Prolog

1.5K 103 21
                                    

Koridor panjang lantai dua Sekolah Internasional Paris kali ini tetap ramai walau bel masuk sudah berbunyi. Pandangan para siswa-siswi menatap tajam dan takut seorang gadis yang sudah memporak-pandakan sekolah mereka. Ada yang berlari masuk ke kelas karena tak berani berurusan dengan gadis blasteran itu.

Feinaava Dewi Hurboef. Di usianya yang masih 17 tahun, ia sudah mengalami dikeluarkan dari sekolah di London. Dan sekarang, sepertinya akan menjadi yang kedua kalinya. Naava akan dikeluarkan hanya jangka setahun sekolah di SMA bergengsi Paris.

Naava berjalan dengan kepalanya ia dongakkan ke atas, sifat keras kepala dan percaya dirinya tak turun sedikitpun walaupun sudah ada puluhan murid menatapnya penuh benci.

Di koridor yang sepi tiba-tiba ada yang berteriak keras dan melempari Naava gumpalan kertas,"KELUAR DARI SEKOLAH KAMI! KAU MONSTER!"

Naava menghentikan langkahnya, gadis itu mengarahkan pandangannya pada salah satu gadis yang berteriak. Seorang gadis dengan wajah memerah hendak menangis, kacamatanya turun hingga hidung dan rambutnya berantakan. Gadis itu adalah korban terakhir Naava dalam kegiatan 'balas dendamnya'. Atau mungkin kebanyakan orang mengatakannya 'Bullying'.

Dengan pandangan yang tajam, Naava tersenyum tipis. "Sepertinya ada yang ingin mengatakan salam perpisahan. Bukankah begitu, Louzeè?" Suara Naava dengan bahasa Inggrisnya yang kental menggema di koridor.

Naava berjalan mendekati Louzeè. tak ada yang berani menghentikan Naava atau hidupnya akan serupa dengan Louzeè. Gadis yang berteriak tadi langsung bergetar takut, kakinya tak bisa berlari dan hanya bisa melihat Naava bergerak mendekatinya.

Tangan Naava menarik rambut Louzeè kasar, "sayang sekali, kita harus berpisah. Padahal aku ingin sekali melihatmu menangis sambil menyerahkan surat keluar dari sekolah. Tapi sepertinya aku harus mencari target baru. Bersyukurlah, Louzeè. Aku membencimu" setelah itu Naava melepaskannya dengan kasar pula.

Gadis itu kembali berjalan menuju ruang kepala sekolah. Apalagi jika tak masalah keluar dari sekolah? Ayahnya lagi-lagi membereskan masalah yang ia perbuat dengan uang,hingga polisi tak bisa campur tangan. Yang artinya, Naava akan pindah lagi. Entah selanjutnya akan kemana.

Naava membuka pintu ruang kepala Sekolah tanpa mengetuk. Disana duduk Kepala Sekolah dan Ayahnya yang pasti sedang membicarakan dirinya.

"Mana sopan santunmu,Naava?" Tegas Ayahnya, Tuan Hurboef.

Naava menjawab dengan santai, "tertinggal di Indonesia"

Kepala Sekolah tersenyum tipis nan kaku. Ia menggeleng lalu membujuk Tuan Hurboef untuk tidak mempermasalahkan hal tersebut. Kini Naava sudah duduk di samping Ayahnya.

Beberapa detik ruangan terasa hening, hingga kepala sekolah memecahnya,"Kamu akan dikembalikan ke orangtuamu, Naava"

Dengan santai Naava menjawab, "baguslah. Sekarang apa kita bisa pulang,Yah?"

Tuan Hurboef memberikan tatapan tajam pada putrinya, lalu berbicara singkat pada kepala Sekolah bahwa ia akan membicarakannya lebih detail setelah mengantar Naava pulang. Di dalam hati Naava tersenyum gembira, ia harus mengistirahatkan otaknya untuk memikirkan rencana 'balas dendam'nya di sekolah selanjutnya.

Mereka keluar dari sekolah itu. Naava memperhatikan parkiran mobil, tidak ada pengawal ayahnya. Hanya ada satu mobil, yaitu mobil pribadi Ayahnya.

"Mana mobilku--"

"Diam!"

Naava tersentak. Ayahnya membukakan pintu untuk dirinya. Naava masuk dengan hati yang waswas. Ayahnya masih marah ternyata.

Mobil dinyalakan, Ayahnya menyetir kali ini,tidak seperti biasanya. Beberapa menit perjalanan keduanya masih diam. Naava tak masalah dengan situasi seperti ini, ia membuka handphonenya, mencari aplikasi instagramnya yang sudah mencapai 45K followers. Followersnya ia dapat dari sekolah yang pernah ia tempati,hingga sekarang.

"Naava, ini sudah keberapa kalinya kamu membuat kesalahan?"

"Buanyak" jawab Naava dengan santai dalam bahasa negaranya.

Tuan Hurboef memukul setirnya kasar, "Ayah gak tahu kamu kenapa selama di Indonesia dua tahun yang lalu, tapi kelakuanmu gak bisa Ayah maafkan!" Kini Sang Ayah ikut menggunakan bahasa kelahiran Istri dan putrinya.

Naava memalingkan wajahnya menghadap kaca. Tak mau mengingat kejadian itu. Semakin ia mengingatnya, keinginannya membalas dendam makin tinggi.

"Di sekolah selanjutnya Ayah gak akan bantu kamu kalau kamu kena masalah. Selesaikan sendiri!"

Tanpa minat Naava mengiyakan. Ia tak begitu ambil pusing ancaman itu. Bahkan jika ia harus menghentikan pendidikannya, ia tidak takut. Ia sudah bertekad melakukan ini semenjak kejadian dua tahun yang lalu.

Lamunan Naava pecah saat mobil Ayahnya tidak menuju arah rumah, melainkan bandara. Naava menoleh pada Ayahnya dengan pandangan bingung.

"Yah, aku mau dipindah kemana? Dan kenapa gak pulang dulu?"

Sang Ayah menjawab tanpa menoleh. Pandangannya sibuk mencari pengawal yang sudah ia perintahkan, "semua barang sudah Ayah pindahkan. Kamu tinggal kesana, Ibumu juga sudah di rumah barunya"

Naava mengangguk. Kemudian ia menunggu hingga Ayahnya mengisyaratkan dirinya untuk keluar.

Beberapa menit setelah menghadapi banyaknya masalah yang Ayahnya urus, Naava akhirnya diperbolehkan turun. Ia mengadahkan kepalanya senang, ia akan pindah setelah ini.

Namun kesenangan itu terganti oleh perasaan penasaran saat ia belum mengetahui kemana ia akan pindah. Gadis itu berlari ke arah ayahnya yang sedang berbicara dengan pengawal-pengawalnya.

"Ayah--"

"Sayang, Ayah akan tetap di Paris untuk mengurus kepindahanmu. Pulanglah dengan mereka" Ayahnya tiba-tiba mencium puncak kepala Naava lalu pergi begitu saja setelah menjelaskan semuanya. Naava tak sempat menanyakan pertanyaannya.

Kini dihadapannya ada sekitar lima pengawal yang akan mengantarnya pulang dan mengawasinya 24 jam selama di pesawat. Ia mendengus kesal, lalu berjalan ke dalam bandara.

"Nona, pasportnya"

Naava mengambilnya kasar, ia berjalan cepat. Hingga lagi-lagi ia tak tahu harus naik pesawat apa dan ke negara mana ia harus turun. Naava berhenti dan membuka pasport dan tiket pesawatnya.

Detik itu juga jantung Naava seolah berhenti. Kakinya bergetar,begitu pula dengan tangannya. Nafasnya tersendat-sendat. Kepingan memori buruk tiba-tiba saja muncul dan menutupi pandangan gadis itu. Seolah ia harus melihat kembali memori itu.

"A-ayah" ucap Naava dengan bergetar.

Ayahnya benar-benar menghukumnya. Ia tak mengira bahwa Ayahnya akan melakukan ini. Naava hendak membalikkan badan namun gagal karena para pengawal Ayahnya sudah menghadang segala sisi Naava.

"Menyingkir dari hadapanku!"

"Anda harus segera ke pesawat,nyonya"

Naava memejamkan matanya. Ternyata Takdir masih memberinya tamparan keras. Belum cukup hidupnya begitu menderita dua tahun yang lalu, kini ia harus kembali?

Dengan wajah mengeras, Naava membalikkan badannya. Tangannya menggenggam erat paspor dan tiket pesawatnya. Lagi-lagi ia membenci hidupnya, membenci wajahnya. Semua yang ia miliki sudah ditukar dengan kebahagiaannya. Tiap jam, menit,ataupun detiknya, Naava selalu mengingat apa yang orang-orang katakan dan terus membenci kehidupannya.

Detik kemudian Naava kembali berjalan. Tangannya mengeluarkan permen karet favoritnya, mengunyahnya tanpa pikir panjang. Senyum tipis terpatri di wajah gadis itu.

"Hai Indonesia,long time no see"

~'~

Hai! Selamat datang dicerita baruku! Hehe.

Cerita ini bakal slow update karena aku mau fokus nyelesaiin TF dulu.

Semoga suka ya! Love ya

Vomment❤️

13 Mei 2020

(UN)FAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang