BAGIAN 1

716 24 0
                                    

Siang ini udara terlihat cerah. Matahari terhalang awan putih yang bergerumbul membentuk hamparan permadani lebar. Gelombang laut pun terlihat tenang ketika angin semilir berhembus. Sebuah kapal berukuran cukup besar terlihat di kejauhan. Pada tiang yang paling tinggi, berkibar sebuah bendera berwarna hijau dengan lambang pedang melintang dan di atasnya bergambar bangau putih yang sedang mengepakkan kedua sayapnya.
Sepintas, lambang itu mengingatkan orang pada sebuah perguruan silat dari negeri seberang yang amat terkenal. Bukan saja karena murid-muridnya yang berilmu tinggi, tapi juga mereka terkenal sebagai pembela kebenaran yang suka membantu orang-orang lemah dan tertindas. Perguruan itu bernama Bangau Sakti, dan diketuai oleh orang tua sakti bernama Ki Sanjung Lugai.
Saat itu, seorang pemuda berwajah keras tampak berdiri gagah di buritan kapal. Rambutnya yang sepanjang bahu tergerai ditiup angin. Pemuda itu memakai baju lengan pendek yang terbuat dari bahan tebal dan dipenuhi sisik seperti ular. Dipunggungnya tersandang sebatang pedang berukuran besar. Sementara sepasang matanya menatap tajam ke depan dengan kedua tangan bersedakap di dada. Di belakangnya terlihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun.
"Berapa lama lagi kita akan sampai di negeri itu, Paman?"
"Hm.... Kalau tak ada badai, barangkali besok subuh kapal sudah bisa mendarat," jawab laki-laki tua berusia lima puluh tahun.
"Rasanya perjalanan kita akan lancar...," gumam pemuda itu. Perlahan kepalanya mendongak, mengamati langit di ujung pandangan nun jauh di sana.
"Ya! Paman kira juga begitu. Pada bulan-bulan seperti ini badai tak akan datang."
"Apakah perjalanan kita ke negeri itu ada gunanya? Kalau saja ayah tak terlalu memaksa, sebenarnya aku enggan. Memamerkan kemampuan bukanlah perbuatan baik, Paman."
"Ada hal yang belum kau ketahui, Sisik Naga. Perguruan Batu Kumala saat ini sedang mengadakan pesta ulang tahun ketuanya, yaitu Ki Satya Dharma. Mereka bermaksud mengadakan adu kepandaian, bukan untuk gagahan atau pamer, tapi sekadar menambah erat persahabatan antar perguruan. Hal itu soal biasa dalam dunia persilatan, kita harus maklum."
Pemuda yang dipanggil Sisik Naga hanya terdiam tanpa memalingkan wajah.
"Kau adalah wakil ayahmu, orang terkenal di negeri kita dan pendekar yang dihormati di negeri yang akan kita tuju. Tunjukkan jiwa ksatriamu saat pertandingan diadakan. Jangan memalukan nama perguruan dan ayahmu...," lanjut si orang tua sambil menepuk pundak Sisik Naga.
"Kehormatan yang bagaimana menurut mereka di sini? Apakah kematian bagi lawan?"
Si orang tua tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sisik Naga memang baru berusia sekitar tujuh atau delapan belas tahun. Dan jarang sekali terjun dalam dunia persilatan, sehingga tidak mengerti tata cara tentang bagaimana sebaiknya bersikap.
"Tidak begitu. Dalam pertandingan yang sifatnya persahabatan, dilarang saling mencelakai. Bila kita berhasil mengalahkan lawan dengan cara yang baik, itu akan lebih terhormat dan terpuji."
"Bagaimana caranya, Paman?"
"Seumpamanya dia memakai ikat kepala, maka kau cukup menanggalkan ikat kepalanya tanpa dia mampu menahan. Atau mencabut senjatanya tanpa dia sadari. Nah, hal-hal semacam itu sudah membuktikan bahwa kepandaian kita lebih unggul darinya. Mereka yang menyaksikan pertandingan akan mengerti," jelas orang tua itu.
Sisik Naga mengangguk kecil. "Apakah Paman tahu, sampai di mana kemampuan orang-orang negeri ini?"
"Hm.... Siapa yang tahu kepandaian setiap orang? Seperti yang terjadi di negeri kita, di sini pun sama. Kepandaian orang atau seorang tokoh sulit diduga. Bahkan tak menutup kemungkinan banyak terdapat tokoh-tokoh persilatan yang berwatak aneh," jelas si orang tua.
"Berwatak aneh seperti apa, Paman?"
"Suka mencampuri urusan orang lain tanpa sebab, mencari gara-gara sekadar untuk memenuhi nafsu pribadi, atau bertingkah yang tak sewajarnya serta berbuat sesuka hatinya," jawab si orang tua.
Sisik Naga mengangguk-angguk mendengar jawaban itu. "Kalau di negeri kita seperti si Gila dari Muara Tembong ya, Paman? Ayah pernah membicarakan tokoh itu padaku. Dia seorang tokoh sakti yang tiada terkalahkan sampai saat ini. Bahkan, ayah sendiri segan berurusan dengannya."
"Tapi ayahmu bukan orang sembarangan. Si Gila dari Muara Tembong sendiri sungkan mengganggunya."
"Ki Simbul Lumut, beberapa perahu kecil mendekat ke kapal kita!" teriak seseorang yang berdiri pada tiang paling tinggi di kapal.
"Semua bersiap...!" Laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Simbul Lumut langsung memberi aba-aba dengan suara keras.
Sepasang matanya memandang nyalang. Begitu juga dengan Sisik Naga. Lebih dari lima buah perahu kecil semakin jelas terlihat, bergerak ke arah mereka.
"Siapa mereka dan apa maunya?" tanya Sisik Naga.
"Hm.... Siapa yang tahu? Tapi kita harus waspada. Kau jaga di bagian belakang kapal, biar Paman menjaga di sini. Dan perintahkan Sopeng Langit serta Watan Kijang untuk berjaga di tiap sisi yang berlawanan di tengah kapal!"
"Baik, Paman!" Sisik Naga segera memanggil dua orang yang dikatakan pamannya, dan memberi perintah pada yang lain untuk bersiaga penuh.
Dalam sekejap saja suasana kapal menjadi tegang. Wajah-wajah mereka kaku dengan sepasang mata tajam, mengawasi perahu-perahu kecil yang terus mendekat dari berbagai arah.
"Orang-orang yang berada di kapal, turunlah kalian ke laut dengan sukarela, atau kami harus memaksa dengan kekerasan...?!" Salah seorang yang berada dalam perahu kecil berteriak lantang, dengan kedua tangan bertolak pinggang.
Ki Simbul Lumut tersenyum kecil sambil menyipitkan mata. Tapi Sisik Naga langsung bangkit amarahnya, mendengar kata-kata yang dianggapnya suatu penghinaan. Inikah salah satu tokoh aneh yang barusan diceritakan pamannya?
"Kisanak, siapakah kalian dan mengapa menghadang perjalanan kami?" tanya Ki Simbul Lumut dengan tenang.
Perahu-perahu kecil itu berhenti ketika jarak mereka telah begitu dekat. Orang tua itu dapat melihat jelas, siapa yang tadi berteriak keras. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan memakai baju dari kulit binatang. Di dadanya bergelantungan tengkorak dan tulang-belulang yang diuntai menjadi sebuah kalung. Begitu juga dengan ikat pinggangnya. Wajahnya tampan, namun sorot matanya tajam menusuk dan sangat angker. Rambutnya yang panjang digelung ke belakang.
Laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu membawa sebilah parang besar di pinggangnya. Dan yang lainnya terlihat sama, meski mereka bertelanjang dada dan mengenakan cawat dari kulit binatang. Seluruh tubuhnya dipenuhi hiasan tulang-belulang serta tengkorak-tengkorak manusia. Wajah mereka angker dan tampak bermusuhan, dengan sorot mata liar seperti manusia yang tak beradab. Parang-parang besar telah siap tergenggam di tangan. Ada juga yang memegang sumpritan yang mengeluarkan bau busuk menyengat. Bisa dipastikan kalau sumpritan itu mengandung racun yang hebat.
"Aku Begananda, raja di lautan dan daratan. Kuperintahkan kalian meninggalkan seluruh harta benda dan barang berharga di kapal ini, dalam tiga hitungan. Kalau tidak, jangan harap aku akan memberi ampun!" perintah laki-laki berbaju kulit binatang itu sombong.
"Kisanak, kami tak peduli kau raja lautan dan daratan. Tapi jika kau perintahkan kami meninggalkan seluruh harta dan barang-barang bawaan, maka kau harus melangkahi mayat kami dulu!" sahut Ki Simbul Lumut garang.
Orang tua itu sudah menduga, siapa gerombolan ini sebenarnya. Mereka tak lain bajak laut yang biasa terdapat di perairan selat ini. Meski nama Begananda tak dikenalnya, tapi bisa diduga dari sorot matanya kalau orang itu memiliki ilmu olah kanuragan yang tak rendah. Begitu juga anak buahnya. Mereka bukan orang-orang liar sembarangan.
"Huh! Begitukah keputusanmu, Orang Tua? Baik, jangan sesalkan nanti di neraka!" dengus Begananda.
"Huh, apa yang perlu kutakutkan dari kalian?"
"Bangsat!" Begananda memaki. Dan bersamaan dengan itu, memberi isyarat pada anak buahnya.
Slup! Slup!
"Aaakh...!"
"Yeaaa...!"
Beberapa anak buah Begananda langsung meniup sumpritan yang berada di tangan mereka. Seketika, jarum-jarum beracun yang dihiasi bulu-bulu halus, berhamburan ke arah orang-orang Ki Simbul Lumut. Terdengar pekik kesakitan ketika dahi, leher, dan dada mereka tertembus senjata maut itu. Lima orang langsung ambruk tak berdaya, dua di antaranya jatuh ke laut.
"Awas! Lindungi diri kalian dari sumpritan beracun!" teriak seseorang memperingatkan kawan-kawannya.
Tapi ketika mereka akan mencari alat yang mampu melindungi diri dari serangan sumpit beracun, saat itu juga anak buah Begananda melompat dengan ringan ke atas kapal sambil mengayunkan pedang dengan dahsyat. Dua orang kepercayaan Ki Simbul Lumut, yaitu Sopeng Langit dan Watan Kijang langsung menyambut. Begitu juga Sisik Naga. Putra Ki Sanjung Lugai itu mengamuk habis-habisan dengan hati penuh kegeraman.
"Keparat-keparat laknat! Mampuslah kalian semua...!"
Seluruh anak buah Perguruan Bangau Sakti yang berada di kapal, berjuang sekuat tenaga menghadapi serbuan para bajak laut itu. Kepandaian mereka rata-rata cukup bisa diandalkan, tapi orang-orang liar itu pun bukan orang sembarangan. Gerakan mereka amat cepat dan lincah menghindari serangan bagaikan kera yang melompat-lompat dari satu cabang ke cabang lain. Mereka dengan mudah menghindari kelebatan senjata lawan. Tak heran bila dalam sekejap korban terlihat bergeletakan di sana sini. Orang-orang liar itu semakin riuh bersuara, seperti binatang buas terluka.
"Keparat! Orang-orang liar jahanam, mampuslah kalian!" teriak Ki Simbul Lumut seraya mengayunkan pedang dan berhasil menyambar seorang lawan, hingga terjungkal.
Namun saat ujung pedang berkelebat hendak menyambar seorang korban, saat itu pula Begananda memapaki dengan parang di tangan kanannya.
Trang!
"Orang tua busuk! Kau pikir aku akan mendiamkan kelakuanmu? Kau bagianku!"
"Huh! Kenapa tak maju sejak tadi?!"
Begananda berkelebat cepat sambil mengayunkan parang di tangannya ke arah Ki Simbul Lumut. Orang tua itu bukanlah tokoh sembarangan. Di negerinya termasuk orang yang dihormati, selain Ketua Perguruan Bangau Sakti. Beliau adalah salah seorang adik seperguruan tokoh sakti itu. Maka tak heran kalau ilmu silat dan ilmu olah kanuragannya cukup tinggi. Meski Begananda telah mendesak dengan sekuat daya dan kemampuan, tapi orang tua itu tidak terdesak. Kenyataan itu membuat kemarahan Begananda semakin meluap. Apalagi ketika melihat seorang pemuda berbaju kulit ular mengamuk dan membinasakan banyak anak buahnya.
"Hm.... Kau lihat? Sebentar lagi anak buahmu akan habis satu persatu. Kini tiba saatnya bagimu untuk menyerah. Kami bukanlah orang-orang kejam. Kalian boleh pergi sekarang juga!" ujar Ki Simbul Lumut memberi peringatan.
"Ha ha ha...! Kau pikir siapa dirimu, berani berkata begitu padaku?" Begananda tertawa terbahak-bahak.
Lelaki itu mengeluarkan sebuah topeng berwajah seram yang terbuat dari kayu dari balik bajunya. Lalu dikenakannya. Wajah tampan Begananda seketika berubah menjadi wajah setan yang menakutkan. Sepasang matanya bulat lebar dengan alis tebal dan tajam. Coreng-moreng di topeng kayu itu melukiskan gambar yang tak jelas. Namun dari gigi bagian bawah, menyembul sebuah taring yang mencuat ke atas melewati bibir, hidung, hingga ke dahi.
Ki Simbul Lumut pada mulanya menduga kalau lawan adalah orang yang tidak waras. Apalagi, kemudian menari-nari beberapa saat lamanya. Namun ketika tiba-tiba saja menyerang, terkesiap juga orang tua itu. Dari bola mata di balik topeng kayu, menyebar suatu pengaruh yang membuat pikirannya mengawang tak menentu. Tenaganya perlahan melemah, dan gerakannya seperti orang mabuk. Ki Simbul Lumut berusaha memukul-mukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Tapi, tenaganya terus menyusut dengan cepat seperti diserang kelumpuhan total.
"Mampus! Hihhh...!"
Cras!
"Akh...!"
Orang tua itu hanya bisa menjerit lemah ketika parang Begananda membabat lehernya hingga terpisah dari tubuh. Setelah menewaskan orang tua itu tanpa perlawanan yang berarti, tubuh Begananda melesat dan menghajar anak buah kapal besar satu persatu. Banyak di antara mereka yang tak berdaya melawan pengaruh gaib yang dipancarkan topeng kayu yang dikenakannya. Sehingga, Begananda tak ubahnya seperti membasmi orang-orang yang tak memiliki kepandaian silat.
"Bedebah laknat! Dia pikir siapa kami!" Sisik Naga menggeram dan langsung melompat sambil mengayunkan pedang ke leher lawan.
"Yeaaa...!"
Wuttt!
Begananda dengan mudah mengelak, kemudian mengayunkan parangnya untuk menangkis.
Trang!
Sisik Naga terkejut merasakan telapak tangannya nyeri bukan main akibat benturan itu. Tapi mana sudi dia menunjukkan kesakitan di wajahnya. Sebaliknya pemuda itu menggeram dan menyerang lawan semakin hebat, dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. Tapi aneh, pikirannya mengawang dan tenaganya terus melemah dengan cepat ketika beradu pandang dengan topeng kayu yang dipakai lawan.
"Ha ha ha...! Siapa pun tak akan mampu melawan pengaruh Topeng Setan yang kukenakan ini!" teriak Begananda sambil tertawa lebar.
"Keparat...!" maki Sisik Naga. Pemuda itu mengayunkan pedang, tapi dirasakan pedang itu terlalu berat Sedangkan tenaganya lemah sekali, dan langkah kakinya tak mampu mengangkat tubuh. Pemuda itu terjungkal, tepat ketika Begananda mengayunkan pedang dan menebas lehernya tanpa belas kasihan.
Cras!
"Akh...!" Sisik Naga mengeluh pelan. Darah membanjiri lantai kapal ketika kepalanya menggelinding. Dua orang terkuat di kapal itu tewas dalam waktu singkat. Akibatnya, anak buah Begananda semakin merajalela. Apalagi ketika dia turun tangan sendiri. Dalam waktu singkat penumpang kapal itu binasa di tangan mereka.
"Habisi mereka, tak seorang pun boleh tertinggal!" perintah Begananda.
"Semua tewas tak ada yang tersisa!" lapor salah seorang anak buahnya.
"Buang ke laut dan angkut semua barang berharga di kapal ini!" Anak buah Begananda langsung menyampaikan perintah pimpinannya. Tanpa banyak tanya lagi mereka membagi dua rombongan. Sebagian membuang mayat-mayat ke laut, dan yang lain mengangkuti barang-barang berharga yang berada dalam kapal. Barang-barang itu dipindahkan ke dalam perahu-perahu kecil yang tadi mereka gunakan. Suara hiruk-pikuk terdengar beberapa saat. Air laut di sekitar kapal terlihat merah, dan dari kejauhan terlihat sirip ikan hiu berbondong-bondong mendekati mereka.
"Cepat! Tinggalkan tempat ini, sebelum hiu-hiu itu menyerang kalian!" perintah Begananda. Secepat kilat mereka melesat ke perahu kecil dan membiarkan kapal besar itu terapung-apung.
"Ha ha ha...! Siapa pun yang mencoba menghalangiku, maka kematianlah yang akan didapat!" teriak Begananda jumawa, sambil bertolak pinggang di perahunya. Sepasang matanya menyipit dan menatap tajam perahu besar yang semakin jauh terlihat. Topeng Setan yang tadi dikenakannya, telah diselipkan kembali ke dalam baju. Bibirnya tak lekang menampakkan senyum sinis yang selalu menghias.

***

88. Pendekar Rajawali Sakti : Topeng SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang