Verse 002: Latibule

25 6 0
                                    

(n

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(n.) a hiding place; a place of safety and comfort
[ Play music for fhe best  reading experience ]

November 13 2016

Hanin tidak bisa melepaskan pandangan kalutnya pada kumpulan lembar kertas di pangkuannya. Kedua tangannya tanpa sadar mengusap cover buku berbahan buffalo dengan rasa tidak nyaman. Pikirannya berkecamuk mendengarkan suara-suara yang tidak henti muncul membahas bertapa bodoh dirinya hari ini.

"Padahal kamu sudah sangat rajin ya mengikuti essay ekonomi bahkan proposal kerja mahasiswa kamu juga diterima dikti tapi saya heran, kenapa skipsimu jelek begini?".

"Data yang kamu hadirkan tidak berdasarkan sumber, saya yakin ini hanya hasil comot dari googling. Beberapa data yang penting malah tidak kamu cantumkan".

Kritikan yang diterima Hanin hari ini cukup membuatnya shock. Tidak ada yang salah dengan dosen yang berusaha mengukur tingkat intelegensinya. Ia berusaha memahami hal tersebut, sayangnya ia merasa berkecil hati. Selama ini Hanin terkenal dengan kemampuannya integensinya yang baik. Namun saat sidang ia digempur oleh dosen penguji membuatnya kehilangan kepercayaan dan benar saja ada hal tertinggal yang tidak disadari.

Dari dalam tasnya, ponselnya bergetar. Dengan rasa malas yang besar ia mengambil ponsel tersebut. Layar hitam yang kini bercahaya itu menampakan idname penelponnya. Bos Besar dengan emoticon love merah. Ia menutup matanya menghela napas kemudian ia membuka mata saat ponsel itu masih bordering. Jemarinya ragu menekan ikon telpon berwarna hijau untuk menerima panggilan tersebut. Sampai ponsel itu kembali hitam.

Hanin mendengus memasukan ponselnya ke dalam tas kemudian berdiri mengamit skipsi besarnya. Mungkin sekarang ini bisa menghindari Bapak namun akan sulit menghindari semua keluarganya di rumah dengan runtutan pertanyaan mengenai sidangnya yang gagal. Setidaknya ia perlu waktu sendiri untuk merutuki nasibnya hari ini.

Langit nampak begitu cerah berawan namun matahari masih kuat untuk menyinari bagian siang dengan terik yang membakar kulit. Kampus nampak sepi di waktu siang sepertinya jelas sekali bahwa banyak mahasiswa tingkat bawah sedang masuk ke dalam kelas mendengarkan ceramah dosen. Hawa panas menyengat kulit kuning langsat Hanin yang gampang berubah menjadi sedikit kegelapan saat ia berjalan menuju tempat parkir. Tapi ia sedang tidak perduli dengan kulitnya, ia hanya berharap ada peristiwa apa yang bisa mengalihkan orang-orang rumah tentang pembicaraan mengenai sidang yang gagal.

"Bapak tunggu daritadi lo nduk, kenapa nggak diangkat telpon bapak?" suara berat dengan nada hangat yang didengar Hanin sontak membuat Hanin menatap Bapak yang sedang berdiri disamping mobilnya dengan senyuman lebar dibawah kumisnya membuat Hanin sedikit mengilu mengenai fakta anak gadisnya gagal sidang.

"Bapak?!" seru Hanin berjalan cepat menghampiri Bapak yang segera mengambil skipsinya membiarkan tangan Hanin tidak keberatan membawa buku berat.

"Bapak datang sendiri lo kesini nggak pake mobil bapak naik bus biar bisa naik mobil sama kamu. Ibu dirumah nungguin kita pulang. Ibumu itu sudah masak banyak lo semuanya lauk kesukaan kamu" kata bapak menceritakan muasalnya ia datang sendiri ke kampus Hanin.

MEMO[RY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang