awal dari sebuah akhir

32 3 1
                                    

Nama : Phoebereus
Kelas  : IX-E
Absen : 10


SAMPUL

Namanya Gadis, makhluk kecil ciptaan Tuhan yang sudah beranjak dewasa.
Kakinya sudah siap melangkah ke salah satu perguruan tinggi favorit di negeri ini.

Tubuhnya mungkin pendek, namun mimpinya menjulang tinggi ke angkasa. Ia berteman baik dengan semesta, tempat dimana Gadis bisa menitipkan semua angannya.

Tubuh gempal Gadis sudah mantap untuk memasuki babak kehidupan barunya. Ruang kecil di otaknya kini menjerit-jerit meminta diisi oleh hal baru.

"Kamu, mahasiswa baru kedokteran?" sepasang mata itu menatap Gadis dengan angkuh.

"Iya kak."

"Yakin?" tatapannya semakin angkuh. Alis tebalnya terangkat sebelah, menandakan bahwa ia sedang ragu.

Sekali lagi, Gadis menjawabnya dengan yakin, "Iya!"

Perempuan bertubuh semampai itu pergi begitu saja. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Gadis bergegas duduk di barisan terdepan. Tempat yang menurutnya paling strategis.

"Kayaknya yang laki-laki semangat banget niih ... nge-ospek-in MaBa kedokteran." Cekikikan para mahasiswa putri terdengar begitu nyaring.

"Iya doong ... anak kedokteran 'kan biasanya cantik-cantik!"

"Emmm ... kayaknya aku engga setuju deh." Ucap salah satu perempuan berkacamata.

Tanpa aba-aba, semua pasang mata terarah pada Gadis.

Yang menjadi pusat perhatian hanya bisa terdiam.
Dalam hatinya ia protes.

Apa salahnya menjadi tidak cantik? Seingatku, cantik tak pernah menjadi syarat untuk memasuki fakultas ini.

. . .

Genap satu tahun Gadis menuntut ilmu di tempat ini.

Kemampuan belajarnya semakin meningkat.
Namun, kemampuan bersosialisasinya menurun drastis.

Tak ada seorang pun yang mau berteman dengannya.
Gadis sangat penasaran, mungkinkah ini hanya karena kekurangan fisiknya?

"Menurut kamu, cantik itu bagaimana sih?" rasa penasaran nya tak dapat lagi di bendung, Gadis memutuskan bertanya kepada mahasisiwa kedokteran lainnya.

"Kamu tahu kak Natasha?" Gadis menjawabnya dengan anggukan singkat.

"Kulitnya putih, mulus, rambutnya panjang, tubuhnya tinggi, ramping. Pokonya sempurna deh!" lanjut perempuan itu berapi-api.

Gadis sadar, tubuhnya sangat bertolak belakang dengan apa yang disebutkan perempuan tadi. Tapi, Gadis tetap berusaha untuk berfikiran positif.

Ah, mungkin aku saja yang terlalu asyik sendiri.

Gumam Gadis.
Ia yakin, bahwa dunia tak sekejam itu.

"Kalian mau masuk kelas 'kan? Boleh gabung?" tak lupa
memberikan senyum terbaiknya, Gadis mencoba untuk lebih terbuka.

Yang ditanya hanya terdiam, memasang wajah penuh keraguan.

"Kamu yakin mau jalan sama dia? Apa kata orang kalau kamu ketahuan jalan sama makhluk ini?!" tanpa di sadari, bisikan itu terdengar sangat jelas di telinga Gadis.

Mengapa kini visual menjadi suatu hal yang sangat penting?

Gadis hanya bisa berdebat dengan hatinya.

Tunggu!

Langkah Gadis otomatis terhenti, otaknya mendadak berputar begitu cepat.

Seingatnya, ia tak pernah ikut andil dalam membangun kontruksi cantik di negerinya ini. Lalu mengapa, ia harus dengan sukarela mengikuti suara kaum mayoritas?

Aku harus berubah!

Gadis membulatkan tekadnya.
Ia tak ingin dipandang sebelah mata oleh orang-orang.

Semua prestasi nya seolah tak bernilai, tak pernah di hargai sedikitpun, dan dengan mudah di kalahkan oleh para barisan makhluk visual.

Berbulan-bulan, Gadis berolahraga tanpa henti, ia juga mencoba berbagai macam produk kecantikan.

Namun, kini semesta sedang tak berpihak padanya.

Bukannya bertambah cantik seperti kata orang, tubuhnya malah jatuh sakit, timbul beberapa jerawat di wajahnya.

Bulan,
julukan baru untuk Gadis karena wajahnya yang tidak rata. Dipenuhi bintik bintik merah yang mengganggu.

Gadis sadar, ia tak boleh mudah termakan omongan orang, ia harus lebih bersyukur atas apa yang ia punya. Gadis tak boleh lemah atas atas cobaan ini.

Ya, dirinya harus bisa menjadi pribadi yang lebih kuat.

Gadis ingat, balas dendam terbaik adalah meningkatkan kualitas diri.

Gadis semakin bersungguh-sungguh dalam belajar. Semakin hari, percaya dirinya semakin meningkat. Kini, Gadis sudah memiliki teman, walaupun jumlahnya masih bisa di hitung jari.

Ingatlah, dunia memang kejam. Tapi, masih banyak orang baik di dalamnya.

Tak perlu berusaha agar dicintai semua orang, setidaknya masih ada satu orang yang begitu mencintaimu di dunia ini, yaitu, dirimu sendiri.

Lagi pula, buku yang indah tak selalu memiliki sampul yang menarik, 'kan?

SampulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang