Aisyah Windari Lubna.
——————
Aku menyukainya. Tapi yang aku tahu dia bahkan tidak menyukaiku. Tidak akan pernah. Dibalik buku tebal aku selalu melihatnya, dari tempat yang begitu jauh aku memperhatikannya. Terus seperti itu hingga beberapa tahun terakhir.
Namaku Aisyah. Lebih tepatnya Aisyah Windari Lubna. Aku dikenal sebagai sosok yang pendiam, tidak banyak bicara, tidak banyak bergaul, temanku bahkan hanya itu-itu saja sedari kecil. Cukup memprihatinkan memang. Tapi percayalah, sebenarnya aku ingin bergaul san berinteraksi dengan banyak orang. Tapi aku memiliki tingkat percaya diri dibawah rata-rata.
"Aisyah...". Panggil Umi dari arah dapur. Aku sedang ada didepan sambil menjaga ponakan ku yang masih asyik bermain lego. Umurnya dua tahun.
"Ada apa Umi ?".
"Anterin ini ke rumahnya Bu Rusmi ya".
Aku diam. Sebenarnya aku mau-mau saja di suruh kemanapun oleh Umi ku. Asal jangan ke rumah Bu Rusmi. "Heh! Kok malah bengong".
"Astagfirullah...". Aku kaget. "Eh.. I-iya. Aisyah anterin". Dan aku tidak punya alasan untuk menolak.
"Zahira biar sama Umi".
"Iya Umi".
Kini rantang yang berisi entah apa itu sudah pindah ke tanganku. Aroma masakan khas Umi tercium oleh hidungku. Wangi dan menggugah selera. Ahh... Jadi laperkan.
Alasan kenapa aku tidak mau ke rumah Bu Rusmi adalah anaknya. Pria dengan tinggi yang jauh diatasku itu adalah seseorang yang selama ini menjadi aminku. Seseorang yang slalu memenuhi segala semogaku. Dan seseorang yang slalu menjadi penyebab aku seringkali mengucap istigfar karena keseringan mengingatnya.
Biar ku ceritakan sedikit mengenai pria tinggi itu. Namanya Iran Al Rafif. Rambut nya lurus dengan tatanan yang selalu terlihat rapi, tatapan nya sedikit tajam dengan garis matanya yang agak sipit, kulitnya putih bersih, dan dari cerita orang yang sering kudengar pria itu juga sedikit bicara. Bukan sombong tapi ku pikir sifatnya hampir mirip denganku.
Ku kayuh sepeda dengan kecepatan sedang. Di jalan berbagai pikiran mulai bermunculan.
Bagaimana kalau nanti aku bertemu dengan nya ?
Bagaimana kalau nanti yang ada dirumah hanya dia ?
Bagaimana kalau nanti tiba-tiba saja dia mengajak ku mengobrol ?
Aku harus apa ? Harus bagaimana ?
Aisyah.. Apa yang kamu harapkan ? Bertemu dan bicara banyak hal dengannya ?
Jangan mimpi!
Hembusan nafas pelan keluar dari bibirku. Menatap jalanan batu yang membawaku menuju kerumah Bu Rusmi. Jarak rumah nya tidak terlalu jauh dari lingkungan rumahku. Makanya aku lebih suka naik sepeda.
Mataku mengerjap pelan sembari terus memperhatikan bahwa apa yang ku lihat sekarang hanyalah angan. Tapi semakin dekat jarak ku, semakin nyata pula bahwa itu adalah pria yang tadi sempat ku ceritakan.
Iran Al Rafif.
Hal paling sulit yang kulakukan adalah mencoba berusaha untuk tetap terlihat tenang. Ketahuilah bahwa sekarang suhu tubuhku pun terasa sangat dingin. Tangan ku berkeringat basah. Ahh.. Aku gugup sekali ternyata. Gugup saat bahkan dirinya belum melihat ke arahku sejak satu menit yang lalu aku tiba di halaman rumahnya.
"Assalamualaikum". Sapaku.
Iran menoleh ke arahku dengan wajah sedikit kaget. Sepertinya ia memang tidak menyadari keberadaanku. "Waalaikumsalam". Kulihatnya ia berdiri dari gazebo itu dan menutup buku yang membuatnya lupa akan sekeliling.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semoga
Ficción General"Kamu tidak akan pernah tahu. Bagaimana terluka nya Amin-ku saat ku hapus paksa nama mu dari doaku". -Aisyah Windari Lubna.