4. Santri

61 2 0
                                    

Dan janganlah terlalu banyak tertawa, Sesungguh­nya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati

-HR. Tirmidzi-

Selama seminggu tinggal, menetap di tempat ini membuatku semakin terbiasa dengan suasana baru yang ku jalani. 'Santri' gelar itu, melekat dengan sendirinya tanpa susah payah ku cari.

Seperti gelar itu sangat cocok untuk menggambarkan diriku sekarang, 'santri'(sabar ngantri). Setengah jam sudah aku menunggu di depan kamar mandi, bahkan pintunya tak kunjung terbuka.

Padahal di sini terdapat banyak kamar mandi yang berpencar. Di sebelah timur, selatan dilantai satu, dan berada di lantai atas. Tapi tetap saja budaya mengantri tak dapat di hindari.

Memang para wanita kalau sudah berurusan dengan mandi, berjam-jam di kamar mandi pun sangat betah, entah mandi sambil menyanyi atau hal-hal unfaedah lainnya yang kalau di kerjakan sangat menyenangkan.

"Ayla, kamu masih belum masuk kamar mandi juga?" Ara datang sudah mengenakan baju berseragam lengkap.

"Kamu lihat sendiri Ra, pintu semua masih tutup. Kalaupun kebuka pasti sudah di booking orang lain," gerutuku.

"Aku nunggu di kamar, cepetan kalo mandi gausah pake luluran segala udah siang, nanti kita telat." Ara berjalan menjauh, dia sudah seperti seorang emak, suka nyuruh-nyuruh.

Setelah lolos dari kegiatan antri-mengantri dan mandi. Aku dan Ara berangkat ke sekolah, untung saja gerbang masih terbuka lebar.

"Hei Ra, Syifa dan Nana sudah berangkat? Aku tidak melihatnya sedari tadi." Aku menyamakan langkahku dengan Ara yang berjalan sangat terburu-buru.

"Iya sepertinya, kamu kalo di tunggu pasti paling lama, mereka nggak sabar nunggu kamu."

"Yaampun Ra, namanya juga anak perawan," protesku tak terima.

"Assalamu Alaikum." seluruh siswa di kelas menggerutu karna mendengar salam dariku.

"Kalian kalo ada salam itu di jawab dong, menjawab salam itu wajib. Mengucapkan salam itu sunnah," imbuhku

"Waalaikum Salam," jawaban mereka serempak.

"Suaramu sangat merdu alias 'merusak dunia' Ayla, kupingku aja masih berdengung." Fika mengusap kupingnya.

"Maaf sayang, lain kali nggak bakalan terulang tapi nggak janji." Aku berjalan melewatinya, duduk di tempatku.

Entah mengapa guru mapel pagi ini tidak masuk kelas, alhasil jam pelajaran pagi ini di gunakan untuk sekedar bergosip, mengintip kelas sebelah, sampai tidur di kelas. Kami para kaum hawa sangat betah jika seharian guru tidak ada yang masuk kelas.

Mengapa kami sangat suka mengintip kelas sebelah? Jawabannya ada pada orangnya. Jika di kelas kami semua berisi kaum hawa, maka di kelas sebelah semua berisi kaum adam. Sungguh cuci mata gratis dan setiap hari.

Di sekolah para laki laki dan perempuan menjadi satu di tempat yang sama bedanya hanya tidak dalam satu kelas. Berbeda kalau di pondok. Area pondok putra dan pondok putri berbatas gerbang besar, tinggi dan kokoh. Untuk sekedar mengintip saja tidak bisa, kecuali orang-orang sedikit bandel, atau memiliki pacar diam-diam di pondok putra.

Mereka selalu mempunyai celah untuk mengintip, sekedar melihat para laki-laki saja mereka sudah sangat senang. Itupun mengintip dari kejauhan.

"Ssssttttt... Pak Burhan masuk kelas," kataku panik, berlari dari depan pintu menuju kursiku.

Lantas semua penghuni kelas mulai panik, seluruh siswi yang tadinya sibuk sendiri-sendiri berubah senyap duduk diam di tempatnya masing-masing.

"Huahahahahaha...." semua pasang mata menoleh padaku yang tertawa keras.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jalan Menuju SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang