Mg; 08

212 47 4
                                    

ma• ngata /mangata/ n bayangan bulan di air yang berbentuk seperti jalan.

; Bahagia ku hanya dengan keberadaan kamu, walau hanya mata yang dapat melihat aku tak pernah risau akan jarak yang membentang.

Kami terengah-engah, nafas tak beraturan, degup jantung yang berdetak bak pacuan kuda, membuat sempurna malam menegangkan dengan belasan orang yang masih berusaha menemukan aku juga El

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami terengah-engah, nafas tak beraturan, degup jantung yang berdetak bak pacuan kuda, membuat sempurna malam menegangkan dengan belasan orang yang masih berusaha menemukan aku juga El. Terjebak di tempat kumuh dan jajaran rumah padat penduduk, sejak tadi bau tak sedap aliran sungai tercemar menghiasi indra penciuman. Meski bukan saatnya untuk mengeluh, tapi tetap saja rasanya sangat tidak nyaman.

Sepanjang ku lihat tak ada jalan keluar, kami terjebak sementara pagi masih lama menjelang. Jika berdiam lama di gang ini, maka dapat dipastikan cepat atau lambat mereka akan menemukan kami.

"Vey, kamu ke arah kanan aku ke arah kiri."
"Apa?"
"Gak ada jalan lain, seengaknya salah satu dari kita harus selamat."
"Enggak ya El, udah cukup buat aku mati-matian usaha buat ketemu kamu. Aku gak mau sampe kita pisah lagi."
"Apa?"
"Pokoknya kita bakal tetep bareng dan kita pasti selamat."
"Harvey,"
"Aku gak akan ngelepas kamu El, maaf."

Sebetulnya ucapan ku lebih terdengar seperti bunuh diri, karena saran yang El beri jauh lebih masuk akal. Tapi, menimbang resiko di antara kami, aku akan seratus kali lipat lebih menyesal jika El sampai tertangkap. Mungkin sampai mati pun aku akan tetap menyesal.

"Sstt!"

Baik aku atau El saling menatap bingung, kami jelas mendengar suara seseorang tapi tak ada siapa pun yang nampak.

"Aku gak tau,"

Jawab ku dengan todongan pertanyaan El dari tatapannya.

"Sstt!"

Suaranya semakin nyaring, tak mungkin bukan jika hanya ulah usil seseorang? Apa dia tak keterlaluan menambah beban kami di malam ini jika memang berniat buruk? Atau justru bukan manusia yang sedang mencoba menganggu kami? Tapi... di ujung sana, dari arah barat ku lihat seseorang melambai khawatir. Sesekali dia bersembunyi di balik tembok kemudian muncul kembali dan mengisyaratkan kami untuk mendekat.

"Siapa Vey?"
"Gak tau El,"
"Kalau dia masih anak buah yang tadi gimana?"
"Tapi dia gak pake jas,"
"Kan siapa tau?"
"Tapi kita juga gak punya jalan lain,"
"Gimana dong?"
"Aku bakal lindungin kamu, aku janji."
"Bukan masalah aku! Tapi lihat tuh wajah kamu, udah babak belur juga."
"Ahh~ aku gak apa-apa, ayo El, kita gak punya pilihan. Lagian kalau dia nipu, aku masih bisa kok hadepin dia."
"Jangan gegabah Vey,"
"Serius El,"

Kami jalan saling berpegangan, aku lebih dulu melangkah sementara El berada di belakang.

"Sini!"

Ucap lelaki tadi, dia memakai kaos dengan robekan dibeberapa bagian. Aku tak bisa menganalisis apa pun, ku harap dia berniat untuk membantu. Berjalan tak jauh dari tempat tadi, kami sampai di rumah kecil dengan lantai dua dan dua tangga di luar ruangan.

"Masuk, masuk."

El masih dalam dekapan ku, setelah mencoba mengamati dan yakin tempat ini aman, aku juga El masuk ke dalamnya.

"Jangan berisik, mereka mungkin masih nyari kalian sampai subuh nanti."

Benar saja, firasat ku tak keliru. Aku telah menghajar bos mereka hingga babak belur, sudah pasti mereka akan membalas ku apa pun yang terjadi, mereka juga tak akan menyerah hingga aku sama terlukanya atau lebih parah dari apa yang bos mereka dapat.

Setelah mengangguk mengisyaratkan kami mengerti, lelaki tadi meninggalkan ku dan El di dalam kamar.

El menghembuskan nafas panjang, lalu dia menatapku khawatir. Tak usah ku perkirakan bagaimana penampakan wajah ku saat ini, sudah pasti cukup parah untuk membuat El memilih diam dari pada ceramah panjang lebar. Tapi, dibalik semua yang terjadi malam ini, aku tetap bersyukur setidaknya setelah usaha panjang dan melelahkan El benar-benar ada di hadapan ku. Ini nyata, aku bahkan bisa merasakan hembusan nafas El, menyentuh kulit wajahnya yang selalu lembut dengan atau tanpa make-up sekali pun.

"Udah megang pipi akunya?"
"Eh?"
"Kamu kenapa sih Vey?"
"Maaf El aku gak sengaja,"

Rupanya aku terbuai akan imaji, hingga tak sadar begitu saja menyentuh wajah El tanpa meminta izin.

"Kenapa kamu gak biarin aku waktu di club?"
"Apa? Biarin kamu sama cowok hidung belang tadi maksud kamu?"
"Aku punya tujuan, Vey."
"Tapi gak jual diri juga El,"
"Emang siapa yang mau jual diri?"
"Kamu gak sadar apa, kamu tuh tadi hampir di jual! Memang semua psk di tempat prostitusi mau ngejual diri mereka? Sebagian juga kayak kamu, pasti bilang enggak tapi akhirnya tetep dijual."

El terdiam, dia seperti kehabisan kata untuk membalas ucapan ku yang memang tengah bicara mengenai fakta yang seringkali terjadi.

"Kamu tuh cantik El, emang siapa yang gak mau milikin kamu? 10 bundel bahkan gak cukup buat ngelebelin kamu. Karena, selain cantik... banyak... lagi... kelebihan yang kamu punya."

Aku... menahan malu setelah mulut ini berucap panjang lebar tanpa berpikir lebih dulu, ku lihat wajah kesal El memudar berganti dengan seutas senyum yang sudah sangat lama tak pernah lagi ku lihat.

"Kamu itu mau muji atau ngehina aku?"
"Um, anu,"

Dia membuat ku mati kutu, aku tak berkutik dengan pertanyaannya. Tak lama berselang, lelaki tadi kembali datang dengan obat merah, perban dan teh hangat di nampan.

"Kalian aman di sini, nanti siang saya tunjukkan arah ke jalan raya. Habis itu kalian bisa pulang,"
"Maaf tapi bapak siapa, ya?"
"Saya warga sini dek, tadi dengar ribut-ribut di luar, bener aja dugaan saya... lagi ada yang dikejar preman."
"Kok bapak tau?"
"Bukan kali pertama dek, ada yang hampir meninggal malah karena berhasil diselamatinnya pagi, wajahnya bonyok banyak darah. Serem saya kalau ingetnya juga."
"Gitu ya pa,"
"Tapi tenang, kalian beneran aman kok di sini, asal jangan berisik."
"Makasih banyak yah pak,"
"Iyah dek."

Kekhawatiran El sedikit memudar setelah dia mengobrol dengan si pemilik rumah, aku hanya mengangguk memperhatikan mereka. Tak baik memang menilai seseorang dari penampilan, tapi boleh ku katakan lelaki ini tak terlihat sedang berbohong, wajahnya juga tak mencurigakan.

"Dek, luka temennya diobatin dulu. Ini juga tehnya jangan lupa diminum, kalau lapar bilang aja ya, tapi makanannya ya seadanya, gak apa-apa kan?"
"Enggak kok pak, segini juga kita udah makasih banget."
"Yasudah, saya di luar ya. Jaga-jaga kalau ada apa-apa."
"Iyah pak, makasih banyak."
"Iyah dek."

El memeras air dari kain di wadah berisikan air hangat. Dia membasuh luka di wajah ku perlahan, setelah cukup lama akhirnya ku sadari bekas tinjuan yang pengawal juga lelaki asing di club beri ternyata terasa nyeri dan perih. Aku sesekali meringis menahan sakit, sementara El memberikan obat luka juga plaster.

"Kamu gak kangen aku, El?"

Lagi-lagi mulut ku kembali meloloskan kata tanpa sensor dari otak lebih dulu, aku tertunduk malu sementara El hanya diam mengobati luka ku.

"Astaga Harvey! Kaki kamu berdarah."
"Oiya?"
"Ya ampun, kok kamu gak sadar sih?"
"Enggak sakit El,"

El terduduk di lantai, dia menghembuskan nafas panjang lalu menangis. Aku terkejut dan tak tahu harus berbuat apa,

"Kamu tuh kenapa sih!"

Gerutu El yang semakin membuat ku bingung.

"Coba dong pikirin diri kamu sendiri! Padahal selama ini kamu jago banget ngehindarin aku, kenapa kamu tiba-tiba nolongin aku sih Vey!"
"El?"
"Jangan bikin aku khawatir Vey, tolong."
"Maaf El,"

Aku berjongkok di lantai, memeluk El yang berusaha menyembunyikan tangisnya. Padahal aku sama sekali tak berniat membuatnya khawatir, justru dia yang membuat ku tak bisa pergi menjauh walau sedetik, tapi mengapa seperti aku yang sedang berbuat salah di sini?

Ma;ngata

MangataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang