Orang tua itu berdiri tegak sambil memegang sebatang pedang yang masih berada dalam warangka. Tubuhnya tinggi besar dengan kedua tangan kekar. Bajunya kuning dengan ikat kepala agak tinggi. Melihat caranya berpakaian, terlihat jelas kalau dia berasal dari seberang. Orang tua itu usianya kurang lebih tujuh puluh tahun, namun tak sedikit pun terlihat lemah atau tak berdaya. Bahkan dari sorot matanya yang tajam orang akan segera tahu, kalau dia bukan orang sembarangan. Tapi orang-orang yang mengelilinginya saat ini seperti tak melihat hal itu. Mereka hanya mengincar buntalan kecil yang tergenggam di tangan kirinya.
"Sekali lagi kuperingatkan, Orang Tua. Serahkan buntalan itu, atau nyawamu melayang sekarang juga!" dengus seseorang yang sebelah matanya picak sambil menunjukkan goloknya yang tajam berkilat.
"Kisanak, buntalan ini hanya berisi pakaian yang tak berguna bagi kalian."
"Phuih! Banyak omong! Anak-anak, ayo cincang tua bangka busuk itu!"
"Yeaaa...!" Tujuh orang berwajah seram dan bertubuh besar langsung melompat sambil mengayunkan golok ke arah orang tua itu.
"Hup!"
"Jangan memaksaku berbuat kasar, Kisanak. Kalian tak mempunyai urusan denganku!" ujar orang tua itu sambil bergerak lincah menghindari serangan-serangan lawan.
"Jangan banyak bicara, Tua Bangka! Hari ini kau telah berurusan dengan Begal Rimba Palung!" sahut orang yang bermata picak, langsung ikut menyerang.
"Hup!"
"Mampus...!"
"Baiklah. Kalau memang kalian tetap berkeras juga, terpaksa Sanjung Lugai akan memberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian, terlihat gerakan orang tua itu berubah cepat. Kali ini tidak sekadar menghindar, tapi balas menyerang.
Trak! Dukkk!
"Ugkh!"
"Yeaaa...!"
Ketujuh pengeroyoknya tersentak. Dua orang mengeluh kesakitan terkena sodokan ujung warangka pedang, tepat di lambung. Dan ketika orang tua bernama Ki Sanjung Lugai itu bergerak, dua orang lawannya kembali terjengkang terkena hantaman kaki dan sodokan kepalan tangan, masing-masing di perut dan dada.
"Kurang ajar! Kau pikir bisa berbuat seenaknya kepada kami?! Phuih! Terimalah pembalasanku. Hiyaaat..!"
Laki-laki bermata picak melompat dan mengayunkan golok ke arah Ki Sanjung Lugai. Gerakannya hebat dan cepat. Agaknya dia betul-betul geram hingga langsung mengerahkan jurus terhebatnya.
"Yeaaat...!"
"Heh?!"
Trang! Wuuut!
"Keparat! Siapa kau?!"
Pada saat itu juga berkelebat sesosok bayangan memapaki serangan itu. Bukan main geramnya laki-laki bermata picak itu. Dia melompat menjauh untuk melihat siapa penyerang gelap itu. Ternyata tempat itu sudah terkepung rapat oleh sepuluh orang lebih, bersenjatakan payung perak. Penyerangnya tadi rupanya seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi dan masih memperlihatkan sisa kecantikan di masa mudanya. Di tangannya tergenggam sebuah payung perak. Sorot matanya tajam menusuk.
"Huh! Nyi Sri Asih, Ketua Perguruan Payung Perak! Ada urusan apa kalian menggangguku?!" dengus laki-laki bermata picak ketika mengenali penyerangnya.
"Parto Legowo, kau dan Begal Rimba Palungmu sungguh keterlaluan, aku tak bisa berpangku tangan melihat kecurangan kalian. Nah, pergilah dari hadapanku sebelum kesabaranku habis!" sahut perempuan yang dipanggil Nyi Sri Asih itu.
Laki-laki bermata picak yang bernama Parto Legowo bersungut-sungut kesal. Melihat jumlah lawan lebih banyak dari anak buahnya, ciut juga nyali Ketua Begal Rimba Palung. Perlahan-lahan mereka berkumpul dan bersiap meninggalkan tempat itu.
"Nyi Sri Asih, ingatlah peristiwa ini. Aku tak bisa mendiamkan saja. Suatu saat, rasakan pembalasanku!" ancam Parto Legowo.
"Huh! Menghadapi manusia rendah sepertimu, kapan saja aku siap! Enyahlah dari mukaku, cepaaat..!" bentak Nyi Sri Asih. Masih dengan wajah bersungut-sungut.
Parto Legowo meninggalkan tempat itu diikuti anak buahnya.
"Nisanak, aku Sanjung Lugai mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian," ujar orang tua berbaju kuning seraya memberi salam penghormatan.
"Sudahlah. Ini hanya persoalan biasa. Mereka memang orang-orang yang tak bisa diberi hati. Ki Sanjung Lugai, kalau boleh ku tahu, akan ke manakah kau sekarang? Melihat caramu berpakaian, agaknya kau berasal dari negeri seberang."
"Benar, Nyi...."
"Ah, maaf! Aku lupa menyebutkan nama. Namaku Sri Asih, dan mereka murid-muridku. Kami berasal dari Perguruan Payung Perak," kata perempuan itu memperkenalkan diri.
"Oh, senang sekali bisa berkenalan dengan kalian. Perguruan Payung Perak pernah kudengar dari seberang sana. Kalian termasuk orang-orang yang berkepandaian tinggi. Kedatanganku ke sini karena ada urusan yang harus diselesaikan, sehubungan dengan beberapa muridku yang tewas dibantai orang-orang biadab."
"Muridmu-muridmu tewas?" Nyi Sri Asih terkejut Perempuan berusia hampir setengah baya itu teringat peristiwa seminggu yang lalu. Dan mulai menduga-duga hubungannya dengan orang tua ini. "Ki Sanjung Lugai, apakah kau Ketua Perguruan Bangau Sakti?"
"Ah, ternyata pandanganmu cukup jeli, Nyi Sri Asih. Benar, aku Ketua Perguruan Bangau Sakti."
"Ah! Sayang sekali, Ki. Aku turut berduka cita atas kejadian yang menimpa murid-muridmu...."
"Apakah kau juga mengetahui peristiwa itu?"
Nyi Sri Asih mengangguk. "Saat itu perguruan kami pun diundang Ki Satya Dharma. Tapi sesampainya di sana, perguruan itu telah porak-poranda. Beberapa orang muridnya yang selamat sempat memberi tahu kami, siapa yang melakukan perbuatan biadab itu...."
"Hm, ya.... Kematian Ki Satya Dharma pun telah kudengar. Untuk itulah aku datang ke sini. Orang yang telah menewaskan murid-muridku sama dengan orang yang membunuh Ki Satya Dharma.
"Orang itu bernama Begananda. Dia memiliki kepandaian tinggi, dan kelakuannya belakangan ini semakin meresahkan...."
"Meresahkan bagaimana?"
"Orang itu banyak menewaskan tokoh-tokoh persilatan, semata-mata ingin mendapat pengakuan bahwa dirinya penguasa jagat dan rimba persilatan. Dan belakangan ini menggembar-gemborkan diri telah mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti," jelas Nyi Sri Asih.
"Pendekar Rajawali Sakti? Siapa dia?"
"Seorang tokoh yang disegani di negeri ini. Dia adalah seorang pendekar pembasmi kejahatan yang memiliki ilmu tinggi dan sulit diukur...."
"Hm...," gumam Ki Sanjung Lugai seraya mengerutkan dahi.
"Kini tokoh-tokoh persilatan akan bergabung untuk menghajar Begananda."
"Termasuk kalian juga?"
Nyi Sri Asih mengangguk cepat. "Kalau tak keberatan, kau boleh bergabung dengan kami. Karena kebetulan kita mempunyai urusan yang sama, yaitu menghadapi Begananda. Saat ini banyak tokoh persilatan yang sudah menggabungkan diri...."
"Di mana?"
"Di tempat kediaman Ki Atmojo. Orang tua itu seorang tokoh yang disegani, setelah tewasnya Ki Satya Dharma."
"Hm.... Baiklah kalau demikian."
Kemudian, mereka bersama-sama menuju ke tempat kediaman Ki Atmojo. Orang tua itu memang memiliki pengaruh yang besar, setelah tewasnya Ki Satya Dharma. Selain memiliki ilmu silat serta ilmu olah kanuragan tinggi, dia juga terkenal arif dan bijaksana. Saat mereka tiba, di sana telah banyak berkumpul tokoh-tokoh persilatan dari berbagai golongan. Ki Atmojo menyambut gembira kehadiran Ki Sanjung Lugai.
"Ah, tak kusangka hari ini aku bertemu pendekar besar dari negeri seberang," kata Ki Atmojo yang bertubuh agak pendek dan berkulit hitam.
Ki Sanjung Lugai tersenyum ramah. Apa yang diceritakan Nyi Sri Asih di sepanjang perjalanan tentang orang tua ini tak salah. Sorot matanya lembut dan tutur katanya sopan, dan sangat menghargai lawan bicaranya.
"Ah! Kisanak pandai sekali memuji. Aku hanya orang biasa seperti juga para sahabat yang berada di ruangan ini," sahut Ki Sanjung Lugai.
Ki Atmojo terkekeh kecil mendengar jawaban itu. Kemudian memandang tokoh-tokoh persilatan yang ada di ruangan itu, dan berkata dengan suara pelan namun cukup jelas terdengar.
"Kisanak semua. Tujuan kita berkumpul di tempat ini adalah untuk bersatu, guna menumpas keangkaramurkaan yang dilakukan Begananda beserta anak buahnya. Kita semua mengetahui, orang itu banyak menewaskan tokoh-tokoh persilatan tanpa alasan yang jelas selain menurutkan hawa nafsunya. Perbuatan itu sangat tidak terpuji, sadis, dan tak berperikemanusiaan. Sudah sepatutnya kita bersatu untuk menumpasnya!"
"Ki Atmojo, apakah kau yakin kita akan mampu mengalahkan orang itu? Kudengar dia berilmu tinggi dan memiliki sihir yang hebat. Bahkan terakhir kudengar, berhasil mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti," ujar Ki Jumanta, seorang tokoh persilatan yang berkepandaian cukup tinggi.
"Ki Jumanta, orang itu memang berilmu tinggi, dan sampai saat ini tak seorang pun mampu menghalangi tindakannya. Kita semua juga mendengar Pendekar Rajawali Sakti dapat dikalahkannya. Tapi bukan berarti kalau kita harus takut menghadapinya. Bagaimanapun orang itu harus dihentikan, sebab perbuatan dan tindakannya selama ini sangat terkutuk dan biadab!" sahut Ki Atmojo tegas.
"Aku setuju dengan sikap Ki Atmojo. Apa pun yang terjadi, kita harus siap menanggung akibatnya. Kalau tidak ada yang berusaha menghentikan sepak terjangnya, apa jadinya dunia persilatan? Lagi pula, tak mungkin kita berpangku tangan saja. Sebab, cepat atau lambat orang itu akan mendatangi kita satu persatu," timpal seorang tokoh persilatan bernama Ki Sapto Longko dengan bersemangat.
"Benar apa yang dikatakan Ki Sapto Longko. Kalau kita sudah sepakat menumpas keangkaramurkaan, maka kita harus sudah mengetahui apa akibatnya dan menerimanya dengan lapang dada. Jika memang kita harus tewas, maka kematian bukan tidak berharga. Mereka yang tewas memerangi kejahatan sangat terhormat dibanding mereka yang tewas karena berbuat kejahatan, atau tewas karena kepengecutan," sambung Ki Sanjung Lugai.
Ruangan itu sepi seperti di pekuburan. Ki Atmojo menatap wajah mereka satu persatu. Sesaat kemudian, tak juga terdengar sahutan apa-apa. Orang tua itu kembali berbicara.
"Kisanak semua, kurasa keputusan pertemuan ini telah dicapai. Kita sepakat memerangi orang bernama Begananda, dan menerima akibat yang akan kita derita. Bukankah demikian?!"
Semua yang hadir di tempat itu menyetujui keputusan yang diambil Ki Atmojo.
"Nah, kalau demikian. Mari kita berangkat sekarang menemui orang itu," lanjut Ki Atmojo, langsung bangkit dari tempat duduknya.
Dengan semangat membara, orang-orang itu bangkit dan berjalan mengikuti Ki Atmojo.***
Tempat itu sepi dan jauh dari keramaian manusia. Letaknya persis di dekat sebuah mulut gua, di tepi hutan yang cukup lebat. Pohon-pohonnya besar hingga batangnya tak mampu dipeluk orang dewasa. Di mulut gua terhampar halaman yang cukup luas, ditumbuhi rerumputan pendek. Di sekelilingnya ramai oleh obor-obor yang menerangi. Hari belum malam, tapi suasananya mencekam dalam kesepian dan gelapnya tempat itu.
Lebih dari dua puluh lima orang tanpa baju, berkumpul di tempat itu. Wajah mereka penuh coreng-moreng dan rambut tak terurus. Di dada, leher, dan pinggang penuh dengan tulang-belulang tengkorak manusia. Orang-orang itu hanya mengenakan cawat yang terbuat dari kulit binatang. Di tangan mereka tergenggam sebilah parang. Semua memandang ke tengah tanpa berkedip.
Di situ berdiri sebuah tonggak, terpancang dengan obor di atasnya. Di dekatnya terdapat sebuah altar batu yang cukup lebar, tingginya sekitar empat jengkal dari permukaan tanah. Di atasnya tergeletak seorang bayi yang terus menangis sejak tadi.
Sementara di dekatnya berdiri tegak seorang laki-laki berwajah tampan dengan sorot mata angker. Baju yang dikenakannya terbuat dari kulit binatang, dan berhiaskan tulang-belulang tengkorak manusia. Dialah Begananda.
"Hari ini kita kembali mempersembahkan korban, seorang bayi montok yang sehat dan gemuk," kata Begananda.
"Hidup, Ketua...!"
"Hidup, Penguasa Rimba Persilatan!"
Semua anak buahnya mengelu-elukan. Begananda tersenyum bangga. Dan ketika beberapa di antara mereka memainkan bunyi-bunyian, maka dengan serentak mereka menari-nari mengikuti irama, diiringi suara riuh dari mulut mereka. Setelah selesai menari, mereka membentuk barisan menghadap Begananda. Orang itu telah mengeluarkan topeng kayu dari balik baju, dan langsung mengenakannya. Dicabutnya parang yang terselip di pinggang dan diangkatnya tinggi-tinggi.
"Demi Sang Hyang Kegelapan! Dan demi iblis-iblis penguasa alam semesta! Berikanlah kekuatanmu kepada kami untuk memerintah jagat ini, dan memusnahkan orang-orang yang tak mau tunduk kepadamu. Kami persembahkan seorang bayi dan darah segar kepadamu!" teriak Begananda, yang diikuti anak buahnya. Setelah semua mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba....
"Yeaaa...!"
Cras!
Darah membanjir di altar, ketika Begananda menghunjamkan parangnya yang tajam berkilat ke tubuh bayi yang tak berdosa itu. Tangisnya langsung terhenti. Suasana di tempat itu semakin mencekam ketika kilat membelah angkasa dan petir menyambar ke segala arah. Angin kencang bertiup menerbangkan daun-daun serta ranting kering. Anak buahnya langsung bersujud. Begananda berdiri tegak sambil merasakan tubuhnya yang bergetar hebat.
Perlahan-lahan terlihat keajaiban. Darah bayi itu menguap dan membentuk asap merah yang bergerak cepat menyambar topeng kayu yang dikenakannya. Kejadian itu terus berlangsung sampai darah bayi itu habis, dan hanya terlihat tubuh kecil keriput menampakkan tulang-belulangnya.
"Hari ini Sang Hyang Kegelapan telah memberi restu pada kita. Kalian boleh menggunakan tulang-belulang bayi ini sebagai tanda kekuasaannya!" kata Begananda.
Tanpa diperintah dua kali, anak buahnya langsung menyerbu bagai hewan kelaparan, lalu mempereteli tubuh bayi itu! Mereka memperebutkan tulang-belulangnya untuk dijadikan perhiasan tubuh. Namun saat itu terdengar bentakan keras dan nyaring. Disusul gemuruh petir menyambar tempat itu. Sebatang pohon besar tumbang dan hangus terbakar.
"Iblis-iblis keparat! Perbuatan kalian sungguh biadab. Hari ini tibalah saat kematian kalian!"
"Heh...?!"
Serentak mereka berpaling, dan melihat tempat itu telah terkepung rapat oleh orang-orang bersenjata lengkap. Begananda terkejut sesaat, tapi akhirnya tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa harus bersusah-payah, kalian telah menyerahkan diri padaku!"
"Begananda, menyerahlah! Kau harus menerima hukuman atas dosa-dosamu yang telah melebihi batas!" bentak seorang laki-laki tua bertubuh agak pendek dan berkulit hitam.
Begananda menatap tajam sambil menyeringai buas. "Orang tua busuk! Siapa kau! Apa kau ingin mampus lebih dulu! Kemarilah kalau itu maumu!"
"Dasar manusia iblis! Agaknya orang sepertimu memang tak bisa diberi hati. Baiklah, kalau memang itu keinginanmu. Aku, Ki Atmojo yang akan memberi pelajaran!" geram orang tua itu sambil mencelat cepat dan mencabut keris yang terselip di pinggangnya.
"Hup!"
"Yeaaa...!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
88. Pendekar Rajawali Sakti : Topeng Setan
AcciónSerial ke 88. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.