Epilog 1

32 2 0
                                    

Cinta perlahan datang kemudian pergi, itu hal biasa. Namun tidak dengan 'perasaan' tak kunjung pudar satu ini.

Rasa yang bersemayam di hati, sama halnya dengan jiwa beserta raganya ini yang diisi olehnya. Aku sadar, bahwa tidak ada artinya untuk hidup untuk terlalu lama. Namun, aku tidak suka sama sekali untuk jadi tumbuh dewasa.

***

Aku dikenal sebagai anak yang pemberani. Keberaniannya diibaratkan seluas samudera, beserta ombak yang menyertainya. Namun, kita tidak pernah tau kapan ombak itu akan pecah jika menabrak batuan karang yang ada di pesisir.

Entah bagaimana jika permohonanku dikabulkan. Tapi, aku sudah paham betul dengan apa yang kuinginkan.

Kemungkinan paling buruk bisa saja terjadi. Apakah selama ini aku telah dibodohi oleh pikiran dan imajinasiku sendiri? Tumbuh dan menjadi dewasa juga tidak seburuk yang terlihat, kok. Tapi kenapa? Apakah selama ini aku telah terperangkap dalam sebuah perkara tanpa adanya sama sekali petunjuk? Mungkin saja, aku akan mendapati sebuah hukuman karena telah meragukan hukum alam.

Semacam perasaan takut ditinggalkan. Aku lebih memilih untuk jadi yang pertama meninggalkan. Kenyataannya, ini sulit. Bukan lagi rasa yang terjebak di dalam tubuh dan pikiranku. Justru, tubuh dan pikiran inilah yang sekarang terjebak dalam sebuah perasaan itu sendiri.

Kira-kira, apa yang membuat ini semua tampak begitu sulit? Dalam cerita novel, atau film mana pun selalu dikatakan agar untuk tidak memendam keinginan, perasaan, bahkan apapun itu.

Layaknya mentari yang terbit dan tenggelam. Untuk yang terakhir kalinya, katakan lagi padaku. Kenapa perasaan ini masih juga ku simpan?

Ah, tidak. Kenapa juga perasaan ini masih pula ku simpan?

Kata-kata yang tersembunyikan di balik awan. Ringan tak berbekas, melepas rasa pantas.
Mengiringi raungan hati. Malam itu pun aliran suhu serasa menggerakkan batin. Semangat, suara hati berirama dan menggebu. Tak sabar menanti hari esok.
Hari-hari yang seakan tiada akhir ini, bukanlah sebuah kutukan. Melainkan sebuah kesempatan.

Kusiapkan rangkaian bunga dan kata-kata terakhir disisipkan di dalamnya. Ku tarik kembali kata-kataku mengenai tak bermaknanya "karunia" agung dari Yang Maha Kuasa.

Bagaimana bisa, bukan hanya perasaan yang tersimpan dari dalam diriku selama ini. Namun juga kebodohan terselip di dalamnya.

Sungguh sangat kejam, untuk hidup dalam keabadian. Pada akhirnya pun, dapat kuungkapkan.

,


Aku mencintaimu.
Kamu, yang tanpa kusadari telah menjadi debu yang bahagia. :)

EpilogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang