I

9 0 0
                                    

Matahari mulai nampak dari ufuk timur, menyertai kebisingan yang ditimbulkan oleh seorang gadis bernama Jeehan Haura Asfhaiq. Gadis tersebut sibuk memarahi sang adik, Muhammad Jeno Ashfaiq.

"Astaghfirullah Jeno! Pancinya bunda kenapa bisa gosong kaya gini sih?" Teriaknya sembari berusaha keras menghilangkan kerak-kerak hitam yang menghiasi panci kesayangan sang ibunda.

"Maaf kak, tadi Jeno niatnya mau bikin mie instan tapi kelupaan ditinggal beresin buku sebentar." Sahut Jeno dengan nada menyesal.

Ya dia menyesal sekaligus takut jika bundanya mengetahui hal ini, otomatis uang jajannya pasti akan dipotong.

"Kan kakak udah siapin sandwich itu, ga main-main loh isiannya komplit."

"Ya namanya juga pengen kak."

Jeehan terdiam dan memikirkan apa yang harus dikatakan pada bundanya.

"Kak Jee, ngomong sama bunda gimana dong. Pasti ntar aku dimarahin ini, uang jajan juga bakalan dipotong." Ujar Jeno bersungut-sungut.

Sang kakak memutar bola matanya malas,
"ya kan emang itu salah kamu, kok malah kamu yang kesel sih. Udah deh pancinya diurusin nanti aja, sekarang mending kita berangkat keburu telat."

🖇🖇🖇🖇🖇

"Muka lo kenapa kusut begitu sih Don."

Pria yang dipanggil Don alias Doni Yaqdhan Wijaya tersebut menoleh dengan tampang loyo-nya.

"Gue males banget Nif, umi lagi-lagi nyuruh gue ta'aruf." Sahutnya pasrah.

"Yaelah, lagian umi udah nyuruh dari kapan kaga lo lakuin sih. Tau kan perintah ibu itu wajib, apalagi masalah pernikahan begini." Hanif menepuk punggung teman karibnya itu, mencoba membuka pikiran Doni yang sulit untuk melakukan perintah sang ibu.

"Ya kan lo tahu sendiri gue belum bisa move on dari-"

"Senja? Buset, dia sudah jadi istri orang woy! Jangan numbuhin bibit pebinor deh di hati lo."

Doni melotot mendengar suara Hanif yang meninggi, mengakibatkan dirinya menjadi pusat perhatian di dalam cafe ini.

"Heh! Lo kalo ngomong gausah macem toak masjid bisa dong. Malu-maluin saja. Lagian paham gak sih lo, di dalam islam kita itu dilarang memotong perkataan lawan bicara-"

"Ya kalo lo nya ngomongin masa lalu antah berantah itu, gue gabisa ga motong. Kesel asli." Jawab Hanif mencebikkan bibirnya.

"Bro masalah hati itu susah dikompromiin." Ujar Doni yang membuahkan muka gondok di lawan bicaranya itu.

Hanif menghela nafas cukup panjang, menandakan ia jenuh dengan sikap berlebihan Doni kepada Senja.

"Don, lo tau kenapa hati lo susah diajak kerja sama? Ya karena lo gak tawakal sama Allah. Seharusnya pas lo jatuh cinta ke Senja, lo tetap nanem di hati lo kalo Allah itu yang nomor satu. Masalah jodoh itu udah diluar kuasa kita. Yang bisa kita lakuin ya berdoa, sekaligus mengubah diri jadi better lah ya. Karena kan jodoh adalah cerminan diri kita. Kalo gue boleh ngasih saran as a muslem and as a close friend, mending lo nurut sama umi. Coba deh lo ikut itu program ta'aruf, sambil istiqarah. Yakin lah, lo bakal dapet istri yang terbaik menurut Allah."

Doni terdiam, menyadari jika yang temannya itu katakan ada benarnya. Ia buta, buta akan cintanya pada Senja. Gadis itu yang selalu dinomor satukan oleh dirinya, melupakan Allah sekaligus uminya. Astaghfirullah hal adzim.

  ***********

Labuhan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang