[BERTEMAN PILU]

162 9 0
                                    

Pagi adalah awal baru lagi untukku. Cuaca dingin bekas malam masih melekat erat di sekujur tubuh. Jalanan kota selalu ramai, berisik, seolah seperti makhluk yang sedang meronta-ronta menahan sakit. Ternyata kota itu bernasib sama sepertiku; cukup menyedihkan. Aku mulai melangkah perlahan hanya bertelanjang kaki karena sepatu kesayangan yang pernah kutemukan di kantong sampah sudah benar-benar rusak. Sudah sangat tidak layak untuk terus digunakan. Rambutku kian gondrong berantakan, bajuku pun semakin usang. Langkah terus tercipta meski tak tahu harus pergi ke mana. Lalu, aku berhenti sambil menatap langit kemudian tersenyum perlahan. Langit mulai menghitam, hujan sepertinya akan turun waktu itu. Aku sangat tidak sabar menunggu kehadiran satu-satunya hal yang membuatku sejuk dan dimengerti. Benar saja, air hujan pun mulai turun ke bumi dan membasahi jalanan kota. Saat manusia lain bergegas untuk mencari tempat berteduh namun aku dengan riang menari sambil tertawa lepas menikmati itu. Begitu banyak manusia yang menatap erat ke arahku dan melihatku seperti orang aneh dan mungkin semuanya menganggap bahwa aku adalah orang gila. Hujan semakin deras membuat tubuhku basah kuyup. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi di hari ke depan. Aku sakit atau bahkan aku mati.

Berjam-jam aku berteman hujan, berlari kencang hingga menghentikan langkah dan berlari kencang kembali. Begitu saja yang kulakukan dan terjadi berulang kali. Lalu tiba-tiba dari kejauhan aku melihat seorang anak perempuan sedang berteduh ketakutan di bawah pohon besar sambil menggenggam erat roti yang tak kunjung dimakannya. Perlahan, langkah kuciptakan mendekatinya dengan keadaan diri yang selalu terlihat berantakan. Tak berapa lama kemudian aku dan ia berdiri bersebelahan, tubuhnya yang mungil membuat dirinya mengangkat wajah untuk menatapku karena perawakanku lebih tinggi. Entah, aku juga tidak tahu mengapa harus berdiri di dekatnya. Padahal aku membenci manusia, tapi sungguh, aku merasa ada yang lain dari anak kecil tersebut. Dengan senyuman ia menyodorkan rotinya kepadaku. Wajahnya cantik dan juga manis. Detik itu aku percaya, ternyata masih ada seseorang yang menganggapku seperti manusia, bukan seperti sampah dunia. Saat itu aku tersadar bahwa ia telah mengatakan sesuatu dan tentu aku tidak mampu untuk mendengarnya. Lalu ia kembali menyodorkan rotinya sehingga membuatku segera menerima pemberiannya. Tanpa pikir panjang, aku langsung melahap roti itu. Jika sebelumnya aku hanya mampu makan dari hasil pencarianku di tempat sampah, namun di hari itu aku mendapatkan makanan yang luar biasa; roti dengan selai keju.

Aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Hari ketika aku merasa bahwa dunia tak seburuk yang aku kira. Anak itu tersenyum melihatku yang sudah seperti orang belum makan selama setahun lebih. Sungguh lucu lekuk pada bibir tipisnya. Dan lagi, ia nampaknya kembali mengucapkan kata-kata. Andai aku bisa mendengarnya, mungkin kalimat yang keluar dari mulutnya adalah hal yang begitu lembut. Aku terlena dalam kenikmatan roti keju yang dapat kugigit beberapa kali lagi. Namun aku langsung berhenti mengunyah setelah anak kecil itu menulis sesuatu di atas tanah.

"Namaku, Janna." Ia mengulurkan tangan kecilnya itu, "Abang siapa?"

Aku menatapnya dan dengan gemetar tanganku ikut menulis di sampingnya, "Alam," ternyata balasan dariku membuat senyumnya semakin ceria.

"Rumahku ga jauh kok dari sini, tadi aku beli roti itu di toko langganan tapi pas mau pulang malah kehujanan. Rumah Abang di mana?" tulisnya dengan polos.

Ternyata ia belum bisa memperkirakan bahwa gelandangan sepertiku hanya memiliki tanah sebagai alas dan langit sebagai atap. Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepala dan ia pun menulis lagi, "mau ikut ke rumahku?"

Pertanyaan yang semakin mengunciku. Bagaimana mungkin aku bisa mengikuti anak kecil itu karena aku tentu akan menjadi benalu untuknya.

Alamanda (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang