[CERITA PUTRI SENO]

119 5 1
                                    

[SUARA DARI MANDA]

Medan, 2020.

Aku, Manda Permata Putri Seno. Aku lahir di Jakarta, 11 Januari 1982. Ketika masih balita, aku nyaris dijual oleh ayahku kepada salah satu kerabatnya yang belum memiliki anak. Tapi, karena perlawanan luar biasa dari Ibu, akhirnya rencana Ayah dapat digagalkan.
Seperti Alam, aku pun menuliskan kisah yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidup. Air mataku masih sering menetes jika aku mengingat kejadian itu. Dada selalu sesak jika terlintas setiap peristiwa-peristiwa pedih itu. Seno adalah nama ayahku. Benar sekali apa yang pernah dituliskan oleh Alam; Ayah bukanlah sosok pelindungku. Bukan sosok yang mencintaiku. Mungkin lebih tepat ia adalah musuh terbesarku di dunia ini. Aku tidak mampu mengingat banyak hal tentang kehidupan masa kecilku. Tapi peristiwa mengerikan yang pertama adalah di saat aku berusia 14 tahun. Aku dipaksa menjadi seorang pelacur.

Jakarta, 1996.

Saat itu aku sudah duduk di bangku kelas 2 SMP. Dengan ceria aku melangkahkan kaki penuh tawa untuk segera pulang ke rumah. Seperti biasa, setelah aku pulang sekolah, Ibu sudah menyiapkan makan siang kesukaanku. Namun sayangnya hari itu berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Sebelum aku masuk ke dalam rumah, aku terpaksa harus menghentikan langkah tepat di depan pintu. Pertengkaran kembali terjadi antara Ayah dan ibuku. Sebenarnya mereka sering bertengkar tapi di detik itu nampaknya pertengkaran tercipta semakin hebat. Tubuhku gemetar takut saat tidak sengaja melihat ibuku terluka akibat pukulan Ayah. Aku hanya mampu terdiam hingga pada akhirnya Ayah mengakhiri pukulannya lalu pergi untuk keluar rumah dan ia sengaja memperlambat langkahnya setelah menyadari bahwa aku sudah tiba di rumah.

"Kau liat semua kejadian tadi?" tanya Ayah dengan suara yang cukup keras.

Aku terdiam tak mampu menjawab pertanyaannya. Aku sangat takut jika Ayah melakukan hal serupa seperti apa yang sudah ia perbuat kepada Ibu.

"Kau sama seperti ibumu. Tak berguna!" kembali ia mengeluarkan kata-kata, "minggir kau." Ayah pun sengaja menabrak tubuhku kemudian pergi tanpa memedulikan keadaanku yang tersungkur cukup keras.

Aku bangkit dan segera masuk ke dalam rumah, "Ibuuuuuu," Aku segera memeluk Ibu. Meski bibirnya tersenyum manis, tapi air mata masih mengalir cukup deras di kedua pipinya, "jangan nangis." Aku menghapus air mata Ibu. Walau aku tidak dipukul Ayah tapi aku ikut merasakan kesakitan itu.

"Kamu udah pulang sekolah?" tanya Ibu yang seolah ingin membuatku menghapus keresahan. Aku paham Ibu tidak ingin aku memikirkan apa yang sudah terjadi di depan mataku.

"Maaf, Bu. Manda tidak bisa melindungi Ibu." Aku menatap wajah Ibu yang lebam itu.

"Tidak, Nak. Ibu baik-baik saja kok. Ayo buruan kamu makan. Ibu sudah menyiapkan makanan sehat untuk kamu." Ibu pun menuntun langkahku menuju meja makan.

Setelah selesai makan siang, aku pun masuk ke dalam kamar kecilku untuk istirahat sejenak. Namun, setelah baru saja aku menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur, aku mendengar suara pintu rumah yang sengaja dibuka menggunakan tendangan kaki. Aku gagal memejamkan mata dan segera mengintip dari balik pintu kamar. Ayah kembali dengan wajah kusutnya untuk menemui Ibu.

"Aku perlu uang sekarang juga!"

"Bang, aku sudah tak punya uang. Semua uang hanya kau habiskan untuk hal yang sama sekali tak bermanfaat. Kau carilah uang sendiri!" jawab Ibu. Mungkin tidak selamanya Ibu bisa sabar untuk menghadapi betapa kerasnya ayahku.

Alamanda (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang