Mg; 16

229 45 5
                                    

ma• ngata /mangata/ n bayangan bulan di air yang berbentuk seperti jalan.

; Hitam dalam putih, noda dalam kanvas, jika hanya dibuat sebuah titik akan menjadi dosa namun jika dibuat sebuah perpaduan ragam bentuk pun warna akan mengundang surga.

Aku tak tahu ke mana tujuan kami, masih berusaha mengendalikan emosi, sepanjang jalan tak ada yang berucap satu kata pun termasuk supir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tak tahu ke mana tujuan kami, masih berusaha mengendalikan emosi, sepanjang jalan tak ada yang berucap satu kata pun termasuk supir. El sudah berhenti menangis, wajahnya menatap jalan melalui jendela. Setelah waktu yang dihabiskan, kami sampai di sebuah rumah atau mungkin villa. El dan aku masuk ke dalam, sementara para anak buah Kaka Rei sebagian menunggu di dekat villa sebagian lagi di depan gerbang.

"Tuan Rei,"

Salah satu anak buah Kaka Rei memberikan HPnya kepada ku, El sendiri tak banyak bicara dan memilih duduk di ruang tengah.

"Halo, Rei?"
"Aku tadi minta kalian dibawa ke Villa keluarga ku, kalau pulang ke kosan atau rumah kalian takutnya masih ada yang ngikutin."
"Makasih banget Rei,"
"Iyah Vey, kalian nginep dulu aja di sana, besok aku nyusul. Villa yang kalian datangin jarang dipake, kalian bisa istirahat. El... baik-baik aja, kan?"
"Um, entahlah, semoga iya."
"Ya Tuhan, drama apa lagi sih yang nimpa anak semester akhir? Nunggu sidang aja udah deg-degan, nambah lagi masalah baru."
"Aku juga gak tau, habis ini aku mau ngobrol sama dia."
"Ngomong baik-baik ya Vey, pasti El masih shock."
"Iyah Rei, makasih."
"Ok, titip salam buat El. Jangan lupa kalian istirahat, kalau butuh apa-apa, pengawal di sana bisa kalian mintain tolong."
"Siap Rei,"

HP telah ku kembalikan, El dan aku masih diam dalam keheningan. Tak satu pun ada yang memulai pembicaraan, sementara menit berlalu, El malah meninggalkan ku menuju salah satu kamar. Aku mengekor, ku tarik lengan kanannya hingga kami saling berhadapan.

"Kamu hutang penjelasan sama aku,"

Dibalik sorot mata yang menodong jawaban, El kembali terdiam, dia tak berusaha melepaskan tangan ku atau melangkah lebih dekat dengan kasur.

"El, jawab."

Semakin lama, diamnya El hanya membuat ku kian frustasi, dia tak menatap ku, jiwanya seperti kosong pergi entah kemana.

"Ada apa sih, El? Bener apa yang aku lihat? Kamu sengaja El? Hm?"
"Apa?"
"Apa?!"
"Kalau apa yang kamu lihat bener, gimana?"
"Maksud kamu?"
"Aku sangat berterimakasih sama kamu yang selalu datang di waktu yang tepat tapi kamu bikin aku makin bingung, Vey."
"Apa? Aku gak ngerti."
"Bisa gak kamu konsisten sama sikap kamu? Aku gak mau Vey kalau harus mulai semuanya dari awal, aku udah muak."

Ahh~ ini tentang El yang enggan memaafkan ku, bukan?

"Salah ya aku bantuin kamu?"
"Kenapa kamu masih peduli sama aku? Jangan ngambil sampah yang udah kamu buang Vey, gak baik."
"Kalau gitu harusnya kamu yang berhenti ngelakuin hal-hal yang bisa bikin aku khawatir. Kamu sendiri gak bisa jaga diri kamu, tapi tetep arogan gak mau terima bantuan aku. Coba kalau kamu gak ke hotel, kamu gak ke club, aku juga gak akan peduliin kamu."
"Urusan kamu memang? Pernah aku larang kamu pergi ke club atau hotel? Enggak kan? Kita harusnya tahu batas masing-masing."
"Apa sih yang ada di otak kamu, El? Kenapa kamu jadi kayak gini? Berapa yang kamu butuhin, eh?"
"Jaga mulut kamu!"
"Bukannya kamu sendiri yang bilang apa yang aku pikir bener? Kalau gitu kenapa kamu gak jual diri ke aku lebih dulu? Aku bayar El! Aku bisa kasih semua yang kamu mau, kamu gak perlu lelaki brengsek macem tadi."

MangataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang