[KASIH TERUNGKAP]

91 8 0
                                    

Aku menyusuri jalanan ramai itu bahkan hingga ke daerah-daerah yang tak berpenghuni sama sekali. Pencarianku masih untuk Manda dan aku pastikan kala itu bahwa aku tidak akan kalah lagi. Sudah cukup rasanya tersakiti, aku benar-benar tidak mampu menahan amarah yang menguasai diriku. Tanganku membengkak setelah beberapa minggu aku melampiaskan kemarahanku pada benda-benda keras yang ada di sekitar. Aku berteriak keras dengan peluh yang kembali hadir. Tanganku tak pernah berhenti terkepal tiap kali aku membayangkan wajah para penjahat itu. Mereka bukan hanya menyakitiku tapi yang lebih memilukan adalah perlakuan mereka terhadap Manda.

"Abaaang Alam." Panggilan itu membuatku menghentikan langkah.

"Janna?" Aku bersuara dalam hati.
Janna pun tersenyum bahagia dan ia segera menghampiriku, "akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku selalu mencari Abang. Ada hal penting yang harus aku sampaikan." Janna menyerahkan tulisan itu kepadaku. Aku hanya terdiam menatap wajah gadis kecil itu. "Ini tentang ibuku." Tulisnya kembali.

Membaca kalimat itu aku mengalihkan pandanganku dari Janna. Entahlah, rasanya sudah tidak berminat mengetahui apa saja yang berkaitan dengan Ibu.

"Ayo kita duduk dulu, Bang."

Mungkin hatiku yang sudah sangat sakit sehingga rasanya sulit untuk berbesar hati atas apa yang Ibu lakukan kepadaku. Aku menolak Janna namun masih tanpa suara. Gadis itu sepertinya belum mengetahui bahwa aku sudah bisa mendengar dan berbicara. Saat aku ingin melangkah pergi darinya, ia segera menghalangiku dan memintaku agar tetap bersamanya saat itu.

"Maaf Janna. Aku akan mendengar semua ceritamu asalkan itu bukan tentang ibumu. Sebab, aku sangat kecewa mendengar kata Ibu. Aku harap kamu bisa memahaminya." Ucapku perlahan.

Mata Janna terbuka lebar setelah mendengar suaraku.

"Abang Alam?"

"Iya, ini nyata. Aku sudah bisa mendengar dan berbicara."

"Abang Alam bisa mendengarku?"

"Cerita tentang Ibu atau aku pergi?" tanyaku padanya yang masih bersama sorot mata tak menyangka. Tapi aku tahu ia pun juga berbahagia setelah mengetahui kondisi baikku.

"Tolong dengarkan aku, Bang. Ibu itu..."

"Baiklah, aku pergi." Aku kembali memulai langkah.

"Karena ibuku adalah Ibu kandung Abang Alam. Aku yakin Abang tahu tentang itu." Ucapan dari Janna membuat aku harus menghentikan langkah kembali dan menoleh padanya.

"Aku tahu Abang kecewa dengan Ibu."

"Lebih dari kecewa, Janna! Jadi aku harap kamu tidak berbicara mengenai Ibu lagi atau kamu jangan menemuiku lagi!"

"Tapi itu Ibu kandung Abang."

"Aku tidak peduli. Bagiku, aku tidak punya Ibu!"

"Abaaang." Janna pun semakin mendekat.

"Berhenti memaksaku untuk mendengarkanmu, Janna. Aku..."

"Malam itu, sudah pasti Abang melihat foto Ibu dalam pelukanku, Abang merasa Ibu sudah membuang Abang dengan sengaja dan memilih kehidupan yang lebih baik. Iya, kan?" potong Janna.

Alamanda (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang