat favoritnya.

"Ra, gak apa kan pulang sedikit malam?" tanya Ben bingung.

"Oiya, bagus itu. Lagian dirumah sepi. Mama pergi sama kakak. Ayah pulang malam," lanjut Ara membuka pembicaraan.

Setelah mendengar beberapa cerita Ara, tentu Ben semakin ciut mendengar keluarganya yang berkecukupan.

Akan kah, diriku di terima baik orang tua dan keluarga Ara? Sedang, diriku bagai semut dan Ara bagai kupu-kupu. Tapi, aku terlanjur mencintai Ara. Aku akan berusaha sekuat semampuku. Agar hatinya ku dapatkan.

             * * *

Cintaku Menolak LupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang