BAGIAN 1

747 22 0
                                    

Pagi baru saja datang menjelang. Matahari belum lagi penuh menampakkan dirinya. Hanya cahayanya saja yang kuning kemerahan dari balik puncak Gunung Jungkun, di sebelah timur. Kabut tebal pun masih terlihat menyelimuti puncaknya. Saat burung-burung ramai berkicauan, terlihat seorang pemuda berjalan tertatih-tatih.
Semak belukar yang lebat disibaknya. Juga kerapatan pepohonan di kaki lereng Gunung Jungkun ditembusnya. Pakaiannya terlihat koyak, penuh noda darah yang telah kering. Bekas-bekas luka terlihat hampir di sekujur tubuhnya. Sesekali dia jatuh terguling, tersangkut akar. Tapi, pemuda itu cepat bangkit berdiri, dan terus melangkah terseok-seok.
"Oh...?!" Tiba-tiba saja kedua bola mata pemuda itu jadi terbeliak lebar.
Kepalanya terangkat ke atas dengan mulut ternganga. Seakan-akan, di depannya terlihat sesosok hantu. Tapi sebentar kemudian, kepalanya berpaling ke belakang. Saat itu, terdengar derap langkah kaki-kaki kuda yang dipacu cepat dari arah belakangnya. Suara teriakan orang-orang menggebah kuda pun terdengar, menimpali hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
"Celaka...! Ke mana lagi aku harus pergi...?" desis pemuda itu, dengan wajah pucat pasi.
Jelas sekali terpancar dari raut wajahnya, kalau pemuda itu tengah kebingungan dan ketakutan setengah mati. Beberapa saat pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian kembali melangkah tergesa-gesa dengan kaki terseret. Dari gerakan kakinya, jelas sekali kalau luka yang dideritanya cukup parah.
"Ugkh...!"
Bruk!
"Sial...!"
Sebatang akar pohon yang menyembul dari dalam tanah menghantuk kakinya. Akibatnya, pemuda itu jatuh terguling. Setelah sedikit mengumpat, dia bergegas bangkit berdiri lagi dan terus saja melangkah tertatih-tatih. Sementara suara hentakan kaki-kaki kuda semakin jelas terdengar.
"Heh...?! Jurang...," pemuda itu mendesis tertahan. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu di depannya terlihat sebuah jurang dalam menganga. Dan ketika wajahnya berpaling ke belakang, tampak debu mengepul tidak jauh di balik lebatnya pepohonan. Kecemasan semakin jelas membayang di wajahnya.
"Apa akalku sekarang...?" desis pemuda itu bertanya pada diri sendiri. Kembali pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kemudian kakinya bergegas melangkah menghampiri sebongkah batu yang sangat besar. Lalu dengan susah payah, bongkahan batu itu dinaikinya. Kemudian tubuhnya bergulir turun ke baliknya. Tapi saat itu juga, bola matanya jadi terbeliak lebar. Ternyata di balik batu ini menganga jurang yang sangat dalam. Sementara tanah yang menjadi pijakan kakinya hanya sedikit saja.
"Dewata Yang Agung... Tolonglah lepaskan aku dari kejaran mereka...," desah pemuda itu, bernada putus asa.
Sementara, suara orang-orang yang mengejarnya semakin terdengar dekat saja. Dan pemuda itu tidak berani bergerak sedikit pun juga. Sedikit kepalanya mendongak ke atas, menatap bagian atas bongkahan batu ini. Ada sedikit rasa lega di dalam hati, begitu mengetahui dirinya terlindung batu yang sangat besar ini. Jadi, tidak akan mungkin ada orang yang bisa melihat ke balik batu ini dari atas sana.
Saat itu, tidak terdengar lagi derap kaki kuda. Yang terdengar kini hanya suara-suara beberapa orang bernada kasar. Terdengar jelas sekali suara orang-orang berbicara keras itu. Seakan-akan, tepat di balik bongkahan batu ini. Maka, pemuda itu semakin tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk bernapas pun, seakan-akan tidak berani dilakukannya.
Seluruh tubuh pemuda itu sudah bersimbah keringat yang bercampur noda darah kering. Sementara geletar tubuhnya semakin bertambah keras, ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berkumis melintang tebal tampak tengah berdiri tegak di atas bongkahan batu ini. Pandangannya beredar ke sekeliling, lalu kepalanya dijulurkan ke bawah.
"Kau lihat dia, Randaka...?" terdengar teriakan seseorang dari balik batu itu.
"Tidak! Hanya jurang yang terlihat..!" sahut laki-laki berusia separuh baya yang berdiri di atas batu. Dialah yang bernama Randaka. Beberapa saat, Randaka masih berdiri di atas batu itu. Pandangannya terus beredar ke sekeliling. Tapi memang, pemuda yang bersembunyi di bawahnya sama sekali tidak bisa terlihat lagi, karena terlindung batu yang sedikit menjorok ke dalam jurang.
"Hup...!" Dengan gerakan yang begitu ringan, laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu melompat turun dari atas bongkahan batu. Begitu ringan kakinya menjejak tanah berumput cukup tebal ini. Jelas, kepandaiannya tidak bisa dikatakan rendah lagi. Lalu, bergegas dihampirinya teman-temannya yang berjumlah tujuh orang.
Mereka semuanya laki-laki, bertubuh tegap dan berotot. Pakaian yang mereka kenakan warna biru muda, dengan potongan dan bentuk sama persis. Masing-masing di pinggang, tersandang sebilah pedang yang bagian ujung tangkainya berbentuk kepala seekor ular tengah menjulurkan lidahnya. Dan rata-rata, usia mereka sudah berada di atas empat puluh tahun. Hanya satu orang saja yang tampak masih muda. Mungkin baru dua puluh lima tahun. Tapi, pakaiannya lebih bagus dari yang lain.
"Huh! Mustahil kalau bisa menghilang begitu saja...!" dengus pemuda berwajah cukup tampan itu.
"Mungkin sudah jatuh ke dalam jurang, Barada," kata Randaka menduga-duga.
"Jurangnya dalam sekali. Bahkan aku sendiri sulit untuk melihat dasarnya."
"Mungkin juga, Den Barada. Jejaknya saja terputus sampai di sini," sambung laki-laki yang bertubuh kurus.
"Kalaupun dia tidak jatuh ke dalam jurang, mana mungkin bisa bertahan hidup dalam keadaan seperti itu? Dia pasti mati kehabisan darah," sambung yang lain.
"Aku belum puas, kalau belum bisa membawa kepalanya pada junjungan!" dengus pemuda berwajah cukup tampan yang bernama Barada.
"Lalu...?" tanya Randaka terputus.
"Cari sampai ketemu. Aku tidak akan kembali, sebelum kepalanya berada dalam genggaman tanganku!" tegur Barada sambil mengepalkan tangannya erat-erat.
Mereka semua jadi saling berpandangan satu sama lain. Dan memang, di antara mereka berdelapan, Barada-lah yang paling tinggi tingkat kepandaiannya. Padahal usianya jauh lebih muda dari mereka. Apalagi Barada juga junjungan mereka. Hingga tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa membantah kata-katanya. Terlebih lagi, mereka tahu betul watak Barada. Dia tidak akan segan-segan memenggal kepala orang yang membuatnya jadi susah.
Memang, Barada cepat sekali naik darah, sehingga gampang meloloskan pedangnya. Tanpa diperintah dua kali, tujuh orang yang bersama Barada segera berpencar di sekitar jurang yang berada di kaki lereng Gunung Jungkun ini. Sedangkan Barada kembali meneliti tanah di sekitarnya. Jelas sekali terlihat di atas rerumputan, jejak-jejak kaki serta tetesan noda darah yang sudah hampir mengering. Diikutinya jejak-jejak yang tertera jelas, dan berakhir tepat di atas bongkahan batu sebesar kerbau ini. Barada berdiri tegak di atas bongkahan batu itu.
"Hm.... Mungkinkah dia jatuh ke dalam jurang...?" gumam Barada bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Jejak-jejak yang ada memang berakhir di atas batu ini. Tapi, tampaknya Barada tidak mau percaya begitu saja kalau buruannya terjerumus ke dalam jurang. Maka, kepalanya segera dijulurkan, mencoba menembus kabut tebal yang menutupi dasar jurang di depannya. Tapi kabut begitu tebal, sehingga sulit ditembus dengan pandangan mata biasa.
"Hm...," tiba-tiba saja Barada menggumam kecil. Dan kelopak mata pemuda itu jadi menyipit. Keningnya juga terlihat berkerut. Perlahan tubuhnya direbahkan di atas batu itu. Lalu sedikit demi sedikit, tubuhnya bergeser. Hingga akhirnya, kepalanya menjulur ke jurang. Dan saat itu juga....
"Ha ha ha...!"
"Oh...?!" Pemuda yang masih berada di balik batu itu jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat kepala Barada menjulur ke bawah sambil tertawa keras terbahak-bahak. Begitu terkejutnya, sampai tangan kanannya tanpa sadar meraih sebuah batu sebesar kepalan tangan. Lalu dengan sisa-sisa kekuatan tenaga yang masih ada, batu itu dilemparkannya ke arah kepala Barada.
"Hih! Pergi kau, Iblis Busuk...!"
Wusss! "Upsss...!"
Untung saja Barada cepat menarik kepalanya kembali, sehingga lemparan batu itu tidak sampai mengenainya.
"Setan...!" geram Barada berang. Dia cepat berdiri tegak di atas batu itu. "Randaka! Kalian semua ke sini! Cepat..!" seru Barada lantang menggelegar.
Randaka dan enam orang lainnya bergegas datang menghampiri, begitu mendengar teriakan Barada yang begitu keras menggelegar. Sebentar saja, mereka sudah berada di sekitar bongkahan batu sebesar kerbau itu.
"Tikus busuk itu ada di sini. Di balik batu ini," jelas Barada. Wajah Barada kelihatan berseri-seri. Tidak memerah seperti tadi, ketika kehilangan buruannya. Dan tujuh orang yang bersamanya juga jadi gembira mendengar buruannya masih ada. Maka mereka bergegas naik ke atas batu, dan menjulurkan kepala ke bawah. Tapi setiap kali menjulurkan kepala, dari balik batu itu terlempar batu-batu sebesar kepalan tangan. Untung saja, mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Sehingga, lemparan batu itu bisa cepat dihindari.
"Setan keparat..! Dia mulai berani pada kita, Den Barada!" geram Randaka gusar.
"Kalian tangkap dia. Ingin sekali kepalanya kupenggal dengan pedangku sendiri!" perintah Barada.
Tanpa menghiraukan yang lain, Barada bergegas melompat turun dari atas batu itu. Sedangkan tujuh orang anak buahnya, jadi saling berpandangan. Tentu saja sulit bagi mereka untuk menangkap pemuda itu. Sedangkan batu ini berada tepat di bibir jurang. Bisa-bisa, malah mereka sendiri yang terjerumus ke dalam jurang ini. Padahal, tidak ada jalan lain lagi, selain melalui bagian atas batu ini
"Huh! Mau enaknya sendiri...!" gerutu salah seorang kesal.
"Sudah... Kalau dia sampai dengar, bisa celaka kau," seorang lagi memperingatkan.
"Huh...!"
Tujuh orang laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu segera memeras otak, memikirkan cara untuk menangkap pemuda yang masih berada di balik batu ini. Memang sulit untuk mencapai ke sana. Terlebih lagi, di tempat itu banyak batu kerikil sebesar kepalan tangan yang bisa digunakan pemuda itu sebagai senjata untuk menghalau.
"Gora.... Ini aku, Randaka. Kau dengar suaraku, Gora...?!" teriak Randaka agak dikeraskan suaranya.
"Jangan coba-coba membujukku, Paman Randaka. Pergi kau, bersama iblis-iblis keparat itu!" sahut pemuda yang dipanggil Gora, dan masih tetap berada di balik batu.
"Dengar, Gora. Kalau kau mau keluar, aku berjanji akan melindungimu. Percayalah. Kau tidak akan apa-apa," bujuk Randaka lagi.
"Pergi kau, Setan Keparat..!" jerit Gora.
Randaka menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sedikit matanya melirik Barada, yang tengah duduk bersandar pada pohon, melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.
"Aku akan turun, Gora...!" seru Randaka lagi. "Aku turun tidak membawa senjata...!"
"Jangan! Jangan lakukan itu, Paman Randaka. Kau akan jatuh ke dalam jurang. Aku tidak main-main. Kau akan jatuh...!" teriak Gora sekuat-kuatnya.
Saat itu, terlihat batu-batu kerikil berjatuhan dari atas. Gora cepat-cepat menjulurkan kepalanya, mendongak ke atas. Hatinya jadi terkesiap juga, begitu melihat Randaka berusaha turun menggunakan seutas tambang kulit. Tidak satu pun terlihat senjata tersandang di tubuhnya.
"Paman, naik cepat..! Kau akan jatuh nanti...!" seru Gora memperingatkan.
Tapi, Randaka tetap saja bergerak turun. Bahkan semakin dekat saja dengan pemuda itu. Dan begitu sudah dekat, Randaka melompat dengan gerakan sangat ringan, jatuh tepat di depan Gora. Pemuda itu bergegas melangkah mundur. Namun di tangan kanannya sudah tergenggam sebongkah batu yang cukup besar.
"Jangan mendekat, Paman Radaka," sentak Gora agak mendesis.
"Dengar, Gora. Tidak ada gunanya terus bertahan di sini. Ingat, Barada terus menungguimu. Sebaiknya, keluar saja. Serahkan dirimu padanya," bujuk Randaka.
"Tidak! Aku tidak akan menyerah pada iblis itu!" sentak Gora tegas.
"Gora..."
"Kuperingatkan sekali lagi, Paman Randaka. Cepat tinggalkan tempat ini. Atau, kau akan mati di dasar jurang sana," desis Gora memotong cepat.
Tapi, Randaka tampaknya tidak menghiraukan peringatan pemuda itu. Malah, kakinya melangkah mendekati dengan gerakan hati-hati sekali.
Sementara, punggung Gora sudah begitu merapat ke dinding batu. Tidak ada lagi tempat baginya untuk menghindar. Dan begitu tangan Randaka menjulur hendak meraihnya, mendadak saja...
"Hih...!"
"Heh...?!" Randaka jadi kaget setengah mati, begitu tiba- tiba saja Gora menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam batu sebesar kepalan tangan. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali tindakannya, membuat Randaka jadi tersentak kaget.
"Uts...!" Cepat-cepat Randaka meliukkan tubuhnya, menghindari lemparan batu Gora. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Gora sudah membungkuk. Lalu cepat sekali tangannya menyambar sepotong kayu yang kebetulan ada di situ. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, potongan kayu cukup besar itu langsung saja dikibaskannya ke arah kaki Randaka.
"lkh...!"
Tuk!
"Aaa...!"
"Paman Randaka...?!" Gora jadi menjerit, ketika tiba-tiba saja Randaka terhantam kayu pada kakinya. Dia terpeleset. Bahkan tubuhnya langsung meluncur deras ke dalam jurang disertai jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat.
Tampak di atas bongkahan batu ini, menyembul kepala-kepala yang menjulur ke bawah. Jeritan yang begitu keras rupanya sampai menggegerkan juga.
"Ada apa...?!" seru Barada juga terkejut mendengar jeritan melengking tadi.
"Randaka.... Dia jatuh ke dalam jurang," sahut salah seorang.
"Apa...?!" Barada begitu terkejut mendengar Randaka tercebur ke dalam jurang.
Begitu terkejutnya, sampai-sampai dia terlompat bangkit berdiri. Bergegas dihampirinya bongkahan batu di pinggiran jurang itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga tahu-tahu sudah berada di atas batu. Lalu kepalanya langsung dijulurkan ke bawah.
"Setan keparat kau, Gora! Kubunuh kau...!" teriak Barada berang setengah mati.
Tapi, Gora hanya diam saja. Kepalanya menengadah ke atas, menatap Barada yang menjulurkan kepalanya ke balik batu ini. Begitu tajam sinar matanya, seakan-akan hendak menelan bulat-bulat. Sementara, Barada kembali berdiri tegak di atas batu. Tampak jelas sekali dari sinar matanya yang tajam, kalau hatinya begitu gusar atas keadaan ini. Salah seorang pembantu kepercayaannya sudah tewas tercebur jurang. Sedangkan Gora masih tetap berada di balik batu di pinggiran jurang ini.
"Ayo pergi. Biar dia mampus kelaparan di situ!" dengus Barada kesal.
Memang tidak ada lagi yang bisa diperbuat, karena terlalu sulit untuk bisa mencapai ke balik batu itu. Sedangkan bagi Gora sendiri, juga tidak mudah untuk bisa keluar. Enam orang yang mengikuti Barada segera berlompatan turun dari bongkahan batu sebesar kerbau itu. Sementara, Barada sudah berada di atas punggung kudanya. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah meninggalkan tepi jurang itu.

***

95. Pendekar Rajawali Sakti : Pangeran IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang