BAGIAN 8

441 23 2
                                    

Bersamaan dengan berkelebatnya Ki Atmojo menyerang Begananda, tokoh-tokoh persilatan golongan putih lain pun menyerang anak buahnya. Pertarungan besar-besaran tak bisa dielakkan lagi. Tapi jumlah mereka tak seimbang. Orang-orang yang datang bersama Ki Atmojo lebih dari tiga puluh orang, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Termasuk di antaranya Ki Sanjung Lugai, Nyi Sri Asih, Ki Jumanta, dan Ki Sapto Longko.
Saat itu, gerimis mulai turun meramaikan suasana di antara suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan yang menggelegar. Ki Atmojo mulai merasakan pengaruh lawan yang mengenakan topeng kayu di wajahnya. Tenaganya seperti berkurang dan pikirannya terasa kosong. Berkali-kali lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala, tapi pikirannya tak kunjung sadar. Serangan-serangannya mulai kacau.
"Yeaaa...!"
Cras!
"Akh!"
"Ha ha ha...! Kau pikir semudah itu mengalahkanku? Kini, terimalah kematianmu!" ejek Begananda sambil mengayunkan parang ke arah lawan.
Ki Atmojo mendengus garang dengan wajah berkerut sambil memegangi punggungnya yang terasa perih terkena ujung senjata lawan, hingga menimbulkan luka yang cukup lebar.
"Hiyaaat..!"
"Ki Atmojoo, awas...!"
"Keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!"
Trak! Trang! Cras!
"Akh...!"
Begananda menggeram. Dadanya terluka terkena ujung pedang Ki Sanjung Lugai yang mendadak berkelebat menyerang, melindungi Ki Atmojo dari serangan lawan. Kalau hanya orang tua itu yang menyerang, mungkin Begananda masih bisa mengelak dan balas menyerang. Tapi yang datang membantu Ki Atmojo empat orang! Mereka adalah Nyi Sri Asih, Ki Jumanta, dan Ki Sapto Longko, dan Ki Sanjung Lugai sendiri.
Tentu saja hal itu membuat Begananda bingung dan terkejut setengah mati. Beruntung bisa menyelamatkan diri sehingga hanya sedikit terluka.
Ki Sanjung Lugai baru akan membuka mulut ketika melihat keanehan yang terjadi di depan matanya. Seiring dengan geraman lawan, saat itu juga darah dari luka di dadanya menetes ke tanah dan menjelma menjadi sesosok tubuh kembaran Begananda! Hal itu terus berlangsung, hingga kembarannya berjumlah sepuluh orang!
"Keparat! Ilmu iblis apa lagi yang dikeluarkannya?!" maki Ki Atmojo, bersungut-sungut.
"Ha ha ha...! Kalian kira mudah membinasakanku? Ha ha ha...! Kali ini, rasakan pembalasanku. Yeaaat...!"
Begananda beserta kembarannya melesat cepat menyerang lawan-lawannya. Mereka tersentak kaget dan langsung bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Trang!
Cras!
"Aaakh...!"
"Manusia iblis! Tampakkan dirimu yang sebenarnya, kalau memang kau penguasa rimba persilatan yang tak terkalahkan!" geram Ki Jumanta sambil mendekap perutnya yang robek terkena senjata lawan.
Hal yang membingungkan mereka adalah sulit menghadapi lawan yang sesungguhnya. Bila senjata mereka terayun memapas tubuh lawan, maka akan mengenai tempat kosong menghantam angin saja. Dan dengan cepat Begananda yang asli mengayunkan parang. Ki Jumanta terkecoh dan menjadi korban yang pertama. Untuk menghadapi kemungkinan, terpaksa mereka menghadapi dan menangkis setiap serangan yang datang dari orang-orang yang menyerupai Begananda. Dan hal itu cukup menguras tenaga, sebab serangan yang datang sangat bertubi-tubi. Belum lagi pengaruh ilmu iblis yang dikerahkan lawan yang membuat pikiran menjadi kosong, sehingga serangan-serangan mereka lemah tak bertenaga dan tak beraturan.
"Hiyaaa...!"
Trak! Breeet!
"Aaa...!"
Ki Jumanta menjerit kesakitan ketika tubuhnya terlempar bermandikan darah disambar senjata lawan. Ki Jumanta yang telah terluka semakin berkurang kegesitannya, hingga tak mampu bergerak cepat menghindari setiap serangan yang datang ke arahnya. Lelaki gagah itu tewas dalam keadaan yang mengerikan.
"Keparat! Manusia iblis!" maki Ki Sapto Longko.
"Hiyaaat..!"
Breeet! Cras!
"Aaakh...!"
Orang tua itu memekik kesakitan. Dan menjadi korban kedua setelah Ki Jumanta. Kepalanya menggelinding, terpisah dari tubuhnya. Sementara Ki Atmojo, Ki Sanjung Lugai, dan Nyi Sri Asih masing-masing mendapat luka parah pada bagian dada mereka. Dalam keadaan lemah tak berdaya dan tenaga terkuras habis, mereka betul-betul menjadi sasaran empuk lawan. Tak heran kalau Begananda semakin girang dibuatnya.
"Kali ini terimalah kematian kalian, Orang-orang dungu! Yeaaa...!"
Trang!
"Heh...?!"
Ketiga orang tua itu sudah pasrah dan memejamkan mata menerima kematian mereka. Karena untuk menghindar pun rasanya percuma. Begananda bersama kembarannya yang berjumlah sepuluh orang, mengepung dari segala arah. Siapa yang asli di antara mereka, tidak diketahui ketiga orang itu.
Saat itulah berkelebat sesosok bayangan yang langsung menangkis senjata Begananda asli, hingga bergetar. Tokoh sesat itu terkejut dan menghentikan serangan. Dilihatnya sesosok tubuh berbaju rompi putih tengah membelakanginya. Begananda langsung mengenali sosok itu. Apalagi saat melihat seorang gadis berbaju hijau di sebelahnya.
"Pendekar Rajawali Sakti? Hm, bagus! Kali ini kau tak akan selamat dari kematian!"
Orang yang baru datang itu memang Rangga bersama Gayatri. Pendekar Rajawali Sakti menyahut dingin tanpa menoleh ke arah lawan.
"Begananda! Kalau kematianku mampu melenyapkan iblis yang bersarang di hatimu, aku tak akan menyesal sedikit pun. Hari ini biarlah kita tentukan, kau atau aku yang harus binasa!" sahut Rangga garang.
Melihat kehadiran Pendekar Rajawali Sakti, ketiga tokoh persilatan golongan putih itu menghela napas lega.
"Pendekar Rajawali Sakti! Oh, syukurlah kau cepat datang. Kalau tidak, entah bagaimana nasib kami," ujar Nyi Sri Asih.
"Kisanak, hati-hati menghadapi manusia iblis ini. Dia memiliki ilmu sihir yang ganas!" seru Ki Atmojo.
"Ha ha ha...! Diamlah kalian, Manusia-manusia dungu! Apa kalian kira bocah ingusan ini mampu menghentikanku! Huh! Aku bersumpah akan membuatnya jadi potongan-potongan kecil, untuk makanan anjing-anjing hutan kelaparan!" kata Begananda, geram.
"Gayatri, bantulah mereka menempur anak buahnya. Biar orang ini bagianku...," kata Rangga lirih.
"Baiklah. Hati-hati, Kakang...."
Setelah berkata demikian, Gayatri langsung melompat dan mengamuk bagai singa betina kehilangan anak. Sementara Rangga membuka ikat kepala untuk menutupi kedua matanya, lalu memusatkan pikiran guna mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Kemudian, tubuhnya diputar hingga berhadapan dengan lawan.
"Manusia iblis, silakan mulai...!" kata Rangga, mantap.
"Huh! Kau kira dengan cara itu mampu mengalahkanku?! Mari kita buktikan! Yeaaat...!"
Dua orang kembaran Begananda menyerang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi ketiga tokoh tua yang menyaksikan kejadian itu jadi tercekat hatinya. Saat itu mereka melihat Pendekar Rajawali Sakti tak bergerak sama sekali. Begitu juga ketika kembaran Begananda menyerang. Barulah ketika lima orang lawan bergerak serentak menyerang dengan senjata terhunus, Rangga bergerak cepat dan menghantamkan pedang yang masih berada dalam warangka.
Trak! Wuuut!
Begananda terkejut setengah mati. Senjatanya dapat ditangkis dengan mudah. Kalau saja saat itu tak cepat menghindar, tenggorokannya pasti tertembus sarung pedang lawan.
"Yeaaa...!" Rangga berteriak keras. Agaknya pemuda berbaju rompi putih ini tak mau memberi hati pada lawan untuk bernapas barang sesaat. Tubuhnya bergerak cepat sambil melakukan serangan-serangan gencar.
Sementara, Begananda terlihat mulai kewalahan menghadapi serangan lawan. Perlahan-lahan tokoh sesat ini mulai tersudut dan tak mampu balas menyerang. Hatinya geram bukan main karena lawan tak terpengaruh topeng kayu yang dikenakannya. Pendekar Rajawali Sakti kini seperti memiliki mata yang dapat mengetahui dirinya yang asli.
"Setan! Mampuslah kau, hihhh...!"
Dalam keadaan terjepit, telapak tangan kiri Begananda disorongkan ke muka. Dari situ terpancar sinar ungu yang langsung menderu menghantam Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi pemuda digdaya dari Karang Setra itu dapat merasakan dan bergerak menghindar. Dengan gemas, dibalasnya serangan itu dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. "Hiyaaat...!" Dari telapak tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti terpancar sinar merah, membalas serangan 'Kelabang Ungu' yang tadi dilancarkan lawan.
"Uts...! Sial!"
Brakkk!
Begananda yang asli cepat bergerak menghindar, hingga pukulan Pendekar Rajawali Sakti menderu menghantam mulut gua. Seketika, gua itu pun hancur berantakan membentuk lubang yang lebih besar.
"Bagus! Tak percuma kau disegani setiap tokoh persilatan, ternyata kepandaianmu boleh juga diandalkan!"
"Bicaralah sepuasmu, tapi jangan harap kau akan lepas dari tanganku!" dengus Rangga.
"Huh! Kalau saja saat itu burung sialan itu tak menyelamatkanmu, kau pasti tinggal nama saja. Tapi kali ini, jangan harap hal itu akan terjadi lagi. Kaulah yang bersiap-siap menjemput ajalmu!" balas Begananda garang.
Agaknya Begananda benar-benar ingin membuktikan ucapannya. Tokoh sesat itu kini merubah jurusnya, dan terlihat gerakannya mulai lincah dengan pengerahan tenaga dalam kuat Pendekar Rajawali Sakti bukan tidak mengetahuinya.
Kalau saja saat itu matanya terbuka, tentu akan lebih leluasa menyerang lawan. Tapi kalau hal itu dilakukan, dirinya akan celaka terkena pengaruh ilmu sihir lawan. Pendekar Rajawali Sakti jadi serba salah. Kali ini semua gerakannya tergantung pada pendengaran yang tajam. Dan lawan agaknya tahu hal itu, sehingga menyerangnya dengan suara ribut dan berteriak-teriak mengganggu pendengarannya.
"Yeaaa...! Hiyaaat...!"
Wuuut! Dukkk!
"Ugkh...!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan ketika sebuah tendangan lawan menghantam perutnya. Cepat-cepat tubuhnya jungkir balik ke belakang. Samar-samar telinganya merasakan angin serangan lawan menyambar kepalanya, dengan cepat tubuhnya ditekuk sambil berputar cepat.
"Yeaaa...!"
Crasss!
Pendekar Rajawali Sakti kembali berteriak kesakitan ketika dadanya terkena ujung senjata lawan. Untung hanya tergores sedikit, tapi dirasakan kalau lawan terus mengejarnya seperti tiada henti. Terpaksa Rangga jungkir balik menghindarkan diri sambil berteriak keras.
"Hiyaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti segera mencabut pedang pusakanya. Saat itu juga, terpancar sinar biru menerangi tempat itu.
Begananda terperangah sesaat. Tokoh sesat berhati iblis ini sudah menyaksikan kedahsyatan pedang lawan, maka tak heran kini mulai berhati-hati.
Waktu yang sekejap itu sudah cukup bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk mengetahui kedudukan lawan. Tubuhnya berkelebat cepat bagai sapuan angin kencang menyambar ke arah lawan.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Tras! Tras! Breeet!
"Aaakh!"
"Heh...!?"
Terdengar pekik kesakitan Begananda ketika pedang lawan menggores dadanya dua kali, menimbulkan luka yang amat dalam. Parang di tangannya yang digunakan untuk menangkis, terbabat menjadi empat bagian!
Kalau lawan merasa terkejut dan kesakitan, sebaliknya Pendekar Rajawali Sakti keheranan. Pedangnya bukanlah senjata sembarangan. Tak ada seorang pun yang mampu menahan sambarannya. Sekali melukai lawan, maka jangan harap akan mampu bangkit dan kembali menyerangnya. Tapi Begananda dirasakan masih tetap berdiri sambil menggeram hebat, siap balas menyerang.
"Keparat! Kekuatannya pasti bersumber pada topeng kayu yang dikenakannya. Aku harus lebih dulu menghancurkan topeng itu, baru kekuatannya akan melemah!" gumam Pendekar Rajawali Sakti sambil menggeram pelan.
"Bocah keparat, terimalah kematianmu!" ancam Begananda menggeram hebat seraya langsung menyerang. Kedua tangannya berubah ungu dan angin kencang menderu ketika tubuhnya berkelebat. Kali ini seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga bisa merasakan kalau lawan ingin mati bersama. Dengan tenang diusapnya batang pedang dengan telapak kiri, kemudian cepat melompat memapaki serangan lawan. "Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
Trasss!
Glarrr!
"Hugkh...!"
Setelah ledakan keras, suasana kembali tenang. Kejadian itu begitu cepat. Bahkan ketiga tokoh tua yang memperhatikannya, tak tahu apa yang telah terjadi. Gerimis yang sudah berubah menjadi hujan lebat, mengguyur tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak membelakangi lawan yang terkapar di tanah!
Pendekar Rajawali Sakti menyambar topeng kayu lawan dengan ujung pedangnya, dan memotongnya menjadi empat bagian yang sempat melukai wajah lawan. Tentu saja Begananda kelabakan dan menjerit kesakitan. Tapi suaranya tercekat ketika pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti membungkam dirinya. Meskipun telah melepaskan pukulan 'Kelabang Ungu', tapi pukulannya tertindih oleh pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang terus menderu menghantam tubuhnya. Akibatnya sungguh hebat!
Tubuh tokoh sesat yang menggiriskan itu terbungkus sinar biru beberapa saat sebelum akhirnya gosong laksana arang! Melihat pimpinannya tewas, sisa anak buah Begananda langsung melarikan diri. Namun beberapa orang tak lepas dari serangan tokoh golongan putih yang ada di situ. Sehingga yang berhasil kabur menyelamatkan diri hanya lima orang saja.
Mereka berkumpul mendapati Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan, Gayatri sudah lebih dulu mendekat dan memandang Rangga dengan wajah cemas.
"Kakang Rangga, kau tak apa-apa...?"
Rangga membuka penutup matanya perlahan-lahan. Lalu sekilas memandang mayat lawan dan orang-orang di sekelilingnya, kemudian menggeleng lemah sambil menatap Gayatri.
"Oh, syukurlah. Aku sangat mengkhawatirkan dirimu...!"
Tanpa disadari, Gayatri melepaskan kegelisahan hatinya dengan memeluk Pendekar Rajawali Sakti erat-erat.
"Eh, Gayatri. Apa kau tak malu dilihat begitu banyak orang?" ujar Rangga, jengah dipeluk sedemikian rupa oleh seorang gadis.
Gayatri baru tersadar ketika mendengar kata-kata Rangga. Cepat-cepat pelukannya dilepaskan, dan kepalanya ditundukkan sambil sesekali memandang wajah Pendekar Rajawali Sakti dengan tersenyum malu.
"Kisanak, kami semua mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak, entah apa yang terjadi pada kami," kata Ki Atmojo mewakili yang lain.
"Ah! Jangan berkata begitu, Kisanak. Aku hanya melakukan tugas. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong. Apalagi membantu memerangi kejahatan," sahut Rangga.
"Ya, ya.... Kau benar. Tapi saat ini kau telah menolong kami. Untuk itu kami akan mendapat kehormatan besar jika kau sudi mampir ke gubukku, sekadar menghirup teh hangat pelepas dahaga."
"Terima kasih, Kisanak. Sebenarnya aku ingin sekali, tapi saat ini masih banyak tugas yang menanti ku. Mohon kalian sudi memaafkan aku karena tak sempat mampir. Mudah-mudahan, lain waktu aku dapat bertamu ke rumah kalian," tolak Rangga halus.
Beberapa tokoh lain mencoba menahan pemuda digdaya dari Karang Setra itu. Tapi Rangga tetap pada pendiriannya. Akhirnya mereka tak mampu menahan Pendekar Rajawali Sakti untuk berlalu. Diiringi curah hujan dan pandangan kagum, mereka mematung sesaat menatap kepergian Pendekar Rajawali Sakti yang didampingi seorang gadis cantik berbaju hijau.

***

TAMAT

88. Pendekar Rajawali Sakti : Topeng SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang