IV

1.9K 242 8
                                    




Terakhir.

"Kamu sering melakukan ini?"

SeokJin harus ekstra hati-hati dan menjaga pola makannya dengan ketat kalau ia tidak mau tertinggal akibat kecapaian atau terlalu banyak makan dan mengantuk. Di perjalanan, ia bahkan sudah mewanti-wanti berapa liter air yang ia habiskan dan di jalur mana saja ia harus mengeluh capai.

Meski sudah sampai di puncak, ia tidak melihat NamJoon megap-megap karena kurang oksigen atau sekadar kesusahan menanjak. Pemuda itu bahkan sesekali menunggu SeokJin sambil melihat sekitaran. Pandangan matanya bersahabat dan tidak tergoda untuk menoleh ke sana-kemari. Seakan ia sudah mengenal tempat ini lama. Atau mungkin memang iya.

"Beberapa bulan sekali," jawab NamJoon. "Nah, sampai."

Ketika SeokJin menoleh untuk bisa tahu apa yang dimaksud NamJoon, wajahnya berubah masam. Tidak ada apa-apa di depan sana. Cuma hamparan batuan tertutup rumput dengan beberapa titik yang ditutup salju meleleh. Di samping tebing, pepohonan bisa SeokJin dapatkan. Tapi itu pasti bukan tujuan NamJoon.

"Kenapa pula kamu berhenti?" Tanya SeokJin. Ketimbang ia kebingungan dengan sikap pemuda di hadapannya, SeokJin memilih untuk membenahi tali sepatu.

Gendang telinga nya menangkap dengung asing dari arah kiri. Dengan beberapa batuan seakan disapu angin dan menjauhinya. Ia buru-buru menoleh untuk memastikan NamJoon masih ada di tempat.

Okay, what the fuck is that again.

Percik-percik listrik NamJoon membentuk bundaran menyerupai portal. Alurnya yang memutar dengan sulur-sulur petir, membuat SeokJin bergidik. Bentuknya bahkan lebih mengerikan dari sekadar konslet arus pendek listrik. Tingginya kira-kira bahkan melebihi mereka berdua.

"Apa lagi ini?" Tanya SeokJin.

Dibanding menjawab, NamJoon justru mengangkat lengan kanannya tinggi-tinggi. Jemarinya terentang seperti hendak menangkap sesuatu. Tombak panjang melayang dari dalam portal dan menyebabkan SeokJin merunduk karena takut bakal mengenai. Tombak menyala itu berhenti di genggaman tangan NamJoon dan memunculkan mahkota aneh di atas kepalanya. Bentuknya menyerupai cincin besar yang menyala-nyala dan berakar panjang.

"Kamu bertanya, kan, aku ini apa." NamJoon mengulurkan tangan dan disambut oleh SeokJin supaya bisa berdiri. "Mungkin kamu bakal lebih penasaran mencari tahu soal diri kamu sendiri."

"Maksudnya?"

Jari NamJoon menunjuk mahkota di atas kepalanya. "Coba pegang."

"Aku bisa tersetrum, Joon. Aku tahu bagaimana mereka bekerja di bianglala dulu."

"Pegang saja."

Meski enggan, SeokJin berjinjit sebentar untuk bisa mencapai lempengan di atas kepala pemuda itu. Membuat kedua kelopak matanya memejam dan berkerut ketakutan. Setelah dirasa telah menyentuh ujung cincin aneh itu, SeokJin berhenti di tempat. Sejenak merasakan reaksi atas tubuhnya sendiri. Berat sesuatu di atas kepalanya, geli di sekitaran badan dan seseorang menangkup pinggangnya.

Ia mengerjap beberapa kali dan merunduk untuk bisa bertemu pandang dengan NamJoon. Manik matanya menangkap sekelebat kain putih yang ternyata sudah ada di badan, menempel dan seakan telah ia kenakan sedari tadi. Tangan SeokJin meraba-raba di atas kepala dan menemukan lempengan mahkota. Bentuknya mirip seperti piringan dan tidak melayang.

"A-aku butuh penjelasan soal ini," ujar SeokJin sambil terbata.

Lesung di pipi NamJoon terlihat ketika ia tersenyum. Wajahnya mengikis jarak dan mendekat pada SeokJin. "Tentu. Banyak yang harus aku jelaskan."

Lima detik mereka habiskan untuk saling pandang dan SeokJin datang untuk menanam cium di bibir mereka. Merasakan luapan kasih sayang dari orang yang awalnya bahkan bukan siapa-spa. Pelan namun pasti, SeokJin mengecap rasa lain dan itu bukan sesuatu yang buruk. Aroma pegunungan ini adalah saksi mereka bertemu. Tempat ini adalah bukti bahwa SeokJin menemukan jati dirinya sendiri.

"Jadi?" SeokJin bertanya sesaat setelah melepas ciuman. "Aku ini sebenarnya apa?"

"Keturunan Dewi Hera."

"Dewi siapa?"

"Hera."

"Dan kamu?" Lengan SeokJin sudah melingkar di leher NamJoon. Membuat tubuhnya stabil dan tidak mudah oleng. "Apa kamu juga keturunan Dewa dan Dewi?"

"Kamu tidak tahu siapa aku?"

SeokJin menggeleng.

"Benaran?"

"Kalau aku tahu, aku bakal lega. Tapi sayangnya tidak."

"Aku Zeus, Kim SeokJin," jawab NamJoon akhirnya. "Aku dikirim untuk mencari Hera. Dan itu adalah kamu."

"Jadi aku bakal tinggal di dalam sana?" SeokJin menunjuk kumpulan awan di dalam portal yang NamJoon buat. "Dengan kamu?"

"Iya. Itu Olympus. Kamu sebenarnya bisa membuka portalnya tapi karena kamu bahkan tidak sadar, jadi aku yang bukakan."

"Apa kita bakal bersama-sama?"

NamJoon terkekeh pelan. "Iya. Kita bakal bersama. Sampai kamu memutuskan kalau kamu bakal abadi."

"Terimakasih."

"Terimakasih?"

"Karena sudah menemukanku."

...

CosmogyralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang