II

6 0 0
                                    

"Assalamualaikum." Jeehan dan Jeno bebarengan mengucapkan salam, mereka sudah dibiasakan sejak kecil untuk selalu mengucap salam saat memasuki rumah.

"Jen-"

"Waalaikumsalam."

Kakak beradik itu memandang satu sama lain, memasang muka khawatir.

"Bunda?" Yap, bunda mereka sudah pulang. Tanda mereka harus siap dengan omelan akibat panci gosong pagi tadi.

Jeehan dan Jeno bertatapan seakan mata mereka bicara satu sama lain.

'Jen sana ngomong ke bunda, minta maaf'
'Kakak aja dong omongin ke bunda'

"Bunda, sebelumnya Jeehan sama Jeno mau minta maaf. Tadi pagi kita rusakin panci bunda, sekarang gosong." Ujar Jeehan dengan muka memelas, Jeno pun hanya bisa menundukkan kepalanya.

"Iya bunda tau kok pancinya gosong, sudah gapapa cuma panci aja. Lain kali hati-hati ya Jee, Jen." Sahut ibunda membuat Jeehan dan Jeno tersenyum lega.

Mungkin bagi kebanyakan orang hal seperti itu dinilai berlebihan, tetapi Jeehan dan Jeno berbeda. Mereka dididik untuk selalu bertanggung jawab untuk hal sekecil apapun. Karena segala hal yang kita lakukan sudah pasti dihisab oleh Allah Ta'ala nantinya.

"Kakung sama uti bagaimana bun? Sehat kan?" Tanya Jeehan pada ibunya yang sedang asyik menonton siaran berita.

"Alhamdulillah Jee, kakung sama uti sehat kok. Mereka kangen loh sama kamu dan Jeno. Kapan mau jenguk?" Jawab Fatimah, bunda tersayang Jeehan dan Jeno.

Gadis ayu nan kalem tersebut diam berpikir,
"hmm nanti ya bun kalo anak-anak sudah UAS. Sekalian Jeno juga libur semester. Insyaa Allah kita langsung kesana."

"Jeehan, tahu gak kakek sama uti pengen kamu ta'aruf loh. Mau dikenalin sama anak teman kajiannya uti."

"BAHAHAHAH kak Jee ta'aruf?" Sela Jeno yang tiba-tiba muncul entah darimana.

"Kok tiba-tiba sih bun? Lagian aku belum kepikiran kesitu." Jawab Jeehan khawatir, ia takut jika bundanya juga meminta dirinya menjalani program ta'aruf.

"Kapan dong kepikirannya? Manusia kalo udah cukup usia, cukup bekal ilmu pernikahan, bekal pondasi agama, bekal materi juga lebih baik menikah, sayang. Usia kamu udah mateng banget kan? 25 tahun." Jelas panjang lebar bunda Fatimah, yang membuat Jeehan mengiyakan dalam hati.

'Iya sih, seenggaknya kalo ingin menyempurnakan ibadahku ke Allah kan dengan menikah. Ya Allah tolong yakinkan hati hambamu ini.'

                             🖇🖇🖇🖇🖇

Hari yang menbuat Jeehan gugup pun tiba. Ia mencoba tawakal kepada Allah Ta'ala, gadis itu juga yakin jika utinya pasti tidak main-main dalam mencarikan suami untuk cucu kesayangannya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Jeehan Haura Ashfaiq binti Ahmad Ashfaiq dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."

Gadis yang disebutkan namanya itu terlihat meneteskan air mata. Bukan karena ia tidak mencintai lelaki yang menikahinya, tapi karena ia merasa terharu. Terharu dengan momen di depan matanya itu, terharu mengingat ayahnya tidak bisa berada disini.

"Jeehan ikhlas ya sayang?" Tanya sang ibu sembari memeluk dirinya.

"Insyaa Allah bunda, Jeehan percaya kalau ini pilihan Allah dan pasti yang terbaik."

"Monggo nak Jeehan kemari, dicium tangan suaminya." Panggil pak Penghulu.

Jeehan mendekat, jantungnya berdegup tak karuan apalagi saat tangannya menyentuh tangan sang suami.

Tak jauh berbeda, suami Jeehan, Doni Yaqdhan Wijaya berusaha sekuat tenaga untuk menahan kegugupannya.

Mulai kedepannya mereka akan mengarungi bahtera rumah tangga, beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

                                        **********

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Labuhan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang