1. First Day

747 69 26
                                    

Jakarta, Indonesia

Naava selesai dengan dandanannya. Senyum manisnya terpatri penuh kepalsuan. Rambutnya sudah ia curl hingga bergelombang, bibirnya yang pink alami ia tambahi dengan lipbalm merah secara tipis hingga terlihat ombre.

"Naava, sudah siap?"

Sang Ibunda sudah menanti di depan pintu kamar. Wajahnya lembut namun masih terkesan tegas. Ibunda menatap putrinya dari atas hingga bawah dengan tatapan menyelidik

"Bunda harap, kamu gak aneh-aneh lagi di sekolah barumu,sayang"

Naava mengedikkan bahu, ia tak peduli. Tangannya menyalimi tangan Ibunda lalu meninggalkannya sendirian di kamar.

"Pagi Ayah, aku naik mobil apa--"

"Kamu gak ayah antar, naik motormu sendiri" tegas Tuan Hurboef tanpa menatap putrinya. Pandangan pria itu terus fokus pada tab di samping kopinya.

Naava membuka mulutnya tak percaya, "Ayah! Ini hari pertamaku sekolah!"

"Hari pertamamu sekolah di London kemarin. Hari ini hanya hari biasa dimana Ayah tak mau mempermalukan nama perusahaan Ayah hanya gara-gara kamu"

Lagi-lagi, Naava tersenyum miris dalam hati. Lihat kan? Ayahnya sendiri malu memiliki putri sepertinya. Bagaimanapun juga, ia masih ingat dengan ketidakpedulian mereka saat masih SMP dulu. Hatinya kembali mengeras. Ia benci hidup ini.

"Aku berangkat" gumam Naava. Gadis itu melangkah pergi tanpa menyentuh sarapannya sama sekali.

Sang Ibunda turun dari tangga. Wajahnya menyiratkan kepasrahan. "Jangan terlalu keras. Terakhir kali kau menghukumnya, besoknya dia mendorong anak tak bersalah ke kolam renang"

Tuan Hurboef menggeram frustasi, "lalu kau mau aku bagaimana,sayang? Jika kita biarkan seperti itu, apa jadinya dia saat dewasa nanti? Saat ia meneruskan perusahaan kita?" Logat Perancisnya keluar tanpa sepengetahuan pria itu.

Nyonya Hurboef tersenyum miris. Ia mendekati suaminya yang sudah frustasi dengan keadaan putri mereka satu-satunya. "Kita biarkan sebentar, jika dia tetap melonjak..."

Sang Istri menghentikan kalimatnya, Tuan Hurboef menatap kekasih hidupnya itu dalam. Kemudian ia melanjutkan, "... Aku terpaksa mengurungnya"

~'~

Motor vespa putih dengan plat HF, khusus untuk keluarga Hurboef berhenti di depan SMA swasta Melati. Ia menaikkan kaca helmnya ke atas, menatap secara detail sekolah yang besarnya hampir menyamai sekolahnya di London kemarin. lagi-lagi gadis itu mengeraskan hatinya,mencoba melupakan kenangan yang lama itu. kenangan di negara yang ia pijak sekarang.

Dengan wajah penuh kepalsuan, Naava memarkirkan sepeda motornya di parkiran dan berjalan dengan santai. Wajah Naava tersenyum manis kepada siapapun yang melakukan eye contact dengannya.

"Hai, kak! Baru pindah kesini ya? Sudah tahu kakak di kelas berapa?" Naava dikejutkan dengan seorang gadis yang menggunakan jas biru dongker. Naava langsung menyadari gadis ini adalah anggota OSIS

Naava kembali menampilkan senyuman terbaiknya, "iya,dek. Kata Ayah, gue harus ke ruang kepsek dulu"

Adik itu mengangguk imut, "iya kak, mari saya tunjukkan"

Keduanya pun berjalan. Selama perjalanan, tak sedikit siswa-siswi menatap keduanya kagum. Bagaimanapun juga, Naava mengakui adik osisnya ini lumayan cantik,apalagi baik, seperti dirinya dua tahun yang lalu.

"Ini kak. Kalau ada apa-apa, kakak bisa panggil aku di ruang Osis hari senin dan kamis"

"Terima kasih,dek. Btw, nama gue Naava"Naava mengulurkan tangannya, lalu disambut hangat oleh adik itu, "Kinan, Kak. Kelas sebelas IPA 4"

Setelah itu keduanya mengucapkan salam perpisahan. Naava terus mengingat nama gadis itu, mencari waktu yang tepat untuk menjadikan gadis itu korban.

Naava membuka pintu ruang kepala sekolah setelah ketukan ketiganya di pintu. Ia melihat seorang pria paruh baya dengan tampang ramah dan tak keras seperti kepala sekolah lainnya.

"Selamat datang di SMA Melati, Naava"

Naava tersenyum. Ia duduk di sofa. Matanya menelusuri ruang kepala Sekolah barunya. Lumayan, pikirnya. Artinya sekolah ini tak seburuk yang ia kira. Dan Naava yakin bukan hanya dia anak dari seorang pengusaha sukses.

"Saya dengar kamu sudah dikeluarkan dari sekolah dua kali karena sikap tidak terpujimu itu"

Naava menoleh cepat. Matanya memicing, "Ayah bilang kayak gitu?"

Kepala Sekolah, Pak Agus Briptanomo, mengangguk. Wajahnya yang ramah berubah menjadi serius, "saya harap kamu bisa belajar dari apa yang kamu alami. kami berharap kamu bisa berubah menjadi anak yang lebih baik, Naava"

Tawa kecil keluar dari mulut Naava, menggema di ruang kepala Sekolah itu. "Itu harapan Ayah kan pasti? Asal Pak Agus dibayar, bapak akan tetap menyekolahkan saya kan? Dan bapak akan mengeluarkan saya jika Ayah saya sudah cukup malu meninggalkan putri 'tercinta'nya di sekolah ini"

Naava berdiri, ia tersenyum miris. "Kelas saya dimana, pak?"

Pak Agus masih terkejut dengan kalimat berani Naava. Ia hanya tersenyum ramah, kemudian memberikan map coklat yang bertuliskan 'XII IPA 5'. Sebelum Naava meninggalkan ruangan kepala Sekolah, Pak Agus mengatakan kalimat yang membuat Naava berpikir apa maksudnya.

"Menjadi malaikat tak selalu menyenangkan, begitu pula dengan jika menjadi iblis. Namun ada titik dimana kamu harus berdiri tanpa perlu menyentuh keduanya. Dunia terkadang mengkodemu dengan begitu rumit"

~'~

"Perkenalkan namaku Feinaava Dewi Hurboef"

Kelas yang hening tiba-tiba ribut dengan pertanyaan yang terlontar tanpa aba-aba. Naava melihat keributan yang ia lihat, sangat berbeda dari London dan Paris. Yang dimana saat ia berkenalan, banyak lelaki yang memberikan tatapan menggoda atau hanya mengedipkan mata. Sedangkan di negara ini? Mereka tanpa malu menanyakan pertanyaan yang sungguh menurutnya bisa menghancurkan sisi manis dan lembutnya.

Naava tersenyum getir. Sepertinya wali kelasnya paham dengan perasaan Naava. Sekali pukulan penggaris di papan, semua murid diam. Ibu Hartini tersenyum pada Naava, "maaf ya nak. Kelas ini emang paling absurd dari yang lain. Saya juga gak tahu kenapa kepala sekolah nyuruh saya jadi wali kelas mereka" kemudian Ibu Hartini melirik muridnya tajam.

Naava tertawa kecil, kemudian ia izin untuk duduk. Dalam hati, Naava bersorak gembira. Kursi paling belakang memang sangat cocok untuknya.

Naava tersenyum lembut saat tatapan gadis-gadis yang ia pikir akan memberikan tatapan sinis itu malah menyapanya lembut nan ramah. Kepalanya kembali berpikir keras saat salah satu dari mereka ada yang bergaul dengan siswi kucel dengan kacamata tebal bertengger di hidungnya.

"Jadi... Ayah menyekolahkan ku di sekolah 'normal'?"

~'~

Haii semuaaa. Tertarik ga sama ceritanya? Hehe.

Semoga cerita ini sukses yaaaa, aamiin.

Vomment❤️

10 Juni 2020

(UN)FAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang